![]() |
Saya kebetulan tidak sholat, jadi bisa ambil gambar ini (dokpri) |
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” - [Al Ahzab (33): 43]
Ayat ini yang mendorong saya menuliskan catatan dari kegiatan di lapas anak kemarin. Tidak ada yang istimewa dari kegiatan rutin itu, namun saya menemukan satu hal yang mungkin perlu untuk dibagi.
Selasa, 29 September 2015
Tidak seperti biasanya, hari itu kami datang terlambat. Kemacatan di tol yang tidak bisa diprediksi membuat perjalanan dari Pondok Kelapa – Tangerang menjadi sangat tersendat. Kami pun tiba di halaman parkir Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/ Lapas Anak Tangerang dengan sisa waktu yang mepet ke Zuhur. Hanya tinggal sekitar 45 menit lagi. Namun, bimbingan dan pendampingan rutin harus tetap dilaksanakan.
Materi “Motivasi dan Inspirasi” yang sudah diagendakan oleh Suci (Ketua Gerakan Peduli Remaja), akhirnya tidak bisa disajikan secara lengkap. Demi pemanfaatan waktu agar bisa dimaksimalkan, akhirnya Suci buru-buru meminta anak-anak LPKA berbaris lurus ke depan, lalu saling berhadapan. Ada sekitar 40 anak yang mengikuti bimbingan bersama GPR siang itu. Cukup ramai. Untunglah camilan gorengan yang kami bawa lebih jumlahnya.
![]() |
Mereka sudah siap menyimak (dokpri) |
Saya sepertinya membantu merapikan barisan (dokpri) |
Kembali pada materi. Selanjutnya Suci memberikan semacam games yang diberi judul “Motivasi dan Inspirasi”. Anak-anak itu diminta berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar 1 ½ meter. Setelah saya dan teman-teman GPR membantu mengarahkan dan mengatur posisi mereka agar tetap berdiri rapi, Suci pun mulai melontarkan beberapa pertanyaan.
![]() |
Pertanyaan pertama diajukan (dokpri) |
“Siapa tadi pagi yang tidak sholat Subuh?” tanya Suci membuat jantung saya mulai berdegup sedikit lebih kencang.
Dengan rutinnya kami memberikan bimbingan selama ini, saya berharap lebih banyak yang menjawab sholat dari pada tidak. Ternyata harapan saya meleset. Suci meminta yang tidak sholat untuk maju selangkah ke depan. Subhanallah ... anak yang maju hampir semua. Yang diam di tempat bisa dihitung dengan lima jari saja. Miris hati saya.
“Siapa yang sholatnya penuh lima waktu kemarin?” lagi-lagi Suci mempertanyakan kewajiban utama mereka sebagai anak muslim. Dan, dada saya sesak menahan kecewa. Tidak berbeda dengan sikap tubuh pada pertanyaan pertama.
Setelah itu, bergulirlah pertanyaan-pertanyaan lainnya yang semakin menggetarkan hati saya. Tibalah pada pertanyaan akhir yang meminta mereka menuliskan keinginan terbesar dalam hidupnya. Saya dan teman-teman GPR membagikan kertas dan alat tulis. Mereka diminta mengambil tempat duduk yang paling nyaman untuk merenung dan menuliskan jawabannya. Jawaban yang kami inginkan adalah yang benar-benar dari lubuk hati mereka.
![]() |
Anak-anak itu mulai menuliskan keinginannya (dokpri) |
![]() |
Lisya membagikan camilan untuk menyemangati mereka menulis (dokpri) |
Setelah diberi batas waktu, akhirnya beberapa dari mereka mengumpulkan terlebih dahulu. Saya sempat mengabadikannya dalam kamera hape saya. Lihatlah! Beberapa di antara mereka menuliskan keinginan terbesarnya dalam hidup ini. Betapa saya kesulitan menyembunyikan airmata yang menggenang di kelopak mata. Mereka yang sulit atau mungkin ogah-ogahan mengerjakan sholat lima waktu, masih memiliki harapan besar untuk menjadi baik. Tulisan yang menyatakan bahwa dirinya ingin dikenang sebagai Ustadz itu yang paling menohok hati saya.
Inilah yang dituliskan salah satu anak itu (dokpri) |
Lalu ini yang lainnya (dokpri) |
Akhirnya saya mau tidak mau harus menyadari, bahwa tidak mudah mengajak anak-anak ini untuk bersegera hijrah ke jalan yang benar. Apalagi untuk menunaikan Rukun Islam yang kedua itu. Sebab Allah Swt. Yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Bukan kami. Mungkin kami yang harus memotivasinya lebih kuat lagi agar kesadaran itu muncul dan bertahan kuat serta menjadi kebutuhan. Dari mana mereka berasal, di mana mereka tumbuh dan bergaul selama ini, apa yang sudah mereka kerjakan di luar sana, menjadi tolak ukur bagi karakter dan sikapnya. Itu juga yang harus menjadi ujian kesabaran kami. Untuk itu, kami harus tetap pada komitmen mendampingi mereka.
Saya sangat yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Swt. Jika Dia meridhoi, bukan tidak mungkin dari balik jeruji penjara ini kelak akan lahir ulama besar yang mampu menggiring ummat ke jalan surga. Aamiin Allahuma Aamiin .... [Wylvera W.]