![]() |
"A" mencoba bertahan pada panasnya api dunia |
Tidak sedikit para orangtua yang selalu ketakutan jika bisnisnya gagal. Bahkan dunia serasa kiamat ketika sumber uang tiba-tiba tertutup. Mereka menganggap seolah itulah tujuan dan akhir dari kehidupan di dunia ini.
Tapi, ketika gagal menjadi orangtua (ayah dan ibu) bagi anak-anak mereka, ketakutan yang dirasakan tidak sebesar saat kehilangan harta benda. Padahal, sesungguhnya itulah yang akan perlahan-lahan membawa malapetaka bagi mereka. Dampaknya bisa puluhan tahun, bahkan butuh pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Sementara, tidak sedikit juga orangtua yang mengukur keberhasilan anak-anaknya dengan materi. Jika anak-anak mereka sudah jadi orang hebat, kaya, punya kedudukan yang baik, mereka merasa selesailah tugasnya menjadi orangtua. Mereka tidak menyadari, kelak semua itu tidak memberi jaminan bahwa anak-anak mereka akan masuk surga dan menolong mereka ikut mencium wanginya.
Saya memaparkan hal di atas bukan tanpa sebab. Semua ada contoh dan bukti nyata. Dan itu saya temukan di lapas, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang. Mau melihat hasil didikan orangtua yang gagal seperti apa? Di sana semua ada dan saya kerapkali bertemu dengan anak-anak malang itu.
Hal yang mendorong saya menuliskan ini adalah kondisi psikis salah satu anak binaan di lapas itu. Anak itu berinisial “A”. Usianya 18 tahun. Karakternya labil. Meskipun “A” seolah selalu menampilkan gerak-gerik ceria, namun di balik itu dia sangatlah rapuh. Saya mulai mengenalnya beberapa bulan lalu saat melakukan pembinaan dan pendampingan rohani. Saya juga sempat menceritakan tentangnya di wall facebook saya waktu itu.
“A” yang pernah begitu yakin dengan ketidakpercayaannya kepada Tuhan, sehingga dia merasa tidak perlu sholat. “A” yang tidak percaya adanya neraka begitu sombong untuk mencoba bertahan pada panasnya api dunia. Ya, itulah “A” yang saya kenal di awal-awal perkenalan kami.
Di pertemuan konseling berikutnya, betapa terharunya saya ketika tiba-tiba “A” menghampiri saya lalu berkata dengan lantang; “Bunda, aku sekarang sudah percaya kalau Allah itu ada.”
Saya terkejut dan terpana sejenak. Lalu saya tanya, "Apa buktinya?"
“A” dengan mantap menjawab, "Buktinya aku sudah mau sholat, tapi baru magrib dan Isya, Bunda. Subuh masih susah."
Lalu, apa kaitannya dengan ulasan saya tentang kegagalan orangtua dalam mendidik anaknya? Tentu ada. Sosok “A” adalah satu dari lebih seratus anak yang ada di lapas. Mereka haus akan kasih sayang dan pendampingan orangtuanya. Kegamangan mereka menjalani tumbuh kembang, sehingga akhirnya terseret pada pergaulan yang menyesatkan dan menggiring mereka ke lapas itu. Kenyataan itu merupakan bukti tidak adanya perhatian dan kasih sayang orangtua.
Kembali kepada “A”.
Tadi siang, (Selasa, 15 Maret 2016), saya kembali berjumpa dengan “A”. Diam-diam “A” mendekati saya. Saya pikir dia mau memberi laporan tentang sholatnya yang semakin rajin. Ternyata “A” ingin memberikan surat yang isinya curhatan hatinya yang terdalam.
“Bunda, aku mau curhat. Tapi kalau ngomong langsung aku nggak ngerti. Bunda mau nggak baca suratku?” tanyanya membuat kerongkongan saya tercekat sesaat.
“Tapi, baca suratnya jangan di sini ya, Bun,” ujar “A” lagi.
Saya spontan mengangguk. Sesaat kemudian, saya buru-buru bilang ke “A”, “Iya, mana suratnya? Nanti Bunda baca di rumah deh.”
Setelah tiba di rumah, saya segera membuka surat yang diberikan “A”. Ya Allah, air mata ibu mana yang tidak meleleh membaca isi surat itu. Walaupun “A” bukan anak saya, namun rasa kecewa, kesakitan, dan keputusasaan yang diungkapkannya dalam surat itu sudah mewakili kesedihan yang sangat mendalam dari seorang anak, yang rindu akan kasih sayang orangtua yang tak pernah didapatkannya.
![]() |
Curhatan "A" yang mendorong saya menuliskan semua ini di blog saya |
Dari kenyataan ini, masihkah kita sebagai orangtua, tidak percaya bahwa tanggung jawab kita sungguh besar pada anak-anak kita? Mereka adalah amanah yang dititipkan Allah SWT kepada kita. Lalu, jika kita hanya merasa takut saat kehilangan harta benda, bagaimanakah jika kita kehilangan kesempatan untuk mendidik anak-anak kita? Tidak takutkah kita bahwa di akhirat kelak, Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap amanah yang sudah dititipkan-Nya?
Sebagai umat muslim, kita diberi akal untuk meyakini bahwa sesungguhnya anak-anak adalah titipan dari Allah SWT kepada kita. Sebagai titipan-Nya, anak adalah harapan bagi kita. Bukan membiarkan mereka terjerumus pada kenistaan.
Bahkan Rasulullah saw. bersabda;
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesunguhnya Allah SWT akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” [HR. Ahmad: 10618. Hasan]
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” –[HR. Al Hakim: 7679]
Di dalam Al Qur’an pun Allah SWT telah berfirman dan memberi tanggung jawab ini kepada kedua orangtua untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak yang shalih.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” [QS At Tahrim: 6]
Dalam sebuah hadits, para orangtua juga diingatkan untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anaknya.
Abdullah bin Umar ra berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.” [Tuhfah al Maudud hal. 123]
Semoga Allah SWT. senantiasa menuntun hati kita para orangtua untuk memberikan yang terbaik buat anak-anak kita. Aamiin. [Wylvera W.]