Quantcast
Channel: Rumah Mayaku
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

Cantik itu Anugerah

$
0
0




Tampil cantik tentulah menjadi idaman setiap perempuan. Lalu, seperti apakah ukuran kecantikan itu?  Umumnya kecantikan itu diukur semata-mata dari wajah dan keindahan bentuk tubuh saja. Sementara menurut saya, cantik tidak semata dilihat dari tampilan wajah dan fisik saja.  Cantik itu lebih mengarah pada aspek rohani (inner beauty). Tetapi, bukan berarti perempuan tidak boleh berhias, karena berhias ditujukan untuk melengkapi kecantikan rohani tadi.

Tampil cantik dengan produk halal.
Mengingat semua pemahaman itu, saya juga ingin tampil cantik, baik secara rohani maupun jasmani. Tetapi sebelum sampai pada tujuan ini, saya sempat menyadari ketidakpedulian saya terhadap tampilan luar saya. Sebab, sebelumnya saya adalah tipe perempuan yang tak begitu memedulikan tampilan luar khususnya tata rias pada wajah. Saya pikir dengan memakai bedak tabur saja di wajah, sudah cukup melengkapi penampilan saya. Saya ingin mengubah konsep itu. Maka, dari waktu ke waktu kebiasaan itu perlahan-lahan berubah seiring dengan keinginan saya untuk mulai tampil cantik secara paripurna.
Saya mulai mencari produk yang aman dan tentunya juga halal kandungannya. Dengan banyaknya kosmetik yang dijual di pasar, saya tak mau terkecoh. Produk kosmetik halal lah yang harus saya temukan. Saya tidak mau bermain-main dengan itu, sebab halal is my life. Setelah sekian lama mencari-cari produk yang halal dan aman, akhirnya pilihan saya jatuh pada Wardah. Sejak awal saya sudah menebak bahwa produk Wardah ini aman. Dan, betapa leganya ketika saya mengetahui bahwa Wardah  telah mendapat sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Yang lebih meyakinkan lagi, Wardah juga telah mendapatka Halal Award sebagai kosmetik halal di Indonesia pada bulan Juli 2012 lalu.

Inilah teman setia sebelum saya memiliki koleksi wardah  lebih lengkap.
Setelah itu, saya belilah produk Wardah yang paling saya butuhkan. Kemudian, saya mulai terampil mengoleskan bedak yang mengandung foundation sebaga tabir surya (UV protection) agar sinar matahari tidak menorehkan warna hitam di permukaan kulit wajah saya. Saya pilih two way cake. Dengan bedak ini saya bebas beraktivitas di luar rumah. Untuk bibir, saya menggunakan lipgloss sebelum memulasnya dengan lipstick tipis dengan warna lebih cerah dari bibir saya.
Ternyata, cara ber-make up saya masih tergolong standar jika merujuk pada buku-buku kecantikan. Namun, saya tidak mau terburu-buru mengubah standar itu. Sampai pada suatu hari tiba-tiba keinginan untuk mengubah gaya berhias datang begitu kuat. Ketika itu, saya terpilih sebagai nominasi di acara penganugerahan “Ibu Teladan” oleh salah satu Majalah Muslimah Nasional, saya menemukan momen yang sangat mengesankan. Saat itu, keduapuluh finalis (termasuk saya) didandani dan di-make up oleh kru Wardah dengan menggunakan produknya. Saya yang tadinya datang dengan dandanan standar, tiba-tiba berubah menjadi cantik (seperti itulah menurut saya). 
Semakin cantik setelah di-make up oleh kru Wardah.
Dari tahapan yang dilakukan oleh kru Wardah itu (dan dari hasil tanya-tanya juga tentunya), saya sempat merekam dalam ingatan tentang urutan yang dilakukan pada wajah saya. Namun, menurut saya tahapan itu bisa saya gunakan hanya untuk keperluan menghadiri acara-acara tertentu agar kesan pada wajah berbeda dari tata rias keseharian yang saya lalukan. Adapun beberapa tahapannya sebagai berikut;
  •  Wajah dibersihkan terlebih dahulu dengan pembersih Wardah.
  • Wajah dioles dengan liquid foundation dan creamy foundation dengan warna yang katanya setingkat di atas warna kulit wajah untuk menampilkan kesan natural.
  • Foundationdiratakan dengan kuas. Untuk pipi, gerakan kuas serong ke bawah (pipi tengah) dan lurus ke bawah (pipi ujung), melintang di bagian kening serta vertikal di bagian dagu, gerakan kuas mengarah ke luar (dari sudut mata dekat hidung menuju ujung tulang pipi).
  • Setelah meratakan foundation, wajah ditambahi bedak two way cake dengan cara menepuk-nepuknya lembut.
  • Selanjutnya lengkapi riasan wajah dengan blush on,eyeshadow, maskara (jika memang perlu untuk tampil di acara tertentu).
  • Untuk bibir bisa dipoles dengan lipgloss terlebih dahulu atau langsung menggunakan lipstick dan wonder shine (untuk memberi kesan glossy pada bibir).

"Kamu semakin cantik."
Perempuan mana yang tidak senang jika mendengar pujian tentang kecantikanya? Begitu juga dengan saya. Saya bertambah yakin kalau Wardah telah memberikan sentuhan berbeda pada wajah saya ketika suami saya tiba di lokasi acara pemilihan "Ibu Teladan" itu. Tanpa diduga dia spontan memuji dengan mengatakan, “Kamu semakin cantik!” Karena terkejut dan bahagia, saya sampai tak bisa membalas pujian itu. Ternyata bukan hanya suami saya yang memuji perubahan tampilan di wajah saya, beberapa teman (yang semuanya perempuan) juga ikut mengatakan kalau saya cantik dan benar-benar tampil beda. Saya bahagia dan bersyukur menyikapi semua itu.
Begitulah, setelah momen yang membahagiakan itu usai, saya bertekad ingin mengoleksi produk Wardah lebih banyak lagi. Saya pun pergi ke counter Wardah yang ada di salah satu pusat perbelanjaan Bekasi. Sampai di counter Wardah, saya disuguhi bermacam-macam jenis produk yang tersedia di display mereka. Menurut penjaga counteritu, Wardah memiliki 200 macam jenis produk. “Wow! Banyak banget,” komentar saya kala itu.
Mulai terampil menggunakan Wardah.
   Dari beberapa jenis yang ditawarkan, saya tekun menyimak keunggulan masing-masing produk tersebut. Akhirnya saya memilih beberapa yang saya butuhkan. Diantaranya, blush on, eyeshadow, Wardah Cleanser dan Wardah Facial Wash, Wardah Facial Scrub dan Wardah Peeling Cream, Wardah Facial Mask, Wardah Facial Massage Cream, Wardah Hydrating Toner, Olive Soft Scrub (untuk mengangkat kotoran yang menempel pada kulit tangan dan kaki) serta Romantic Rose Bouquet hand and body lotion.
Koleksi Wardah (untuk wajah).

Koleksi Wardah (untuk kulit tubuh).
Sejak itu, saya pun mulai terbiasa dengan penampilan riasan wajah yang lebih dari sekadar memakai bedak dan lipstick. Sesekali saya menyapukan blush onuntuk mencerahkan rona wajah dan memoleskan eyeshadow untuk menajamkan kelopak dan lingkar mata saya.  Lalu, untuk menjaga kesehatan dan kesegaran kulit wajah dan kulit tubuh, saya mulai rajin melakukan tahapan-tahapan seperti;
  •      Membersihkan wajah dengan Wardah Cleanser dan Facial Wash.
  •   Dua sampai tiga hari sekali saya menggunakan Wardah Facial Scrub dan seminggu sekali  memakai Wardah Peeling Creamuntuk mengangkat kotoran yang menyumbat pori-pori wajah.
  •   Kalau saya banyak beraktivitas di luar rumah, maka seminggu sekali saya juga menggunakan Wardah Facial Mask untuk membantu melembabkan serta mengencangkan kulit wajah saya.
  •   Kalau terasa wajah mulai kaku dan tegang, saya sesekali juga menggunakan Wardah Facial Massage Creamnya untuk pemijatan. Biasanya setelah ini wajah saya kembali segar.
  •  Untuk menjaga pori-pori wajah saya terhindar dari kotoran yang bisa menyumbatnya, saya menggunakan Wardah Hydrating Toner.
  •      Untuk kesegaran kulit badan, saya memilih Olive Soft Scrub yang mengandung olive oil dan kaya akan antioksidan, menjaga kesehatan kulit serta memberikan kelembaban ekstra pada kulit saya.
  •   Untuk mempertahankan keremajaan kulit, saya tak lupa untuk selalu mengoleskan Romantic Rose Bouquet hand and body lotion ke seluruh tangan dan kaki. Wewangian mawar yang lembut dan kandungan minyak zaitunnya berfungsi memberikan sentuhan kelembaban dan kelembutan di permukaan kulit tangan dan kaki saya. 
Semakin percaya diri memakai produk Wardah.
Semakin hari saya semakin merasakan manfaat dari semua rangkaian perawatan itu. Dan, betapa senangnya karena pada akhirnya cara saya merawat dan menghias wajah menjadi perhatian beberapa teman yang suka jalan bareng. Menurut mereka, usia saya yang sudah mencapai 43 tahun masih selalu terlihat segar (bikin wajah bersemu senang lho ini, hehehe....). Satu lagi pujian yang sempat membuat saya tersipu-sipu itu adalah, “Kamu pakai produk apa? Make upnya sederahana, tapi jadi terlihat lebih segar. Kamu semakin cantik dan keliatan awet muda ya,” begitu ujar mereka.
     Sejak itu, saya pun semakin bertambah percaya diri menggunakan produk Wardah. Semoga pengalaman yang saya rasakan dan uraikan di blog ini, bisa memberikan inspirasi bagi kaum perempuan (terutama yang muslimah) yang masih takut-takut memilih produk kosmetik untuk tata rias wajah dan kesegaran tubuhnya. Sebab, cantik itu anugerah dari Sang Maha Pencipta. Merawat serta mempertahankannya adalah pilihan. []

Note: Tulisan ini diikutkat dalam
LOMBA BLOG bertema "Aku dan Kosmetik Halal"


Menyiapkan Mental Calon Pemimpin

$
0
0

Saya dan anak-anak beberapa tahun lalu saat di Menado.

       Sejak menjadi seorang Ibu, saya mulai menyadari bahwa pengasuhan anak merupakan peran terpenting. Tanpa kasih sayang dan sentuhan Ibu, seorang anak akan merasakan kepincangan dalam proses pertumbuhannya (terutama mentalnya). Jadi, apa pun kondisinya, seorang Ibu janganlah sekali-kali berkata “lelah” atau “menyerah” dalam proses pengasuhan buah hatinya. Sebab, di tangan ibulah fundamen dasar mental seorang anak bertumbuh. Jika mental Ibu lemah maka bukan tidak mungkin anak akan mudah menyerah menghadapi tantangan hidupnya di masa yang akan datang. Ini yang selalu saya yakini.
            Saya teringat momen lucu dan sekaligus membuat saya berpikir jauh ke depan. Saat itu, saya dan anak-anak sedang makan bersama. Kami berbincang tentang pekerjaan bapak mereka. Lalu, sampailah pada obrolan tentang cita-cita.
            “Adek cita-citanya apa sih?” tanya saya kala itu.
           “Mau jadi presiden atau pemain sepak bola terkenal ya? Masih dipikirin,” jawabnya membuat saya tersenyum.
            “Kalau Kakak?” tanya saya pula ke yang sulung.
         “Jadi dokter presidan atau dokter pemain sepak bola yang terkenal itu saja,” jawabnya membuat saya tak lagi bisa menahan tawa.
            Itulah anak-anak saya. Terkadang obrolan kami membuat saya banyak belajar. Terutama belajar untuk mempersiapkan hari depan mereka.  Sebagai calon pemimpin di masa depan, tentunya saya harus mempersiapkan bekal untuk kedua anak-anak saya (Yasmin Amira Hanan/15 tahun dan Darryl Khalid Aulia/12 tahun).
Selain fisik, pertumbuhan mentalnya perlu saya arahkan agar tetap kuat dan tangguh menghadapi segala aral dan rintangan di kehidupan mereka kelak. Lalu, apa yang harus saya lakukan untuk menjalankan peran sebagai pendamping  pertumbuhan mental anak-anak saya? Tentunya, selain memberikan asupan makanan yang bergizi bagi jasmani mereka, saya juga tak boleh abai dengan asupan yang dibutuhkan oleh rohani mereka. Semua itu bertujuan untuk menopang serta menunjang impian dan cita-cita mereka di masa depan.
Mira dan Khalid saat ini, begitu cepat waktu bergulir.
Dari dua anak yang berjenis kelamin berbeda, lagi-lagi saya jadi banyak belajar. Yang terpenting bagi saya, mereka mampu menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika fundamen itu sudah terbentuk secara kokoh, maka bukan tidak mungkin kelak mereka mampu menjadi pemimpin bagi sekelilingnya. Untuk itu saya harus membekali mereka dengan beberapa hal mendasar, seperti yang telah saya lakukan sejak mereka masih berada dalam kandungan hingga sekarang keduanya tumbuh remaja. Saya berharap bahwa proses untuk memperkuat fisik dan mental mereka ini akan terus berjalan hingga mereka memetik hasilnya kelak.

Pendidikan Agama.
 
Khalid di Summer Madrasah.
Sebagai umat muslim, saya sangat meyakini bahwa pendidikan agama merupakan pondasi utama yang harus saya siapkan untuk kedua  buah hati saya. Karena menjadi pemimpin yang baik tentunya harus memiliki pondasi agama yang kuat. Saya tanamkan pendidikan agama kepada anak-anak saya sejak mereka masih berada di dalam kandungan, seperti memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al Qur’an, menyimak kajian-kajian agama  yang saya harapkan dapat memberi efek positif pada pertumbuhannya di rahim saya. Setelah mereka lahir dan bertumbuh, saya (dibantu suami) juga mengenalkan mereka kepada Sang Penciptanya. Rasa takut akan dosa  selalu kami tanamkan  agar mereka paham pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Memberikan makanan dengan gizi seimbang.

Ragam menu untuk keluarga racikan saya yang bergantian hadir di meja makan.
           Sejatinya, sebagai seorang Ibu, saya selalu berharap agar makanan yang saya berikan kepada kedua buah hati saya akan memberikan mereka gizi yang cukup dan seimbang. Setiap pagi (sebelum berangkat ke sekolah) saya tak pernah lalai menyediakan sarapan di meja makan. Lauk pauk lengkap tersaji. Ada nasi, sayur, ikan, udang, tempe, tahu, daging sapi, telur atau ayam (ini bergantian saya sajikan). Dilengkapi dengan segelas susu untuk penyempurna sarapan pagi anak-anak saya. Bahkan buah-buahan pun tak pernah lupa saya suguhkan. 
Bekal makan siang di sekolah.
Tetapi, setiap proses tentunya tak selalu mulus seperti keingingan saya. Dalam praktiknya, saya sempat menemukan kegagalan. Putri sulung saya ternyata kurang menyukai asupan sayur dan buah. Dan, saya tidak bisa sedikit keras mengarahkannya untuk mengkonsumsi itu secara rutin. Kondisi ini akhirnya berdampak pada kesehatannya. Dari kegagalan itu saya mau tak mau harus mengubah pola pendekatan. Saya harus pelan-pelan memberikan pengertian bahwa dengan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, kebutuhan serat di tubuhnya akan tercukupi dan penyakit yang sudah terlanjur mampir di tubuhnya diharapkan berangsur-angsur sembuh. Dan, saya bersyukur karena sejak itu pola makannya berubah drastis. Mira semakin menyadari kesalahannya. Dia tak ingin cita-citanya yang tinggi kandas hanya gara-gara tak suka makan sayur dan buah.

Pendidikan formal.
            Ketika anak-anak saya sudah memasuki usia sekolah, saya dan suami memilihkan sekolah berbasis Islam untuk mereka. Enam tahun pertama di masa kanak-kanaknya, kami mengharapkan pola pengajaran yang dekat dengan ajaran agama mereka, bisa tertanam dengan baik. Ketika memasuki jenjang SMP dan SMA, kami lebih membuka pilihan kepada keduanya. Dan, kedua anak saya memilih bersekolah di sekolah negeri dengan mutu sekolah serta pendidikan yang baik pula. Alhamdulillah, Mira sekarang sudah duduk di kelas 10 SMA Negeri 1 Bekasi. Sementara Khalid masih duduk di kelas 8 SMP Negeri 1 Bekasi.
Kiri: Mira (ketika SD) diwawacarai kru tivi di acara Indonesian Science Festival.
Kanan: Khalid (ketika SD) berpidato dalam Bahasa Inggris di depan tamu dari Qatar.
            Sampai saat ini saya sangat bersyukur karena keduanya telah banyak mencetak prestasi, baik di bidang akademis maupun non akademis. Semoga bibit yang saya tanam selalu berbuah manis.

Pendidikan non formal (seni dan olahraga).
            Di samping pendidikan formal, pendidikan non formal juga memegang peranan penting terhadap perkembangan otak anak. Justru itu, sejak kecil saya sudah mengenalkan kepada anak-anak tentang pentingnya seni. Saya juga suka mengikutkan mereka di kegiatan menggambar, menulis, menari, olahraga, bermusik,  serta bernyanyi. Hingga saat ini, keduanya masih terus menekuni dunia musik yang mereka gemari. Mira mengambil kursus biola serta sesekali berlatih vokal dan mencoba menguasai permainan keyboard.Sementara Khalid tekun mendalami seni bermain gitar di tempat kursusnya. Untuk kegiatan olahraga, Khalid bergabung di ekstrakurikuler pencak silat sekolahnya. Mira memilih ikut di tim voli sekolahnya. Untuk kegiatan olahraga, kami juga menyempatkan diri untuk berenang, maksimal sekali dalam seminggu.
Kegiatan Mira dan Khalid di luar jam sekolah
Dari semua kegitan yang berbau pendidikan non formal itu, ada satu hal yang membuat saya senang dan bangga pada mereka. Betapa tidak, profesi saya sebagai penulis buku-buku bacaan anak dan remaja, diikuti dan ditiru oleh kedua anak saya. Keduanya saat ini juga terjun sebagai penulis cilik yang telah menghasilkan beberapa karya dalam bentuk novel, komik dan antologi cerita pendek. Saya terharu, karena keduanya mampu menyatukan kegiatan seni, olahraga, menulis dan akademis dengan senang tanpa terpaksa dalam proses pembelajaran mereka.

Rasa peduli terhadap sesama.
            Saya dan suami suka mengajak kedua anak-anak kami mengunjungi panti asuhan. Ini kami lakukan hampir sebulan sekali. Di sana, saya sengaja meminta mereka berbaur dengan anak-anak panti. Saya berharap, dari sana kelak mereka bisa merasakan bahwa di luar kehidupan nyaman yang telah  kami berikan, ternyata masih banyak anak yang kekurangan sehingga mereka tak pelit untuk berbagi.
Saat berkunjung ke Darmais, Jakarta (RS untuk penderita kanker).
Tidak sampai di situ, saya juga pernah membawa mereka mengunjungi anak-anak penderita kanker di sebuah rumah sakit. Mereka saya ajak ikut berdialog dengan anak-anak itu.  Rasa empati mereka lambat laun  tumbuh dan menjadi tak lupa untuk tetap bersyukur bahwa mereka diberikan kehidupan yang lebih nyaman dari anak-anak seumurnya. Kepedulian ini yang ingin saya tanamkan sebagai bekal untuk kepekaan mereka terhadap sesama.

Budaya malu.
            Sejak kecil, saya juga tak lupa menanamkan tentang budaya malu kepada anak-anak saya. Zaman sekarang banyak orang yang sudah melupakan rasa malu. Karena itu, saya tak ingin anak-anak saya kehilangan rasa malunya agar mereka selalu ingat dan mengerti mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk dilakukan.

Kepercayaan diri dan sikap mandiri.
            Rasa percaya diri dan sikap mandiri sangat diperlukan bagi pertumbuhan seorang anak. Bila anak mandiri, dia akan percaya diri kapan dan dimanapun dia berada. Namun, saya selalu menyadari bahwa kemandirian dan kepercayaan diri pada anak-anak saya tidaklah bisa tumbuh dengan instan. Perlu pendampingan dan proses dari waktu ke waktu. Maka, sejak Mira dan Khalid masih balita, saya tak bosan-bosan menanamkannya.
            Untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada Mira dan Khalid, ada beberapa hal yang selalu saya praktikkan hingga saat ini. Pertama, saya berusaha untuk selalu meluangkan waktu memberikan perhatian pada hal-hal yang mereka ceritakan kepada saya. Saya menempatkan diri sebagai teman mereka, berbagi cerita dan keluh kesah. Kedua, saya tak pernah pelit untuk memuji, memeluk serta perlakuan yang menunjukkan kasih sayang kepada mereka. Namun, di sisi lain, saya juga tak pernah ragu untuk melakukan koreksi jika mereka melakukan kesalahan. Saya yakinkan bahwa saya mengoreksi perbuatan mereka yang salah, bukan diri mereka. Ketiga, saya selalu memberi kebebasan kepada mereka dalam pengambilan keputusan walau berisiko sekalipun. Tujuannya agar mereka terlatih untuk bijak dalam mengambil pilihannya. Keempat, saya tak lupa mencontohkan jika saya salah maka saya akan jujur mengakui di depan mereka. Hingga sekarang kedua anak saya juga terbiasa mengakui kesalahannya dan buru-buru memperbaikinya.
            Untuk kemandirian,  salah satu contoh yang pernah saya lakukan adalah memisahkan kamar tidur mereka sejak kecil. Apalagi karena keduanya berbeda jenis kelamin. Sejak dini saya sudah memperkenalkan kepada kedua anak saya bahwa mereka adalah perempuan dan laki-laki. Saya juga mengatakan bahwa dengan tidur di kamar yang terpisah akan membuat mereka belajar mandiri. Awalnya memang sulit (terutama buat Khalid), tapi lama-kelamaan mereka justru semakin merasa bebas mengeksplorasi kreativitasnya untuk menciptakan kenyamanan di kamar mereka masing-masing. 
Dari beberapa pengalaman ini, saya sudah merasakan efek positifnya. Mira dan Khalid tak pernah khawatir jika mereka ikut acara tur atau kamping di alam terbuka pada kegiatan pramuka sekolahnya. Bahkan Mira pernah diminta sebagai ketua regu di acara tersebut, serta banyak pengalaman lain yang merupakan imbas dari apa yang saya terapkan untuk mereka di rumah.
Sebenarnya masih banyak kebiasan positif lainnya yang pernah saya lakukan sebagai ibu mereka. Meskipun tak selalu mulus dan lancar, namun saya tak pernah patah semangat mengulang-ulangnya.

Menang dan kalah dalam lomba.
            Kalau untuk lomba, kedua anak saya tidak memiliki kegemaran dan keinginan yang sama. Khalid cenderung tak terlalu suka pada perlombaan. Namun, Mira suka memberi contoh kepada adiknya bahwa dengan mengikuti perlombaan, dia menjadi tahu cara mengukur dan mempersiapkan diri. Dari contoh itu, akhirnya Khalid sesekali mau mengikuti lomba, baik itu di bidang akademis maupun non akademis.
Lalu, saya mendampingi pemahaman mereka tentang kata “kalah” dan “menang”. Perlombaan sejatinya memang untuk mencari kemenangan, tetapi sebelum meraih kemenangan, saya meminta anak-anak saya tetap mempersiapkan diri menerima kekalahan. Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan Mira dan Khalid paham pada konsep legowo dan menerima kekalahan itu. Satu hal yang selalu saya tanamkan dalam diri saya sebagai Ibu bahwa saya harus tetap menghargai perjuangan dan usaha anak-anak saya, sekalipun mereka kalah dalam perlombaan.

Mencintai seni dan budaya bangsa.
Mira dan Khalid tampil di acara UN Day sekolahnya (waktu masih di Amerika).
            Saya pernah merasa begitu bangga kepada kedua anak-anak saya. Meskipun kami pernah tinggal di Amerika, namun kecintaan mereka terhadap seni dan budaya bangsanya tak pernah luntur.  Mira selalu ingat pada lagu-lagu nasional yang suka saya lantunkan di rumah. Maka, pada saat berlatih untuk menyanyikannya bersama teman-temannya di sana, Mira tak menemukan kesulitan. Dia gembira melakukannya. Selain itu, Mira sangat bangga mengenakan kebaya nasionalnya. Sementara, Khalid begitu bersemangat dan gembira memakai kemeja batik, hasil seni bangsanya pada perayaan United Nation Day di sekolah mereka waktu itu. Semoga ini menjadi cikal bakal bagi perkembangan jiwa mereka. Dimanapun  nanti mereka berada dan menjadi pemimpin, mereka akan tetap menjunjung tinggi seni dan budaya bangsanya.

       Itulah beberapa hal mendasar yang sejak dini saya tanamkan kepada kedua buah hati saya. Di samping itu, saya dan suami (sebagai orangtua mereka) juga terus belajar menjadi role model yang baik bagi mereka. Sebab, apa pun yang kami (khususnya saya sebagai ibu mereka) dambakan jika kami sendiri tak pandai memberikan contoh yang baik, mustahil anak-anak kami tumbuh menjadi calon pemimpin yang tangguh.[Wylvera W.]





Tulisan ini diikutsertakan di lomba penulisan artikel "Peran Ibu untuk Si Pemimpin Kecil" #LombaBlogNUB


#TitikBalik Cita-cita itu ....

$
0
0


Foto: Aku sesaat setelah wisuda

Dulu, saya sempat mendapat ejekan dari salah seorang kerabat. Pasalnya, saya pernah umbar tentang cita-cita saya yang ingin menjadi dokter. Beliau menganggap saya “besar pasak dari tiang”. Saya legowo menerima ejekan itu. Saya sadar kalau saya terlahir dari keluarga yang tidak berlebih secara ekonomi. Bahkan untuk menamatkan kuliah S1 saja, saya harus ikut bekerja paruh waktu sebagai penyiar dan reporter kala itu.
Setelah 7 tahun bekerja di radio, 4 tahun di asuransi jiwa, hingga akhirnya saya menikah. Saya memiliki dua orang anak.  Saya tak pernah lagi memikirkan cita-cita. Saya memilih mengabdi kepada keluarga sambil menekuni profesi sebagai penulis, guru jurnalistik, pemimpin redaksi sebuah majalah dan sesekali menjadi pemateri di pelatihan menulis. Saya cukup bangga dan puas dengan profesi itu. Bukan materi lagi yang saya kejar saat ini. Dunia menulis telah memberikan kepuasan lahir batin buat saya.

Foto: Inilah dunia saya sekarang

Saya tak pernah bersentuhan dengan pasien di ruang praktik dokter, tapi saya cukup puas ketika diberi kesempatan berbagi ilmu, khususnya kepada anak-anak yang tidak mampu seperti anak-anak pemulung di sekolah berbau sampah, Bantar Gebang, Bekasi, anak-anak tahanan di Lapas Anak Pria, Tangerang. Dari sana saya terobsesi mewujudkan impian, mengumpulkan karya mereka dalam satu kumpulan cerita, sehingga momen itu benar-benar menjadi pelengkapdari titik balik yang saya rasakan. Aamiin. []

Note: Ini kukisahkan dalam rangak ikut berbagi di event #TitikBalik Manulife.


Perjalanan ke Grand Canyon, Arizona

$
0
0







            Banyak kenangan indah yang sempat kami rasakan ketika tinggal di Amerika. Salah satunya adalah saat-saat menghabiskan waktu panjang pada musim panasnya. Dari waktu libur yang begitu panjang (1 ½ bulan), tentunya kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengeksplorasi sebagian kecil dari benua yang luasnya sekitar  42.188.568 km² itu. Dari rangkain perjalanan panjang yang kami lalui, Grand Canyon menjadi salah satu destinasi yang tercatat di agenda. 
Mobil kami tiba di pintu masuk Grand Canyon
            Begitu memasuki gerbang lokasi wisata, kami melihat antrian mobil yang lumayan padat. Layaknya tempat-tempat wisata di tanah air, Grand Canyon juga memberlakukan tarif kunjungan. Semua tercatat di pintu masuk. Anda tinggal memilih. 

Tarif pengunjung
            Grand Canyon yang terletak di Utara Arizona ini adalah ngarai  besar  dan merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Keindahan ngarainya membuat tempat ini dikunjungi lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Pada musim panas, Grand Canyon paling ramai dikunjungi oleh wisawatan. Jadi, kedatangan kami sangat tepat pada waktu itu. Namun, jika ingin mendaki ke ngarainya yang dalam, musim semi dan gugur adalah waktu yang lebih tepat karena udara lumayan bersahabat di kulit.
Mira dan Khalid
Saya dan suami
Katanya, bumi ini memerlukan kurang lebih 1,7 miliar tahun untuk membentuk tebing-tebing Grand Canyon. Lalu, proses pembentukannya telah melewati beragam periode. Mulai dari periode perubahan iklim, pembentukan gunung, dan banyak lagi periode lainnya.
Sungai Colorado memiliki andil besar dalam membentuk Grand Canyon.  Sungai Colorado ini  pula yang memotong sebuah selat selama jutaan tahun. Panjangnya kira-kira 446 km, dengan lebar mulai dari 6 sampai 29 km dan dengan kedalaman lebih dari 1.600 m. (Sumber:Wikipedia).  
Foto koleksi pribadi
Kami dan turis lokal. :)
Meskipun Grand Canyon bukan ngarai terluas dan terdalam di dunia, tetapi pemandangannya menawarkan sebuah snapshot yang luar biasa dalam sejarah geologi Amerika Utara. Grand Canyon juga terkenal dengan keunikan warna-warni landscape-nya serta sejarah bumi yang terkandung di dalamnya. Keunikan inilah yang menyebabkan Grand Canyon  banyak dikunjungi oleh wisatawan setiap tahunnya. 

Pertanyaan yang kini suka muncul dibenak saya, “Kapan ya bisa berkunjung ke sini lagi?” []

Berkunjung ke Mount Rushmore

$
0
0


Adakah yang tak kenal dengan Mount Rushmore? Nah, bagi yang belum pernah berkunjung ke sana, saya mau berbagi pengalaman lagi di sini. Saat itu (2008), masih di rangkain perjalanan liburan musim panas kami sekeluarga. Mount Rushmore yang terpampang “angkuh” dan bersejarah itu juga menjadi satu di antara tempat-tempat keren yang kami tuju ketika di Amerika. 
Sumber: Foto pribadi.
Mount Rushmore yang letaknya di Dakota Selatan itu begitu terkenal karena di sanalah wajah empat Presiden Amerika terpahat dengan megah. Sejak awal dibuatnya empat wajah Presiden itu tak lain ditujukan untuk menarik wisatawan ke bukit karang, Black Hills, South Dakota. Sementara, ide mengukir Mount Rushmore itu dilontarkan oleh Doane Robinson (salah satu sejarawan), pada tahun 1923. 
Mira dan Khalid
Kami, berlatar belakang wajah empat Presiden Amerika.
Selanjutnya, Peter Norbeck (Senator Dakota Selatan) pun menyetujui proposal yang diajukan. Bantuan anggaran juga akhirnya diperolah dari dana federal untuk menyelesaikan proyek tersebut. Doane Robinson meminta arsitek dan pematung Gutzon Borglum untuk mendesain serta memahatnya. Terpilihnya Mount Rushmore sebagai tempat pemahatan empat wajah Presiden Amerika karena Mount Rushmore letaknya menghadap Tenggara, sehingga akan mendapat terpaan sinar matahari. Mount Rushmore juga merupakan puncak tertinggi  di daerah itu serta terbuat dari granit yang akan membuatnya tahan terhadap erosi.
Di sinilah bagian kisah pembuatan wajah para pemimpin itu.
Beberapa alat yang digunakan dalam proyek.
Lincoln Mask
Setelah memutuskan memahat wajah empat wajah Presiden Amerika Serikat (George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan Theodore Roosevelt), maka Gutzon Borglum pun memulai proyeknya pada tanggal 4 Oktober 1927. Terpilihnya wajah keempat Presiden tersebut bukan tanpa alasan. Masing-masing figur memiliki peran besar dalam sejarah Amerika Serikat.
Washington berjasa dalam menerapkan demokrasi di Amerika. Thomas Jefferson mematangkan konsep “pemerintahan oleh rakyat” serta membuat wilayah Amerika Serikat hampir menjadi dua kali lipat pada tahun 1803 dengan pembelian Louisiana yang menjadi South Dakota. Abraham Lincoln berjasa dalam memberantas sistim perbudakan di Amerika. Theodore Roosevelt terkenal dengan reformasi bisnis yang memperkenalkan National Park Service.
Melihat hasilnya, tentulah tidak mudah mengerjakan proyek tersebut. Borglum bersama para pekerjanya rela bergelantungan untuk memahat patung-patung itu di ketinggian lebih dari 150 meter dari atas lembah. Mereka menggunakan beragam alat, mulai dari pahat hingga dinamit untuk mengawali serta membentuk wajah-wajah keempat Presiden itu. 
Awalnya ingin dibuat seperti ini, tapi akhirnya hanya bagian wajah saja.
Menurut informasi, dana yang dibutuhkan untuk proyek tersebut sekotar $500.000,- untuk masa kerja tidak lebih dari 6 tahun. Ada beberapa kendala yang sempat terjadi dalam pengerjaannya. Diantaranya, pengelupasan, ada yang retak, dan sebagainya sehingga dana menjadi membengkak mencapai lebih dari $900.000.- Akhirnya proyek yang diawali dengan pengukiran wajah George Washington itu selesai di tahun 1941.
Hingga saat ini Mount Rushmore menjadi salah satu objek wisata terbesar di Amerika. Saya dan keluarga pun telah meninggalkan jejak kaki kami di sana. Untuk sejarah lengkapnya, bisa disimak di sini. :)  [Wylvera W.]

Jelang Konser Harmoni Nusantara

$
0
0


       Salah satu fungsi musik adalah sebagai alat media komunikasi. Sementara untuk anak, musik bisa membantu mencerdaskannya. Sejak kecil, orangtua saya sudah mengakrabkan kami dengan musik. Maka, ketika saya menjadi Ibu, kebiasaan itu rasanya sulit untuk dihilangkan. Sebagai orangtua dari Yasmin Amira Hanandan Darryl Khalid Aulia, saya seolah mengulang kebiasaan lama dalam versi berbeda tentang pendekatan dengan musik ini. Bagaimana agar kedua anak saya tetap akrab dengan musik? Tentu jawabnya, saya selalu mencari momen agar mereka bisa bersentuhan dengannya. Salah satunya mencarikan sekolah musik yang pas buat mereka.

Di sini lah anak-anakku belajar bermusik.
            Dimanakah itu? Saya memilih sekolah musik StudioLima untuk anak-anak saya. Sekolah musik StudioLima adalah lembaga pendidikan non formal yang memberi pengajaran tentang musik klasik dan non klasik. Sekolah musik yang berlokasi di Kemang Pratama, Bekasi ini berdiri sejak tahun 1996. Sementara saya sendiri baru mengenal sekolah musik ini di tahun 2009. Saat itu saya dan keluarga baru kembali dari Amerika dan mulai menata ulang untuk kelanjutan pendidikan anak-anak saya.
Mengenang sekilas tentang mulanya kedua anak saya bergabung di sekolah musik ini adalah sebuah kenangan yang unik dan sedikit lucu (menurut saya). Saat itu, saya sedang menunggu antrian pembayaran pajak di kantor pajak Bekasi.  Tanpa diduga saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang memperkenalkan dirinya sebagai Ayank. Cerita pun bergulir. Mulai dari masalah pajak sampai ke anak-anak. Akhirnya saya tahu kalau Mbak Ayank berkecimpung di sebuah sekolah musik bernama StudioLima.
Saya pun akhirnya bercerita tentang kecintaan anak perempuan saya (Yasmin Amira Hanan) kepada musik. Saya juga sempat bercerita tentang pengalaman Mira ketika mengikuti konser di Urbana Illinois, Amerika. Seperti ketemu jodoh buat anak saya, akhirnya saya memutuskan untuk memasukkan Mira ke sekolah musik yang dikelola oleh Mbak Ayank dan kawan-kawan itu. Dan, selang beberapa bulan kemudian, Khalid pun menyusul. Mira memilih biola (sempat berhenti setahun karena kesibukan sekolah), sementara Khalid di gitar.
Begitulah, setelah sekian tahun kursus di sekolah musik StudioLima, kedua anak saya akhirnya diberi kesempatan untuk ikut mengisi konser besar yang akan digelar pada tanggal 10 November 2013 di Auditorium Sekolah Tiara Bangsa, Jakarta.  Awalnya Mira menjadi pemain tamu (undangan) di acara ini. Namun karena kecintaannya terhadap musik, Mira memutuskan untuk melanjutkan kembali kursus biolanya di sekolah musik itu. Dan konser besar ini akan menjadi pengalaman berharga buat mereka, terutama buat Khalid yang baru pertama kali mengikuti konser besar seperti itu.


Konser musik yang akan ditampilkan diberi tajuk “Harmoni Nusantara”. Konser ini ingin mengangkat ciri Indonesia (nuansa nusantara), terutama dalam bahasa seni dan melodinya. Konser besar ini juga akan mempersembahkan penampilan instrumen gabungan, piano empat tangan, piano delapan tangan, ensambel gitar, ensambel perkusi, permainan orkestra, tari, vokal, kelompok drum dan paduan suara. Acara ini didukung oleh pemain dari siswa-siswa terpilih StudioLima.
Menurut Ayank, konser besar kali ini akan menampilkan nuansa berbeda dari konser musik yang sebelumnya pernah digelar oleh StudioLima. Konser Harmoni Nusantara ini bertujuan untuk memupuk semangat kebangsaan dan mencintai lagu-lagu daerah serta memberikan pengalaman yang sangat eksperimental dan memperkaya wawasan kenasionalan, tidak hanya bagi pemain tetapi juga bagi penontonnya kelak.

Latihan menjelang konser.
            Sebagai salah satu pencinta seni musik dan suara, saya tak mau melewatkan kesempatan untuk selalu setia mengantar dan mendampingi kedua anak saya untuk latihan bermusik. Demikian juga dalam rangka jelang konser ini. Setiap kali Mira dan Khalid latihan dalam mempersiapkan konser besar tersebut, saya selalu menjadi “penonton sejati”. 
 
Briefing sebelum latihan
            Ada rasa bangga sekaligus pengalaman baru yang saya rasakan. Sebagai orangtua, siapa yang tidak bangga jika kedua anaknya akan tampil di sebuah perhelatan besar di bidang musik yang dibungkus dengan nama “Konser besar”? Ya, saya bangga dan sekaligus bersyukur karena kedua anak saya diberi kepercayaan untuk ikut terlibat di acara itu nanti.
Dari hari ke hari di setiap latihan menjelang hari ‘H’, konser Harmoni Nusantara yang digawangi oleh Theresia Friska Ratihsagita, selaku Art Director ini menjadi catatan buat saya. Dan, dari sanalah hati saya tergerak untuk menuangkan dan membaginya di blog ini. Meskipun tidak semua sesi latihan saya ikuti, tapi setidaknya saya bisa mengikuti jalannya persiapan menjelang konser. 

Orkestra
Tak sabar untuk melihat hasil akhirnya. :)
Karena Mira ikut di orkestra, maka saya hampir tak pernah absen untuk melihat persiapannya. Sambil menonton, sesekali rasa haru dan kagum muncul dan berbaur di hati saya. Apalagi ketika mereka memainkan instrumen lagu “Tanah Airku”, hati saya sempat bergetar. Saya membayangkan nanti, jika lagu ini dikumandangkan dan disaksikan oleh lebih dari seratus penonton, maka akan membuat ruangan senyap dan hening oleh indahnya alunan instrumen yang memainkan syair dari lagu tersebut.

Latihan untuk penampilan Ensambel Gitar










Begitu juga ketika saya mengantarkan Khalid untuk berlatih gitar bersama tujuh rekannya yang lain. Meskipun saya tak selalu bisa melihat di saat Khalid latihan (dia kurang suka difoto, itu alasannya, hehehe), namun setidaknya petikan dari gitar mereka sayup-sayup terdengar sampai ke ruang tunggu. Saya bisa membayangkan betapa semangatnya mereka agar bisa tampil dengan sempurna di konser nanti.
Anak-anak yang akan menari. :)

Permainan alat musik drum
 Sesi latihan yang membuat saya sesekali tersenyum adalah kelas tari karena semua yang menari adalah anak-anak SD yang imut-imutdan lincah. Wayan, selaku koreografer tari begitu sabar dalam membimbing dan menyelaraskan gerakan mereka. Lucu dan menggemaskan!

Semoga sukses!
            Saya kagum pada kinerja StudioLima dalam mengupayakan terselenggaranya acara konser besar ini. Dari mulai persiapan konsep acara, latihan, sampai pemenuhan semua hal yang mendukung suksesnya acara ini mereka lakukan dengan kerja keras yang didasari pada kecintaan terhadap dunia seni (terutama musik). Sebagai salah satu orangtua, tentunya tak ada kata lain yang saya harapkan selain doa sukses untuk acara Konser Harmoni Nusantara ini.
          Well... sukses untuk sekolah musik StudioLima dan semua pendukung konser. Sampai bertemu di tanggal 10 November 2013 nanti! [Wylvera W.]

Note: 
Yang pengen ikutan nonton, bisa pesan tiket masuknya di saya ya.
Harganya 100 ribu rupiah saja. Murah kaaan? *_^

Interlaken, I Miss You!

$
0
0

Saya berani mengatakan bahwa Swiss adalah salah satu negara terindah di dunia. Bahkan saya sempat menyebutnya “The Most Beautiful Country in the World”. Swiss bukan hanya gudangnya penikmat cokelat berkelas atau pencinta koleksi jam tangan mahal, di sana juga tersebar pegunungan salju dan lembah bunga nan indah.
Kanal di Interlaken yang ngangeni. (Foto: thn 2004)
Dan, tiga kali mengunjungi Swiss, saya tetap menyimpulkan bahwa Interlaken (sebuah kota kecil di Provinsi Bernese Highland, Switzerland) lah yang menjadi daya tarik dan sudut terindah negeri itu. Kesimpulan ini saya buat sebab ketika dua kali mengunjungi Interlaken, puncak bersalju pegunungan Alpen memantul di permukaan danau yang tenang langsung membius mata dan hati. Bukit dan lembah berbunga terhampar laksana permadani. Rumah-rumah kayu dan pohon pinus semakin melengkapi panorama bagaikan lukisan alam yang mempesona.
Ini bukan gembalanya ya. ;)
Ketika pertama kali datang ke kota ini, salju belum begitu tebal menyelimuti permukaan datarannya. Serasa berada di negeri Heidy si penggembala domba, saya sempat jatuh cinta pada kanal dan hamparan padang rumput serta sapi-sapi gemuknya. Di tepi kanal itulah saya  menghabiskan waktu untuk berpose. Kunjungan kedua, saya tak sempat menjenguk kota teduh itu. Baru ketigakalinya, saya dan keluarga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk melepas rindu. Sayang, anak-anak kami tak sempat memanjakan mata mereka dengan hamparan rumput dan sapi-sapi piaraan para peternak di sana, sebab kami datang di saat musim salju mulai menebal.
Interlaken tetap cantik diselimuti salju. (Foto: 2009)
Saya, Mira dan Khalid
Interlaken terletak di antara dua danau, Thun dan Brienz, berada di bawah bayang-bayang gunung Eiger, Monch dan Jungfrau. Bukan hanya sebagai lokasi favorit untuk aktivitas traveling (seperti naik kapal mengeliling danau hingga menaiki kereta gantung, main kano, bersepeda mengelilingi danau Brienz serta berkunjung ke air terjun Giessbach), Interlaken telah mampu membius wisatawan betah berlama-lama di sini untuk menikmati panoramanya yang luar biasa indah.
Hahaha... ada yang terpisah di sudut sana. ;)
Tak ada batasan musim yang bisa membatasi kita untuk berkunjung ke kota ini. Interlaken selalu terlihat cantik baik di musim dingin maupun panas. Untuk berkunjung ke Interlaken pun banyak tersedia penerbangan dengan pilihan harga. Ketika tiba di Zurich, kita tinggal memilih mau memulai perjalanan dari mana. Bisa dari Zurich, Genewa, Berne, Luzern, atau kota Basel. 
Stasiun kereta di Basel (Basel Bahnhof)
Di dalam kereta (Mira dan Khalid)

Ibu dan Bapak ;)
Kalau saya lebih memilih perjalanan dengan kereta api dari Basel, kota kecil yang biasa kami pakai untuk menginap jika ke Swiss. Perjalanan dari Basel ke Interlaken akan dimanjakan oleh panorama alam yang begitu memukau dari balik kaca jendela.
Menuliskan catatan ini membuat hati semakin digerayangi kerinduan. Duh! Interlaken, semoga lain waktu saya dan keluarga bisa kembali ke sana. []

Di Acara Halalbihalal itu ....

$
0
0


            Menyinggung tentang kata hahalbihalal, dari literasi yang pernah saya baca, halal-bihalal sendiri dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Mungkin terkait dengan makna itu, setiap memasuki bulan syawal, tradisi yang kerapkali digelar adalah acara halalbihalal ini.
Hampir semua komunitas menyempatkan waktu mengambil momen untuk terlibat di acara ini. Begitu juga dengan Kumpulan Emak2 Blogger (KEB). Setelah awalnya MakPon Mira Sahid (sapaan akrab Emak Founder KEB) melemparkan usulan tanggal penyelenggaraan halalbihalal di grup, akhirnya muncullah kesepakatan bahwa acara itu akan digelar pada tanggal 1 September 2013 yang lalu.
Hari “H” yang ditunggu-tunggu pun tiba. Acara halalbihalal Kumpulan Emak2 Blogger digelar di sebuah tempat makan bernama D’Cost yang lumayan nyaman, murah dan mudah dijangkau oleh anggota KEB yang bermukim di Jabodetabek. Dan, tidak terlalu sulit juga bagi mereka yang datang dari Bandung. Buktinya mereka hadir tepat waktu.
Karena sudah lama tak saling bertemu dan kumpul-kumpul, saya pun ikut hadir di acara yang diadakan di Plaza Semanggi itu. Begitu memasuki gedung, dengan mengenakan dress code  Smart Casual white and jeans (meskipun enggak casual-casualamat sih... makanya enggak menang...hihihi) yang sudah disepakati, saya pun melangkah yakin menuju lokasi acara. Seperti biasa, setiap KEB menggelar acara kumpul-kumpul, jangan kaget kalau penyambutannya selalu hangat dan penuh kekeluargaan. Kedatangan saya pun disambut sehangat matahari pagi. Cipika- cipiki pun tidak terlewati (padahal saya belum ngisi buku tamu lho waktu itu, untung ingat kalau enggak ‘kan nggak bakalan dapat doorprize...qiqiqi).
MC andalan KEB (Mak Aulia Gurdi) membuka acara halalbihalal.
Singkat cerita, acara pun dibuka oleh MC favoritnya KEB, Mak Aulia Gurdi dengan santai. Tak panjang kata pembuka yang beliau habiskan (mungkin kasihan melihat wajah-wajah lapar yang sudah menunggu untuk makan siang...hahaha), beliau pun mempersilahkan Mak Fadlun (Ketua Panitia #KEBSyawalan). Lagi-lagi seperti ingin mempercepat waktu lunch, Mak Fadlun tak berpanjang kata dan langsung membuka acara dengan doa. Feling so good. Hehehe....
Mak Fadlun (ini lho ketua panitianya).
Tak lengkaplah rasanya kalau KEB menggelar acara tanpa sepatah dua patah kata dari Foundernya. MC pun mendaulat MakPon Mira Sahid untuk memberi sambutannya. Yang saya ingat, MakPon mengatakan bahwa acara halalbihalal ini adalah bentuk kerinduan KEB yang sudah lama tak menggelar acara pertemuan setelah event akbar Srikandi Blogger beberapa bulan yang lalu. 
MakPon Mira Sahid dalam sambutannya. :)
Emak muda yang selalu tampil cantik dan stylist ini juga menyelipkan program KEB ke depan. Pertama tentang training online menulis yang akan digawangi oleh Nunik Utami (penulis yang sudah menghasilkan puluhan buku) untuk member KEB. Kedua, tentang ajang pemilihan Srikandi Blogger 2014. Saya cukup senang dan berbangga hati menyimak informasi yang disampaikan oleh MakPon. Kalau di eventSrikandi Blogger yang lau jajaran Makmin KEB telah mempercayakan saya sebagai ketua penyelanggaranya, untuk 2014 nanti sahabat saya yang didaulat untuk memotori acara bergengsi ini. Alhamdulillah... semoga Mak Haya Aliya Zaki dan para Srikandi Blogger KEB 2013 terpilih diberi kemudahan dan kelancaran untuk mengemban amanah ini. Aamiin.
Inilah panitia Pemilihan Srikandi Blogger 2014 yad.
            Sebelum acara dilanjutkan, ternyata masih ada satu lagi yang didaulat untuk memberi sambutannya. Emak berbaju oranye itu terlihat gugup saat memulai kata-katanya. Yaaa... tentu saja, belum memulai sudah dianggap selesai. Hahaha... peaaace ya, Mak Icoel.
Mak Sumarti Saelan salah kostum deh kayaknya. :p
           Begitulah, setelah sambutan selesai MC pun menggelar acara makan siang bersama. Tapi, jangan salah, biarpun dalam keadaan makan, ruangan yang berukuran kira-kira 5x5 meter itu tidak pernah hening dari keriuhan. Ada saja bahan candaan yang mampu membuat suasana terus mencair dan memancing gelak tawa. Itulah kami, para Emak yang tak pernah kering oleh senda gurau.
            Setelah makan siang, MC kembali memberi waktu kepada Mak Riski Fitriasari untuk memandu games. Game pertama adalah lomba meraut pensil. Saya ikutan dooong... tapi... tapi... enggak menang, Mak. Hehehe... ketauan kalau sehari-hari jarang sekali merautkan pensil anak ya?

Siap-sap lomba meraut pensil ni ceritanya. (Foto: Dina Begum)

Selepas itu, gameslainnya juga tak kalah seru. Ada beberapa pertanyaan seputar KEB yang harus dijawab oleh para Emak. Dan, lagi-lagi saya bukan salah satu pemenangnya. Kasiaaan deh. Tak apalah, yang penting mereka happy (ngeless tingkat dewi). Berlanjut ke lomba mendorong tutup botol di atas meja. Siapa yang terdekat dengan garis pembatas tutup botol miliknya yang jadi pemenangnya. Daaan... the winner is... Mak Aryani! Plok...! Plok...! Plok...!


            Nah, bukan hanya itu lho games nya. Ada lagi yang seru. Kata panitianya, kalau ini tidak dilaksanakan, bakal tak ada lagi kesempatan untuk “ngerjai” para MakMin KEB. Nah, lho! Hihihi.... Kalau mau melihat keenergikan para MakMin dengan goyangan cesarnya, ya di acara inilah saatnya. Lanjutkaaan! Hahahaha....
Sebenarnya ini belum lengkap, tapi nggak tega, Maaak.... :p
            Tiga jam bersama di acara halalbihalal #KEBSyawalan ini benar-benar momen yang membuat saya nyaris “lupa diri”. Katanya sih, saya gokil... ah masak sih? Bukankah Mak Elisa Koraagjauh lebih “gila” dibanding saya yang pendiam dan malu-malu ini. Qiqiqi.... 
Lihatlah, kami sudah berusaha supaya tampil cantik. :)    


Foto: Mak Dey (pinjam foto cantiknya ya. ;))
Eh, tapi, terang saja kegokilan saya kambuh. Bayangkan saja ya, saya dan Mak Elisa yang sudah begitu pede bakalan dipilih sebagai Emak dengan dress code terbaik, akhirnya harus mengalah (tepatnya gigit jari sih) karena pilihan panitia jatuh kepada Mak Winda Krisnadefa. Yaaah... lagi-lagi kami rela jika ditempatkan hanya sebagai finalis saja (menurut kami:p). 

Mak Winda, pemenang dress code terbaik. :)
            Demikianlah, acara yang penuh dengan canda tawa itu akhirnya ditutup dengan foto bersama. Kalau boleh jujur, sebenarnya kami masih ingin berlama-lama, tapi melihat mata pelayan di D’Cost itu rasanya enggak rela juga sih kalau sampai diusir dulu baru pulang. Hahahaha....

Lumayan kan yang hadir? :)

            Kebersamaan yang indah ini semoga terus terjalin dan terpupuk selamanya. Tidak hanya di dunia maya (blog, grup facebook dan twitter), KEB In shaa Allah mampu mengeratkan tali silaturahmi, menebar ilmu dan info bermanfaat, mencerdaskan sesama anggotanya di mana pun berada. Semoga.
            Kesimpulan dari cerita ini adalaaaah... saya sangat menikmati acaranya. Dua jempol buat panitia! Jarang-jarang juga ‘kan bisa melihat saya gokil macam itu? Jujur saja sehari-harinya saya ini pendiam dan agak malu-malu "in" lho, Maks. Hahaha....  []
           

Secuil Kenangan yang Terekam dari Lille

$
0
0

Akhir tahun 2008 merupakan perjalanan panjang kami sekeluarga dari Amerika menuju Eropa. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang kembali itu membuat suami saya memutuskan untuk menyinggahi Jerman, Swiss serta Perancis dan kota-kota di sekitarnya. Salah satu kota yang sempat kami singgahi adalah Lille. Kota ini terletak di sebelah Utara Perancis, wilayah Nord Pas de Calais dan berdekatan pula dengan perbatasan Belgia. Nama Lille katanya berasal dari kata “l’Ille’ yang dalam Bahasa Perancis artinya pulau kecil. Tapi, walaupun kotanya kecil, Lille merupakan daerah metropolitan terbesar keempat di Perancis.

Stasiun kereta api Lille Flanders

Dari Paris kami memilih naik kereta api TGV (Train Grain Vitesse, kereta api dengan kecepatan tinggi milik Prancis) menuju Lille. Tiketnya sekitar 55 euro/orang waktu itu. Perjalanan dari Bandara CDG (Charles de Gaulle), Paris, Perancis menghabiskan waktu sekitar 1 ½ jam. Dari stasiun Lille Europe kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan metro (kereta bawah tanah) menuju stasiun Lille Flanders.




Saat itu sedang musim dingin. Begitu ke luar dari stasiun kereta api, udara dingin langsung menyengat kulit wajah kami. Kami menikmati sudut-sudut kota yang tenang itu dengan berjalan kaki. Dan, anak-anak saya tetap enjoy, menikmati perjalanan itu. Ternyata dari apa yang saya baca menjelaskan bahwa kota yang terletak di bagian Utara Perancis ini memang memiliki suhu lebih dingin dibanding Paris. Musim dingin seperti saat itu suhu bisa mencapai 6 – 8 derajat Celcius. Sungguh tidak nyaman kalau tidak mengenakan busana anti dingin. Apalagi buat saya yang sedikit rentan pada udara dingin. Untunglah satu setengah tahun lebih tinggal di Amerika telah membuat saya beradaptasi.



Lille juga diwarnai oleh ciri khas bangunan yang unik seperti kota-kota lain di Perancis. Kota Lille bercirikan Flemish (Belgia) – Perancis (abad ke-17) hingga bangunan modern menghiasi beberapa kota. Uniknya, di banyak bangunan kita dapat melihat penanda tahun kapan bangunan itu didirikan. Place du General de Gaulle atau disebut Grand Place merupakan tempat penting di kota ini. Sementara museum kedua tertua di Perancis, Palace of Fine Arts, juga terletak di kota ini.
La Grande Place, Lille
La Palais des Beaux - Arts de Lille

Mira dan Khalid yang menghadap depan. :)
Lille mengingatkan kita pada dua nama terkenal di Perancis serta dunia, yaitu Louis Pasteur dan Charles de Gaulle. Pasteur datang ke Lille untuk melakukan riset fermentasinya. Hasil karyanya ini berbentuk penemuan pada pasteurisasi. Pasteur  menjadi dekan College of Science di Lille. Sedangkan Charles de Gaulle, yang namanya diabadikan di Airport International Paris juga lahir di sini.
Kebersamaan kami di sana tetaplah menjadi sebuah catatan kenangan yang hingga kini masih melekat dan sesekali membuat rindu untuk kembali. Semoga suatu saat nanti kami berempat bisa mengulang perjalanan ke sana serta menyusuri tempat-tempat bersejarah yang mungkin luput dari bidikan kamera kami ketika itu. []

My Dear Daughter....

$
0
0



Yasmin Amira Hanan
Anakku....
Melihatmu adalah berjuta bahagia buatku
Ceriamu adalah luapan pelipur laraku
Air matamu adalah tumpukan gundahku
Ibadahmu adalah pelindung dan penyelamatku
Meski tak selalu terucap dalam kata-kata
Sayang dan cintaku kerap ada dalam doa
Tetaplah menjadi anak Ibu yang manis dan soleha
Agar tak hanya di dunia kita bersama

Ketika kau masih di dalam kandungan Ibu, Bapak selalu menduga kalau yang ada di dalam perut Ibu adalah anak laki-laki. Semakin hari bapakmu semakin dibikin penasaran karena dokter kandungan yang memantau perkembanganmu dalam rahim Ibu masih bertahan tak mau memberitahu jenis kelamin dirimu. Tapi, sebenarnya Ibu sudah merasakan bahwa ada calon bayi perempuan mungil dalam perut Ibu.
Begitulah, Nak... bapakmu lalu mencarikan nama anak laki-laki sebagai persiapan menyambut kelahiranmu. Nama itu cukup bagus sebenarnya, Bagus Abian Wicaksana, tapi keyakinan Ibu semakin besar ketika hari-hari kelahiranmu semakin dekat bahwa kamu adalah anak perempuan. Dan, benar saja... ketika wajahmu muncul, bapakmu tanpa sadar berucap, “Oh, Alhamdulillah... perempuan rupanya, Wiek.” Ibu hanya tersenyum mendengarnya.
Bapakmu memang cekatan, begitu dia tahu kalau anaknya lahir sebagai bayi perempuan cantik yang montok, dia segera menemukan nama Amira Hanan untukmu. Lalu, Ibu melengkapi nama itu dengan tambahan Yasmin di depannya. Lengkaplah kami memanggilmu Yasmin Amira Hanan. Dokter dan perawat di rumah sakit itu sempat memuji namamu yang indah. Alhamdulillah, saat itu ibu pun tak henti berdoa semoga akhlakmu jauh lebih indah dari nama yang kami berikan.
Sebagai anak pertama Ibu dan Bapak, sekaligus cucu pertama dari Kakek dan Nenek, waktu itu kehadiranmu tentu saja seakan sebuah permata yang berkilau. Perhatian dan kasih sayang kami tercurah untukmu. Dan, kau pun tumbuh menjadi anak yang periang, lincah, kreatif serta menggemaskan. 
Suatu hari, kala itu usiamu baru sekitar lima tahun. Tapi, entah pemicu dari mana dan mungkin saat itu Ibu terlalu lelah, tiba-tiba kenakalanmu sulit Ibu tolerir. Ibu sempat memukul kakimu dengan ikatan sapu lidi. Kamu menangis tersedu-sedu dan dalam isakanmu kau berkata, “Ibu jahat!” Kau tahu, Nak... saat itu hati Ibu hancur berkeping-keping. Ibu ingin segera memelukmu, tapi entah bisikan syetan mana yang menahan Ibu untuk tak segera memelukmu. Bisikan itu mengatakan, bahwa Ibu perlu menghukummu kalau kamu nakal.
Ketika rasa lelah sempurna menguasaimu karena menangis, akhirnya kamu tertidur lelap. Saat itulah, Nak... Ibu memandangi wajahmu berlama-lama sambil sesekali mengelap air mata penyesalan yang menetes di pipi Ibu. Ibu mengelus betismu yang tadi sempat tersambit oleh sapu lidi. Rasanya Ibu tak sabar menunggu kau terbangun dan mengucapkan permohonan maaf serta memelukmu. Dengan hati penuh harap, Ibu sabar menunggu kau terbangun sambil sesekali mengelus kepala dan punggungmu.
Begitu kau membuka mata, Ibu tak mau menunggu lama dan mengatakan, “Maafin, Ibu ya.” Matamu masih menerawang menatap wajah Ibu. Lagi-lagi Ibu tak mau menyia-nyiakan waktu, tubuhmu Ibu raih dan peluk seerat mungkin demi menebus semua kesalahan dan kekasaran Ibu. Rasa haru semakin membuncah ketika pelukan Ibu kau sambut dengan hangat seolah kau sudah lupa dengan kekejaman yang baru saja Ibu lakukan padamu. Ah, kalau ingat itu, rasanya Ibu ingin sekali mengulang waktu agar kejadian itu tak ada dalam catatan hati Ibu dan dirimu. Sungguh, Ibu menyesal....
Betapa cepat waktu melaju. Sekarang, kau sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Banyak waktu dan cerita yang sudah kita lewati bersama. Ketika dulu kau sakit, terjatuh, tertawa, sampai kegembiraan yang meluap-luap saat kau menerima beberapa piala adalah kenangan yang selalu indah untuk Ibu kenang. Kau memang selalu mengisi hari-hari Ibu dengan pesona kreativitas yang Allah berikan untukmu, Nak. Semoga budi pekertimu pun tumbuh seiring dengan kreativitas itu.        
          Saat kau tumbuh remaja dan mulai terbuka bercerita tentang teman laki-laki sekelasmu atau sahabat perempuan di sekolah yang terkadang membuatmu kesal dan ingin marah. Lalu, ketika tanpa terelakkan kita tiba-tiba berdebat tentang sebuah prinsip, lagi-lagi itu membuat Ibu semakin belajar memahamimu, anakku. Semoga proses itu terus kita nikmati bersama.
Kau ingat, ketika pertama kali mendapatkan haid pertamamu? Kala itu kau masih duduk di fifth grade elementary school. Waktu itu kita masih berada di Urbana Illinois Amerika. Kau sempat menolak tanda akil baliqmu itu dan mengatakan, “Kenapa kok cepat banget sih? I’m ashamed! Kakak gak mau ke luar apartemen!” ujarmu panik.
Ibu tak mau membiarkanmu larut dalam kepanikan itu. Dengan menyimpan rasa lucu sebenarnya, Ibu memberi pengertian kepadamu bahwa seharusnya kau bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT. Darah yang keluar dari tubuhmu itu adalah bentuk kasih sayang Allah kepadamu agar kau semakin belajar untuk menjaga diri, semakin bertaqwa dan menjaga auratmu. Artinya kau sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Mendengar penjelasan Ibu, sikapmu tidak langsung berubah, kau masih malu-malu turun dari mobil ketika Ibu mampir ke apartemen teman waktu itu. Kau lebih memilih menunggu di mobil. Lucu rasanya kalau ingat itu.
“Aku nggak mau orang lain tahu kalau aku berdarah,” ucapmu lugu membuat Ibu berusaha menahan tawa. Namun, situasi itu tidak lama. Kau memang anak Ibu yang cerdas. Akhirnya kau mau menerima dan mulai terbiasa dengan tanda kegadisan itu.
Anakku sayang, kau tahu... ketika berada di sampingmu ada waktu-waktu yang sejujurnya membuat Ibu ketakutan tapi sekaligus berusaha ikhlas dan pasrah? Yah, saat itu adalah ketika melihat dirimu sakit dan terbaring lemah. Dulu, ketika kau masih kecil, Ibu begitu cemas ketika kau harus dirawat di rumah sakit. Hati Ibu tak pernah lepas dari doa agar kau segera pulih dan kembali bermain dengan riang gembira. Saat-saat itu Ibu pikir sudah kita lewati, Nak. Tapi, Allah SWT ternyata masih sayang kepadamu dan Ibu.
Belum lama ini, Ibu kembali dihadapkan pada kecemasan yang luar  biasa berat Ibu rasakan. Rasanya baru saja kita bersuka-cita merayakan hari kelahiran dan pertambahan usiamu menjadi 15 tahun di bulan Juni 2013 lalu, tiba-tiba kau kembali jatuh sakit. Ketika itu dunia terasa runtuh di atas kepala Ibu, Nak. Ibu berusaha tegar mendengar diagnosa dokter yang menyimpulkan bahwa di empedumu saat ini tengah menyimpan batu kecil berdiameter 0,8 centimeter. Itulah yang membuat kita sama-sama menikmati malam-malam puasa di rumah sakit itu. Tidak hanya itu, hasil endoskopi menunjukkan bahwa lambungmu juga bermasalah. Dari diagnosa itu kau pun harus menjalani terapi obat dan diet ketat.
            Hasil diagnosa itu membuatmu harus kembali mengkonsumsi obat secara rutin setelah kau sempat menghentikannya di pertengahan 2013 lalu. Proses dan serangan rasa sakit yang kau derita saat itu membuat hati Ibu terasa tercabik-cabik. Erangan suaramu saat berjuang menahan rasa perih di lambung dan perutmu yang kram serta wajahmu yang pucat pasi menekan beban nyeri di ulu hati, membuat Ibu ingin meminjamkan semua organ tubuh ini untukmu. Dan, kalau saja mungkin, Ibu ingin sekali menggantikan kesakitanmu itu, Nak. Sungguh....
             
          Ibu ingin menuntaskan curahan hati ini kepadamu, Nak. Sebelas hari kebersamaan kita di rumah sakit itu membuat nyali Ibu pasang surut. Ketakutan Ibu semakin memuncak ketika malam itu rasa nyeri itu kembali menyerangmu sehingga para perawat bergegas memasangkan selang dari tabung oksigen ke hidungmu. Kau tahu, Nak... sekali lagi Ibu ingin memelukmu sekuat-kuatnya saat itu. Ingin memohon kepada Sang Maha Pengasih untuk menggantikan semua kesakitan yang kau rasakan ke tubuh Ibu. Tapi, Ibu terus berusaha menegarkan rasa, memupuk ikhlas dan rasa menerima bahwa semua ini harus kita lewati bersama-sama. Allah punya rahasia untuk kita, Nak....
            Mira, anakku sayang... In shaa Allah, setelah apa yang kita alami, membuat Ibu semakin dekat dan menjagamu dengan segenap jiwa raga. Ibu akan terus memberikan yang terbaik demi kesembuhanmu, demi angan-angan dan cita-citamu yang tinggi. Ibu ingin melihat kau meraihnya. Ibu ingin melihat stetoskop itu tergantung di lehermu. Iya, Kak... Ibu akan berusaha mendampingimu hingga kau meraih profesi dokter itu. Teruslah berjuang, anakku sayang... Ibu dan Bapak akan selalu mendukungmu. Terutama Ibu, luapkan segala rasa yang ingin kau tumpahkan. Ibu selalu siap untukmu, In shaa Allah.
Semoga Allah SWT memberikan waktu itu untuk kita, anakku. Aamiin. []  



Untuk Mak Dian Ekawati Suryaman salam kenal, sebagai salam perkenalan kita, aku mempersilakan dirimu membagi catatan hatimu bersama putri kesayanganm, ya Mak. :)

       

Indahnya Berbagi Pengalaman di SMART Ekselensia

$
0
0


               Suatu ketika seorang teman, yang akrab saya panggil dengan Mbak Dwitra, memposting tentang acara bertema “Menjadi Indonesia Lebih Baik” di facebooknya. Acara itu adalah tentang kegiatan berbagi pengalaman, cerita kehidupan, dan pembelajaran hidup kepada adik-adik dhuafa di sekolah SMART Ekselensia, Parung, Bogor. Awalnya saya tidak ngeh, tapi karena nama saya ikut di-tag di kolom komen, maka saya tertarik untuk membaca postingan itu.


            Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti menemukan lahan amal yang baru, hati saya langsung tergerak untuk ikut bergabung. Saya langsung menghubungi Mbak Dwitra lewat inbox facebook untuk menanyakan seperti apa bentuk kegiatan berbagi pengalaman itu. Dari penjelasan beliau akhirnya saya diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman tentang profesi saya sebagai penulis. Ditambah penjelasan dari Ibu Lisa Rosaline (Manajer Pengembangan Bahasa di sekolah itu), rasanya sudah lumayan lengkaplah informasi yang saya terima.
            Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu (Senin, 11 November 2013), sebab hampir tak kuat rasanya menahan rasa penasaran untuk bertemu dengan adik-adik dhuafa yang kabarnya rata-rata memiliki intelegensi yang luar  biasa itu. Sebelumnya saya dan dua rekan lainnya (Siraj El Munir Bustami dan istri beliau, Indira Abidin) yang akan berbagi pengalaman, sudah diberikan susunan acara untuk kelas filantropi itu. Saya kebagian murid-murid kelas 7 SMP yang semuanya laki-laki.
 Sejak pagi saya sudah tak sabar menunggu jemputan dari pihak sekolah SMART Ekeselensia yang dijanjikan. Begitu mobil jemputan tiba di depan rumah, saya langsung dipersilakan naik dan kami pun berangkat menuju sekolah tersebut. Jalanan yang lumayan macet tak membuat saya dan salah seorang guru (Bu Retno) yang menjemput merasa bosan. Selama di perjalanan begitu banyak cerita yang kami bagi. Mulai dari cerita tentang pengalaman saya mengajar di kelas menulis sampai tentang pola pendampingan pendidikan kepada dua anak saya yang saat ini memasuki fase remaja. Obrolan kami yang menghabiskan durasi sekitar satu setengah jam itu akhirnya terhenti ketika mobil tiba di lokasi.
Sebelum masuk ke kelas filantropi, kami diberikan pengenalan sekilas tentang Sekolah SMART Ekeselensia yang sudah berdiri sejak tahun 2004 di Parung, Bogor itu. Sekolah itu adalah sekolah menengah berasrama yang membebaskan biaya pada murid-muridnya (anak-anak dhuafa berprestasi dari seluruh Indonesia). Sekolah itu juga menerapkan sistim akseleratif (5 tahun untuk jenjang SMP – SMA).
Mata saya tak bisa lepas dari tayangan tentang prestasi yang sudah diraih oleh murid-murid dhuafa di sekolah itu. Ragam prestasi telah mereka raih salah satunya seperti medali emas pada Olimpiade Sains Nasional ke IX untuk bidang Biologi. Masih banyak lagi prestai yang telah mereka ukir selama menimba ilmu di sekolah itu. Bahkan tidak sedikit alumni SMART Ekselensia yang lolos di Perguruan Tinggi Negeri ternama di tanah air ini. Luar biasa bukan?
Rasa kagum dan salut menyeruak di lubuk hati saya seketika itu. Betapa tidak, mereka saja yang terlahir sebagai anak-anak dhuafa telah mampu mengukir prestasi di bidang pendidikan, mengapa masih banyak anak-anak yang berkecukupan di luar sana lalai akan kesempatan yang ada di depan mata mereka? Seharusnya mereka belajar dari semangat teman-teman dhuafa ini.

Anak-anak yang Smart dan membanggakan.
Setelah sesi perkenalan dengan penanggung jawab sekolah, kita pun diantarkan ke kelas masing-masing. Sesampainya di kelas, saya langsung menangkap sorot mata murid-murid yang antusias dan haus akan ilmu itu. Betapa senangnya saya menerima sambutan yang begitu bersemangat dari mereka.
Sebelum saya berdiri di depan kelas, salah seorang murid membuka acara dan menyampaikan kata-kata sambutan dalam Bahasa Inggris. Saya semakin kagum dibuatnya. Selanjutnya beberapa murid tampil dengan suguhan performance, menyanyikan lagu berjudul “I Have a Dream”. Lagu itu seolah menggambarkan luapan mimpi mereka akan masa depan yang cerah.

Nyanyian pembuka untuk menyambut saya. :)
Akhirnya mereka mempersilakan saya untuk tampil dan berbagi kisah pengalaman saya sebagai penulis. Materi yang telah saya siapkan pun sudah terpampang di layar infocus. Jangan heran, walaupun sekolah ini diperuntukkan kepada anak-anak dhuafa, tapi perlengkapan sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar mereka lengkap dan memadai. Semua itu berkat Dompet Dhuafa sebagai penyandang dananya.
Tibalah waktunya saya berbagi. Bukan tentang materi menulis, tapi lebih pada memotivasi mereka untuk tidak ragu-ragu bermimpi sebesar yang mereka inginkan. Bahkan menjadi penulis pun bisa dijadikan sebagai mimpi besar mereka di masa yang akan datang.


Ada hal yang membuat saya tersenyum haru. Ketika di awal saya menampilkan foto saya dengan balutan coat, mereka langsung bertanya, “Itu fotonya di mana, Bu?” Saya pun spontan menemukan ide untuk membangkitkan semangat mereka. Saya katakan kalau foto itu diambil ketika saya berada di London.

“Nah, menjadi penulis itu hebat ‘kan? Dari hasil royalti atau uang yang didapat dari penjualan buku-buku karyanya bisa membawanya sampai ke luar negeri,” kata saya menyemangati mereka.
“Nulis bukunya harus banyak ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
“Bisa iya bisa tidak. Karena beberapa buku saja pun jika best seller atau penjualannya laris maka royaltinya bisa banyak juga dan cukup untuk melancong sampai ke luar negeri, lho,” jawab saya membuat mereka menahan senyum takjub.
Masih banyak pertanyaan lain yang mereka ajukan. Saya menjadi bertambah semangat menjawabnya. Setelah itu, saya memberi kesempatan kepada mereka untuk menunjukkan kemampuan menulisnya. Saya berikan waktu sekitar 10 menit untuk menuliskan 9 kalimat tentang mimpi dan harapan mereka. Bagi yang tercepat menyelesaikan dan utuh sembilan kalimat, saya menyediakan hadiah buku karya saya. Begitu waktu start disebutkan mereka langsung bergegas mencari posisi menulis yang nyaman bagi mereka. Luar  biasa! Tak satu pun yang terlihat enggan melakukannya. Semua semangat dan antusias.



Dari waktu sepuluh menit untuk menulis itu, akhirnya terpilihlah dua murid yang sesuai dengan syarat yang telah saya berikan. Buku karya saya pun menjadi milik mereka. Sebelum menutup acara, saya kembali disuguhi oleh penampilan salah satu murid yang menyanyikan lagu Justin Bieber, berjudul “Never say Never”. Wow! Kerennyaaa....

Nyanyian penutup sebelum berpisah.
Waktu sekitar dua jam yang diberikan kepada saya terasa sangat kurang. Banyak hal yang masih ingin mereka tanyakan, tapi karena waktu yang terbatas saya pun menutup kebersamaan kami dengan mengucapkan kalimat penyemangat, “Teruslah bermimpi dan bercita-cita setinggi mungkin, tidak terkecuali mimpi menjadi penulis hebat karena apa pun cita-cita dan mimpi kalian Insya Allah akan terwujud kalau kalian sungguh-sungguh ingin meraihnya.” Selebihnya, mereka tak membiarkan saya ke luar kelas begitu saja. Mereka berebut ingin mendapatkan tanda tangan saya. Subhanallah... harunya hati ini.

Terima kasih cinderamatanya, Bu Lisa. :)
Terima kasih, anak-anakku, dari kalian saya jadi mendapatkan pengalaman yang luar  biasa untuk dibagi kepada kedua anak-anak saya di rumah. Terima kasih juga, SMART Ekselensia, semoga suatu hari nanti saya diberi kesempatan lagi untuk kembali ke sana. [Wylvera W.]

Menularkan “Virus” Menulis pada Anak

$
0
0

doc. Pribadi

Anak yang bisa menulis bukan hanya untuk menjadi penulis saja. Sebab, apa pun kelak profesi yang dipilih si anak, kemampuan menulis akan dapat menumbuhkan kreativitasnya dalam menjalankan profesi tersebut. Namun, untuk menjadi gemar dan suka menulis mungkin tak diminati oleh semua anak. Maka, untuk memotivasi mereka agar menggemari kebiasaan ini adalah tugas kita sebagai orangtua, guru, maupun insan yang peduli pada hal itu. 
Menulis di layar komputer vs buku tulis (sensasinya beda-beda lho). Doc. Pribadi
Untuk kepedulian itu, sebagai salah satu orangtua sekaligus guru (meskipun hanya mengajar di kelas ekskul), saya selalu memupuk semangat untuk menularkan kebiasaan menulis ini kepada anak-anak didik saya dengan istilah “virus” menulis. Saya selalu mengingatkan kepada anak-anak didik yang saya bimbing sejak 2010 lalu di SDIT Thariq Bin Ziyad Pondok Hijau Permai, Bekasi, tempat saya mengajar pada kelas ekstrakurikuler jurnalistik. Saya selalu menularkan “virus” menulis itu di sela-sela materi jurnalistik yang saya ajarkan kepada mereka. Seterampil apa pun mereka melakukan liputan dan wawancara, mereka tak akan mampu menyusun berita yang bagus jika keterampilan menulis mereka tidak diasah dengan baik. Itu yang kerap kali saya ingatkan.
doc. Pribadi
Awalnya mereka heran, sebab mengira bahwa kelas jurnalistik semata-mata hanya berlatih menjadi wartawan cilik yang baik dengan mampu meliput serta mewawancari narasumber saja. Begitu saya meminta mereka menuliskan reportasenya, barulah mereka menyadari bahwa keterampilan menulis sangat dibutuhkan supaya mereka bisa menyajikan berita yang enak untuk dibaca.
Nonton bareng jadi kegiatan yang paling menyenangkan. (Doc. Pribadi)
Demi mengasah keterampilan mereka, saya tak lupa untuk menyelipkan materi menulis di setiap kali saya bertemu di kelas dengan mereka. Materi itu bisa berupa dari menuliskan cerpen, catatan harian, maupun opini mereka. Saya juga memberikan kesempatan kepada anak-anak itu untuk sekadar duduk di luar kelas atau di luar gerbang sekolah. Mereka saya minta untuk mengamati apa yang terjadi di sekeliling mereka dalam waktu sekitar lima belas menit. Setelah itu, saya meminta mereka kembali ke dalam kelas untuk memberikan laporan pandangan matanya ke dalam tulisan. Saya meminta mereka menuliskan semua yang mereka tangkap lewat panca inderanya. Alhamdulillah, hasilnya lumayan bagus.
Kunjungan ke Panti Asuhan. (Doc. Pribadi)
Tak hanya itu, untuk mendorong semangat mereka dalam menulis, sesekali saya juga meminta mereka menuliskan apa yang paling mereka sukai, ketahui dan kuasai. Karena menuliskan apa yang paling dikuasai akan memudahkan mereka menuangkan idenya. Imbas dari kebiasaan itu, lambat laun mereka semakin terampil untuk membuat laporan wawancara serta liputan lainnya dalam bentuk tulisan. Saya mengharapkan dua keterampilan sekaligus dapat mereka kuasai selama berada di kelas ekskul yang saya bimbing.  
Wawancara Pedagang. (Doc. Pribadi)
Pertama tentunya keterampilan jurnalistiknya. Untuk level anak-anak seperti mereka, saya membatasi pada keluwesan dalam menyusun pertanyaan serta melakukan wawancara kepada guru, teman sekolah, pedagang di sekitar sekolah, orangtua mereka serta terampil melakukan liputan sederhana di dalam maupun di sekitar sekolah. Kedua, tentunya keterampilan menulisnya. 
Doc. Pribadi
             Dari pengalaman mengajar kelas ekskul ini,  salah satu murid saya (Salwa Salsabila) sudah berhasil membukukan salah satu cerpennya yang lolos di lomba menulis cerpen tingkat nasional beberapa waktu lalu. Bukan hanya itu, cerpen Salwa juga lolos seleksi dan dia berhasil ikut serta dalam Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2013 setelah berkompetisi dengan lebih seratus cerpen peserta dari seluruh tanah air. Sementara murid saya yang lainnya juga telah berhasil menyusun tulisan dari wawancara mereka kepada para pedagang di luar sekolahnya yang dimuat di tabloid sekolah itu.
Saya berharap, keberhasilan ini tak terhenti hanya pada satu atau beberapa murid saja. Kelak akan ada lagi yang menyusul karena imbas “virus” menulis yang saya tularkan. Semoga. []

Bukan Sekadar Nonton Bareng

$
0
0

Asyiiik, akhirnya bisa nonton bareng! (Foto: Wylvera W.)

Sebenarnya acara nonton bareng ini ingin saya jadikan tradisi tahunan untuk murid-murid kelas ekstrakurikuler jurnalistik dan kepenulisan. Selain refreshing, saya ingin mengajak mereka untuk berlatih membuat resensi (salah satu materi ekskul yang saya masukkan ke dalam silabus) dari film yang mereka tonton. Namun, sejak angkatan pertama (2010 – 2011), murid-murid kelas jurnalistik SDIT Thariq Bin Ziyad, Pondok Hijau Permai, Bekasi yang saya bimbing tidak pernah lagi mendapat kesempatan untuk merasakan sensasi nonton bareng. Alasannya, karena kami tidak pernah menemukan jadwal untuk berkumpul di hari libur dengan film yang pas untuk ditonton. Terpaksa saya hanya bisa menyuguhkan film-film pendek untuk ditonton di kelas saja. Itu tentu saja tidak maksimal.
Setelah menunggu sekian lama waktu yang benar-benar pas, betapa senangnya karena akhirnya kesempatan itu kembali dinikmati oleh angkatan keempat. Sebelum memasuki ujian semester, mereka sempat meminta untuk menonton bersama seperti yang pernah dirasakan oleh kakak-kakak kelasnya.
“Ayo dong, Bu. Kapan nih kita nonton bareng? Masak cuma angkatan pertama aja yang diajak sama Ibu?” tanya salah satu dari murid saya ketika itu.
“Bukan begitu. Masalahnya, setiap ibu bisa selalu di antara kalian ada yang nggak bisa ikut. Enggak asyik kalau sebagian bisa nonton sebagian lagi enggak ikutan,” jawab saya memberikan pengertian.
“Sekarang pasti semua bisa deh, Bu. Iya kaaan?” tanyanya lagi kepada teman-teman sekelasnya.
Kelas mulai riuh oleh suara-suara mereka yang memaksa untuk segera dijadwalkan acara nonton bareng itu. Saya pun akhirnya menyetujui dan memutuskan untuk menetapkan tanggal serta harinya. Awalnya saya ragu, karena tanggal yang kami pilih bertepatan dengan sehari menjelang ujian semester pertama di tahun ajaran 2013 – 2014. Apakah orangtua mereka akan memberikan izin? pikir saya bimbang. Namun, mengingat semangat mereka yang menggebu-gebu itu, saya tekadkan untuk tetap membuatkan surat permohonan izin kepada orangtua mereka.
Singkat cerita, akhirnya surat izin orangtua pun disetujui oleh Kepala Sekolah. Senangnya saya, karena Kepala Sekolah malah memberikan dukungan dengan menyediakan anggaran makan siang untuk kami. Akhirnya surat yang sudah ditandatangani oleh Kepala Sekolah pun dibagikan ke murid-murid ekskul jurnalistik untuk dikumpulkan kembali di hari Kamis, 5 Desember 2013.
Di hari Jum’at (jadwal ekskul), saya kembali bertemu dengan anak-anak. Saya mengatakan bahwa acara nonton bareng di hari Minggu itu mereka tidak sekadar nonton begitu saja. Tentunya ada tugas yang akan mereka kerjakan. Untuk pemenuhan tugas itu, saya pun memberikan materi tentang cara meresensi film. Mereka tekun mencatat semua langkah yang harus mereka kerajakan nantinya.
Alhamdulillah, dari 19 murid yang ikut di kelas ekskul, 16 yang menyatakan ikut karena yang 3 lagi tidak bisa meninggalkan acara bersama keluarganya. Oh, iya... film yang akan kami tonton awalnya adalah “Sokola Rimba”, namun ternyata film itu sudah tidak ditayangkan lagi di seluruh bioskop XXI Bekasi. Sayangnya saya mengetahui ini di hari Sabtu sehingga tak sempat memberitahukan ke anak-anak. Saya pun memutar rencana. Dengan meminta persetujuan Kepala Sekolah lewat telepon, akhirnya saya mengalihkan uang yang sudah terkumpul untuk menonton film “Frozen” agar murid-murid saya tidak kecewa kalau dibatalkan.
Pada hari Minggu, ketika semua sudah berkumpul di sekolah, saya akhirnya mengatakan kalau film yang akan mereka tonton bukanlah “Sokola Rimba”, melainkan “Frozen”. Tanpa saya duga, mereka serentak berteriak girang.
“Horeee...! Nggak apa-apa, Bu. Frozen juga katanya asyik, kok,” seru mereka sambil menunjukkan senyum sumringah.
“Syukurlah, kalau begitu,” kata saya lega.
Tepat pukul 10.15 WIB kami pun berangkat menuju Mega Bekasi Mal dengan mengendarai dua mobil. Tiba di lokasi, serasa banyak mata yang memandang dengan bibir tersenyum ke arah kami, khususnya saya. Ya iyalah... 1 ibu dengan 16 anak itu, sesuatu banget lho. Hehehe....
Sabar menunggu pintu bioskopnya dibuka. :) (Foto: Wylvera W.)
Kami pun berjalan seperti pasukan baris ber baris, seakan tak mau terpisah dari rombongan sekejap pun. Karena pintu bioskop belum dibuka, mereka memilih untuk menunggu sambil duduk-duduk di sudut kosong yang bersih. Lucu melihatnya!
Begitu pintu dibuka, saya langsung melesat membeli tujuh belas tiket untuk kami. Jadwal tayang yang saya pilihkan adalah pukul 12.15 WIB. Masih ada waktu untuk menunggu.
“Kita sholat dulu yuk, biar nontonnya tenang,” usul salah satu dari mereka. Saya tersenyum karena merasa sudah didahului memberikan usul yang sama kepada mereka. Saya pun membimbing mereka ke tempat sholat. Saya yang tidak sholat (lagi libur soale) ketika itu mengambil kesempatan untuk mengambil foto kebersamaan mereka ketika melakukan sholat zuhur berjema’ah. Subhanallah....

Sholat zuhur berjema'ah sebelum nonton. (Foto: Wylvera W.)
Tibalah waktunya memasuki ruang bioskop. Kami mendapat posisi bangku di baris paling atas dan kedua. Saya mulai mengingatkan mereka kembali untuk tetap enjoy menonton filmnya supaya bisa merekam semua detail yang berlangsung di film ”Frozen” tersebut.
“Wah, lumayan berat ni, Bu,” bisik salah satunya.
“Kenapa?” tanya saya pura-pura tidak paham.
“Kan bahasanya aja udah beda sama film Indonesia, Bu,” jawabnya dengan mimik lucu.

Sesaat sebelum film diputar. (Foto: Wylvera W.)
Saya hanya tersenyum dan tetap menyemangati mereka agar tetap semangat menonton supaya tuga meresensinya lancar. Saatnya film diputar. Mereka langsung konsentrasi dan menikmatinya. Sesekali saya melirik ke mereka yang duduk sederetan dengan bangku saya. Wajah-wajah ceria dan antusias itu membuat saya tersenyum berulang-ulang. Puas karena bisa menyenangkan mereka, murid-murid saya.
Usai menonton, masih ada acara makan siang bersama. Tanpa dikomando, mereka langsung mengambil posisi duduk dengan tertib. Santapan sederhana yang tersedia pun habis dilahap. Sesekali saya dengar mereka mengulas tentang film yang baru mereka tonton.

Lunch dengan paket hemat. ;) (Foto: Wylvera W.)
“Eh, jangan lupa lho, resensinya harus dikumpulkan setelah ujian,” kata mereka saling mengingatkan. Saya kembali tersenyum sambil ikut menikmati sisa ayam goreng di piring saya.
Begitulah, panduan untuk menuliskan resensi tentang film Sokola Rimba yang sudah saya berikan di hari Jum’at, akhirnya beralih ke film Frozen, sehingga nonton bareng kali ini bukan sekadar nonton ceritanya. Hehehe....
        Rasanya tak sabar menunggu mereka menuliskan resensi itu. Tak sabar untuk membahas tentang film itu bersama mereka di kelas ekskul jurnalistik dan kepenulisan. Baiklah, saya harus sabar menunggu mereka selesai ujian semester. 
:)[Wylvera W.]

Ibu, Cinta Tanpa Akhir

$
0
0














Untukmu, Mama....
Kasih dan cinta kau gulirkan di seluruh aliran darahku
Hangat pelukmu kau eratkan di setiap rengkuhanmu
Melambung tinggi bagai bidadari aku menari
Saat lembut kau letakkan di atas kepala jari jemari

Di usiamu yang hampir senja kian sarat dengan cinta
Hingga aku selalu merasa bahagia jika kau ada
Menemaniku menyapa pagi di kilaunya mentari
Menyimak burung-burung yang bernyanyi menyambut hari

Dari kemarin, kini dan nanti, tak pernah habis kata untuk memujamu
Hadirmu selalu memberi warna mewakili bunga-bunga di hatiku
Cinta dan kasihku tiada akan pernah bertepi
Hingga di saat di mana kita akan kembali
  
Selamat Hari Ibu, Mamaku 
Semoga Allah selalu menyayangi dan memberkahimu
I Love you....

________________
22 Desember 2013

 




Meet and Greet dengan Anak-anak Kreatif

$
0
0

Dengan Bu Nunun, Kepala Sekolah GKS. (doc. pribadi)

Berbagi pengalaman sebagai penulis kepada anak-anak selalu menjadi momen yang menyenangkan bagi saya. Karena itu, saya tak pernah menolak – jika memang tidak berbenturan dengan jadwal lainnya – untuk tawaran semacam itu. Naluri saya langsung bergejolak ketika menerima tawaran untuk berbagi kisah tentang profesi saya. Belum-belum sudah terbayang wajah-wajah imut dan lucu yang akan mengajukan banyak pertanyaan seputar menulis, dan itu pasti membuat saya bersemangat menjawabnya.
            Begitulah, ketika teman dari Writer for Trainers, Dyah P Rinni mengabari serta menanyakan kesediaan saya untuk menjadi pengisi acara di kegiatan “Meet and Greet” sebuah sekolah swasta, saya langsung menyetujuinya. Singkat cerita, saya pun dikenalkan (lewat nomor telepon) ke Bu Nunun, Kepala Sekolah Global Kids School. Deal! Jadwal pun ditentukan dan saya siap berbagi.
            Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, Kamis, 12 Desember 2013. Pagi itu berbekal materi, saya siap berangkat menuju Jl. Lubang Buaya No.6B, Jakarta Timur. Sayangnya saya salah memilih rute sehingga saya sedikit terlambat dari waktu yang disepakati. Pasalnya, jalanan yang saya lewati luar biasa macet. Sebelum tiba di lokasi, perasaan cemas terus saja menghantui. Saya takut kalau akhirnya mengecewakan anak-anak itu jika akhirnya terjebak di kemacetan yang tidak bisa diprediksi ini. Namun, berkat niat yang tulus untuk berbagi akhirnya saya tiba juga meskipun hampir setengah jam lewat dari waktu yang diminta.
            Saya disambut dengan ramah oleh guru-guru di Global Kids School itu. Sebenarnya saya senang sekali, tapi tiba-tiba perasaan saya menciut ketika melihat anak-anak yang sudah berkumpul di sana. Betapa tidak, semula saya mengira bahwa saya akan berbagi cerita pengalaman sebagai penulis kepada murid-murid kelas 3, 4, 5, dan 6. Ternyata oh ternyata... saya disambut oleh anak-anak yang rentang usianya 5 sampai 11 tahun. Ya, mereka itu murid-murid Global Kids School mulai dari TK sampai kelas 5 SD.
            Oh my God! seru saya dalam hati.
            Langsung teringat materi presentasi yang sudah saya siapkan sedemikian rupa untuk level kelas 3 sampai 6. Kalau melihat wajah imut-imut di depan saya, rasanya tidak mungkin menyajikan materi itu kepada mereka. Mungkin kakak-kakak mereka bisa nyambung, tapi bagaimana dengan mereka sendiri yang belum bisa membaca dengan lancar? Sebelum “mati gaya” otak saya buru-buru mencari ide agar sharingdi momen “Meet and Greet” Penulis itu tetap asyik, seru, dan berkesan.
            Tibalah giliran saya untuk berdiri di depan sekitar 50 murid, para staf pengajar, Kepala Sekolah dan beberapa orangtua murid yang memang sengaja menunggui anak mereka di ruangan itu. Dengan tenang saya keluarkan flash disk dan memasukkan ke laptop yang disiapkan oleh pihak sekolah. Sambil terus mencari ide menarik, saya tetap berusaha tenang. 

Setelah ini sharing profesi berlangsung seru. :)
            Klik!
            Tayangan presentasi di halaman pertama pun terpampang di layar infokus setelah saya membuka pertemuan dengan salam ceria kepada mereka. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba mulut saya terus berkicau, bercerita tentang awal mula saya terjun menjadi penulis dan seterusnya memilih lebih fokus ke buku-buku bacaan anak. Materi presentasi tak lagi berfungsi dan stuck di tayangan awal saja (baca: Salam Pembuka).
            Saya bersyukur bahwa saya tak sempat mengalami “mati gaya”. Kebersamaan saya dengan murid-murid Global Kids School berlangsung menyenangkan dan justru lebih seru dari yang saya bayangkan. Di sesi tanya jawab yang sengaja saya buka agar mereka lebih aktif ketimbang hanya menyimak saya berbicara, begitu membuat saya bersemangat dan terkadang melepas tawa.
            “Ibu, kalau boleh tau, ada berapa sih buku yang ibu buat? Terus... berapa lama sih untuk membuat satu cerita supaya bisa jadi novel seperti ini?” tanya salah satu dari mereka sambil memamerkan salah satu buku karya saya.
            Wow! Mata saya langsung berbinar melihat buku yang ditunjukkannya itu. Sebelum menjawab pertanyaannya, pembawa acara (salah satu dari guru mereka) memotong acara beberapa saat untuk menjelaskan bahwa dua hari sebelum acara “Meet and Greet” dengan saya, mereka telah diajak berkunjung ke Gramedia untuk membeli buku-buku karya saya.
            “Waaah! Makasih banget ya, kalian sudah memborong buku Ibu, semoga kalian suka dengan ceritanya dan ada kesan yang bisa kalian ambil di buku-buku itu,” ujar saya menanggapi apresiasi mereka terhadap karya-karya saya.
            Setelah itu saya pun menjawab pertanyaan yang diajukan tadi. Saya bercerita bahwa masing-masing buku yang saya tulis tentu saja waktunya berbeda-beda. Ada yang dua minggu, sebulan, bahkan ada yang menghabiskan waktu lima tahun dalam proses terbitnya. Mendengar jawaban saya, mata mereka membesar dan ada yang berujar. “Wow! Lima tahuuun... lama bangeeet!” Berikutnya beragam pertanyaan ngantri untuk dijawab. Saya tetap bersemangat dan mencoba menjawab semua yang ingin mereka ketahui.
            Masih di sesi tanya jawab. Tiba-tiba ada murid laki-laki yang mengangkat tangannya.
            “Saya! Saya dong... saya mau nanya!” serunya berulang-ulang.
            Melihatnya antusias seperti itu, akhirnya saya memintanya untuk maju ke depan. Dia menyebutkan namanya, Shadam. Setelah itu Shadam bilang kalau dia mau nanya tapi tidak mau pakai pengeras suara alias bisik-bisik. Baiklah, saya tetap menuruti permintaannya.
            “Bu Wiwiek lahirnya tanggal berapa dan tahun berapa sih?” tanyanya dengan mendekatkan wajahnya di telinga saya. Saya pun menjawabnya dengan berbisik ke arah telinganya.
            Tiba-tiba!
            “Haaah! Yang beneeer? Kok masih muda banget?!” serunya spontan membuat saya tertawa lepas.
“Hahaha... Shadam tidak percaya kalau Ibu ini sudah tuek?” kata saya bercanda sambil berusaha menghentikan tawa karena tak kuat menahan kelucuan dari ekspresi wajah Shadam.
Inilah sebagian dari karya mereka. (doc.pribadi)
            Akhirnya kebersamaan yang menghasibkan durasi sekitar dua jam itu berlangsung seru dari awal hingga akhirnya. Sebelum menutup acara, masih ada serangkaian acara yang harus saya pandu. Pertama, memilih beberapa karya terbaik dari mereka dalam bentuk big book yang sebelumnya sudah dikerjakan selama pekan “Book Week” (9 – 13 Desember 2013) di sekolah itu. Kedua, book signing yang menjadi sesi mengharukan bagi saya. Hampir semua dari murid-murid itu mengantri sambil memegang buku karya saya untuk ditandatangani. Subhanallah... senangnya hati ini. 
Book Signing yang bikin hati girang. (doc. pribadi)
Setelah foto bersama ini, kami pun berpisah. (doc.pribadi)
          Acara pun kami tutup dengan sesi foto bersama.Terima kasih, anak-anakku... teruslah tumbuhkan semangat membaca serta menulismu. Kelak dari kalian akan lahir penulis-penulis andal yang mampu mengubah dunia. Salam!  []

Pengemis Tua

$
0
0
Dimuat di Majalah Bobo, 27 Desember 2012




Aku kesal sama Mama dan Papa. Liburan ke Frankfurt hanya dihabiskan dengan menonton satu opera ke opera lainnya. Enggak ada manfaatnya buatku. Sebelum berangkat seminggu yang lalu, aku sudah sesumbar menceritakan ke teman sekelas, kalau liburanku kali ini akan sangat menyenangkan. Mama dan Papa sudah menghabiskan waktuku dengan memaksaku menonton opera yang tak kumengerti samasekali.
            “Enggak ada tempat lain yang lebih menarik dari ini ya, Ma?” tanyaku tak kuat lagi menahan kecewa.
            “Memangnya kamu mau kemana?” tanya Mama tanpa merasa bersalah.
            “Ke tempat-tempat yang banyak dikunjungi anak-anak dong, Ma. Taman mungkin,” jawabku kesal.
            “Di luar salju mulai turun, kalau ke taman, kamu bisa tertutup salju nanti,” canda Mama tak lucu bagiku.
            “Atau ke museum juga lebih asyik, dari pada menonton pertunjukan yang aku tak mengerti sama sekali,” protesku semakin meluapkan rasa kesal.
            “Lo..kisah operanya kan buat anak-anak. Mengapa kamu enggak mengerti?” tanya Mama masih tak mau mengalah.
            “Iya, tapi ceritanya aku enggak suka. Kaku dan sangat diatur. Enggak alami,” kataku lagi membuat Mama terdiam.
            Melihat Mama terdiam, aku jadi merasa bersalah juga. Aku mulai sadar kalau Mama dan Papa mengajakku menonton opera bukan tanpa alasan. Mungkin saja mereka ingin memperkenalkanku dengan kisah-kisah bersejarah yang dialami anak-anak di Jerman. Tapi, aku terlanjur tidak tertarik.
            Pertunjukan baru saja selesai. Kami beriring-iringan keluar dari gedung. Begitu sampai di depan gedung opera, aku tertegun melihat seorang laki-laki tua duduk di tas kedua kakinya yang ditekuk. Laki-laki tua itu hanya melapisi badannya dengan jaket usang yang tak terlalu tebal. Butiran-butiran salju mulai menempel di jaket dan topinya. Melihatnya duduk sambil memegang cangkir kaleng yang hampir seluruh permukaannya berkarat, aku pastikan laki-laki tua ini adalah pengemis. Aku pikir, hanya di Jakarta saja ada pengemis seperti ini.
            “Mau kemana Key?” tanya Mama nyaris menarik ujung lengan coatku.
            “Sebentar, Ma. Keysa mau mengisi kaleng pengemis itu,” jawabku sambil terus menghampiri laki-laki tua itu.
            “Hati-hati, Key!” seru Mama.
            Sebelum memasukkan uang recehan ke dalam kaleng pengemis itu, aku sempatkan memperhatikan wajahnya . Laki-laki tua ini bukan orang Jerman. Dari raut wajah, bentuk hidung dan matanya, aku yakin dia bukan penduduk asli.  Wajahnya Arab sekali. Aku ingin menyapa, tapi bingung mau memulainya dengan pertanyaan apa. Akhirnya aku hanya memasukkan uang  ke dalam kaleng yang dipegangnya.
            Teşekkür ederim,” katanya dengan suara berat. Aku terperanjat dan tak mengerti apa maksudnya.
            “Itu bahasa Turki,” ujar Papa yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.
            Danke,” ujarnya lagi seperti menyadari kalau aku tak mengerti dengan bahasanya.
            You are welcome,” jawabku dalam Bahasa Inggris. Dia mengangkat sedikit wajahnya dan tersenyum padaku.
            Hari masih siang, karena pertunjukan opera selesai sekitar pukul 12 siang waktu Frankfurt. Papa dan Mama belum ingin kembali ke hotel. Kami memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran sederhana yang tak terlalu mahal harga menunya. Kalau saja salju belum turun, kami lebih memilih menikmati jajanan di pinggir-pinggir jalan  dan menikmatinya sambil duduk di kursi taman. Tiba-tiba, ingatanku kembali kepada pengemis tadi.
            “Kasihan pengemis tadi ya, Pa,” ujarku membuka obrolan di tengah jam makan siang.
            “Iya, di sini banyak juga pengemis-pengemis seperti itu. Mereka tersebar di beberapa tempat,” kata Papa menjelaskan.
            “Seperti di Jakarta saja ya?” komentarku.
            “Iya, bedanya mereka enggak mengerti Bahasa Indonesia,” sela Papa bercanda.
            Kami beranjak ke emperan pertokoan, karena hujan salju mulai deras. Permukaan taman dan jalan-jalan mulai memutih. Cantik sekali. Suasana seperti ini yang selalu membuatku rindu untuk kembali menetap di Swiss, tempat Papa sebelumnya ditugaskan. Tapi, masa dinas papaku sudah berakhir dan kami harus kembali ke Jakarta setahun lalu.
            “Kalau setiap tahun kita liburannya ke Eropa begini, duit Papa bisa habis dong ya?” tanyaku tiba-tiba kasihan melihat Papa.
            “Ya, enggak setiap tahun dong ah. Pemborosan itu namanya,” sela mama mengucek rambutku. Aku ikut tertawa sambil menggelayut manja di lengan Papa.
            “Key..ada tiga tiket lagi yang harus kita pakai malam ini,” ujar Mama seperti takut-takut.
            “Haaah?! Opera lagi?” tanyaku terperanjat.
            “Iya, sayang tiketnya sudah terlanjur dibeli,” kata Mama lagi memaksaku untuk mengalah.
            Akhirnya kami kembali ke gedung opera tadi. Kupaksakan hatiku supaya bisa menikmati pertunjukan. Tak berapa lama pertunjukan pun dimulai. Judul pertunjukannya agak aneh buatku. “PRETENDING,” yang artinya berpura-pura. Seperti judul lagu Glee yang biasa kudengar di youtube.
            Satu persatu pemain muncul. Mereka mempertontonkan kehidupan para pengungsi dan korban Perang Dunia ke-2, yang pernah kubaca di buku koleksi Papa. Tiba-tiba aku terperanjat.
            “Lihat! Itu pengemis dari Turki tadi!” seruku tak sadar. Di remang-remang barisan para penonton, rasanya beberapa kepala menoleh ke arahku.
            “Sssst...jangan berisik, Keysa,” bisik Mama dan Papa serentak mengingatkan aku. Terpaksa aku terdiam menunggu akhir dari pertunjukan itu. Aku mulai gelisah ketika melihat akting pengemis tua yang tadi siang sempat aku hampiri di depan gedung ini. Laki-laki Turki itu sudah membohongiku dengan penampilannya yang berpura-pura menjadi pengemis.
            Pertunjukan opera hampir berakhir. Para pemain berdiri berjajar menghadap penonton. Pengemis tua itu tiba-tiba maju sedikit ke depan menuju mikropon dan memberi ucapan terimakasih kepada seluruh penonton. Kalimat terakhirnya membuatku tersentak.
            “Dan, terimakasih pula kepada gadis kecil yang siang tadi telah membagi sebagian uang recehnya di kaleng saya. Semoga gadis kecil yang manis itu memaafkan saya karena telah berpura-pura menjadi pengemis di depan gedung opera ini!” ujarnya sambil terus memperhatikan seluruh wajah penonton. Aku tak tahan dan langsung berdiri serta mengangkat sebelah tanganku.
            “Aku di sini, Pak tua!” teriakku dari barisan kedua bangku penonton. Laki-laki turki yang sudah menyamar menjadi pengemis itu melambaikan tangannya dan memintaku naik ke atas panggung. Pertunjukan opera dengan judul “PRETENDING” kali ini menjadi cerita berkesan yang bisa kubagi ke teman-temanku di Jakarta.
            Danke! Ma, Pa, sudah memaksaku menonton opera ini,” kataku berbisik sambil tersenyum ke Mama dan papaku. [Wylvera W.]

Mesjid Seribu Tiang

$
0
0

 
Tampak depan Mesjid (doc. pribadi)

            Setiap kali melakukan perjalanan ke kota-kota yang menjadi target kunjungan, saya selalu ingin melengkapi kunjungan ke tempat ibadahnya (baca: mesjid). Apalagi jika sempat mendengar ada sejarah unik dari tempat ibadah itu. Rasa penasaran saya langsung menyala.  Begitu pula ketika saya dan anak-anak memilih menghabiskan penghujung tahun 2013 di Provinsi Jambi. Selain tempat wisata alam, kerajinan daerah, dan kulinernya, saya tak lupa menanyakan tempat ibadah yang terkenal di kota itu. Kota yang terkenal dengan Sungai Batanghari (sungai terbesar di Pulau Sumatera) ini, memiliki mesjid bersejarah. Mesjid itu dikenal dengan nama Seribu Tiang.

(doc. pribadi)
Mendengar nama mesjid itu tentu saja saya semakin penasaran. Katanya, mesjid itu lebih populer dengan nama “Seribu Tiang”. Apalagi sebutan seribu tiang tercetus dari para pendatang yang sempat singgah dan sholat di mesjid ini. Mengapa? Ternyata sebutan itu mereka berikan karena melihat bangunan mesjid yang unik dengan tiang-tiang penyangganya, tanpa pintu dan jendela seperti mesjid-mesjid pada umumnya. Saya dan anak-anak sempat terpicu ingin menghitung jumlah tiang-tiang itu sebelum akhirnya menemukan jawaban atas pemberian nama populer itu.

Sejarah Mesjid Agung Al-Falah
Mesjid ini sebenarnya bernama Mesjid Agung Al-Falah. Letaknya di pusat kota Jambi. Tepatnya di Jalan Sultan Thaha. Keponakan saya yang selama ini tinggal di Jambi,  akhirnya mengisahkan tentang sejarah mesjid ini. Menurut cerita yang pernah didengarnya di sana, sebenarnya sejarah mesjid ini belum tercatat dengan resmi. Namun, dari info yang beliau dapat bahwa dulunya tanah lokasi mesjid tersebut merupakan pusat kerajaan Melayu Jambi. Lalu, pada tahun 1885 lokasi itu dikuasai oleh penjajah (Belanda) dan dijadikan benteng.
            Mesjid Agung Al falah ini berdiri di lahan bekas Istana Tanah Pilih dari Sultan Thaha Syaifudin. Pada tahun 1858, saat terpilih menjadi sultan, Thaha Syaifuddin membatalkan semua perjanjian yang disepakati Belanda dengan almarhum ayahnya. Menurutnya perjanjian itu sangat merugikan kesultanan Jambi. Singkat cerita, akhirnya Belanda membumi hanguskan komplek Istana Tanah Pilih itu. Seterusnya lokasi bekas istana sultan itu dijadikan asrama tentara Belanda yang dipakai sebagai tempat pemerintahan. Sampai tahun 1970 lokasi tersebut masih dipakai sebagai asrama TNI di Jambi.
        Proses pembangunan Mesjid Agung sendiri dimulai pada tahun 1971 dan diresmikan penggunaannya oleh mantan Presiden RI (Soeharto) pada tahun 1980. Mesjid kebanggaan masyarakat Jambi ini berdiri di atss lahan sekitar 2,7 Hektar. Luas bangunannya sendiri adalah 6.400 M2. Mesjid ini mampau menampung sekitar sepuluh ribu jemaah. Wow! Banyak juga ya?

Arsitekturnya yang unik
            Setelah berfoto di halaman mesjid, saya dan anak-anak tak puas. Kami memutuskan masuk ke dalam mesjid. Wah! Pantaslah kalau disebut sebagai Mesjid Seribu Tiang. Bangunan Mesjid Agung Al- Falah ini dilengkapi dengan kubah besar dan menara yang anggun menjulang. Melihat bangunannya, material yang digunakan adalah beton bertulang.  Sebutan Seribu Tiang itu dilambangkang oleh jejeran tiang-tiang mesjid berwarna putih, tinggi yang anggun menyangga bangunan ini. 

Bagian dalam mesjid yang sejuk. (doc.pribadi)
(doc. pribadi)

Jumlah tiangnya yang ratusan terbagi dua bentuk. Pertama, berbentuk tiang-tiang tinggi berwarna putih dengan tiga sulur ke atas sebagai penyanggah sekeliling atap mesjid sebelah luar. Kedua, berupa tiang-tiang silinder berbalut tembaga sebagai penopang struktur kubah di area tengah bangunan mesjid. Tembaga yang membalut tiang-tiang silinder ini memberikan kesan antik dan megah pada interior mesjid.
Tiang-tiang kokoh penyangga bangunan mesjid. (doc.pribadi)




Keunikan mesjid ini terletak pada bangunannya yang terbuka tanpa tembok penutp bagian kiri, kanan dan depannya. Bahkan kami tak menemukan pintu serta jendela di sana. Menurut sejarahnya juga, konsep pembangunan mesjid ini sesuai dengan namanya. Al-Falah dapat diartikan sebagai kemenangan. Menang, memberi makna kebebasan tanpa tekanan dan kungkungan. Filosofi itu mungkin telah melandasi konsep pembangunan serta penamaan mesjid Al-Falah ini sehingga bangunannya dibiarkan terbuka tanpa pintu dan jendela, sehingga umat muslim dari mana saja bebas masuk dan melaksanakan ibadah di dalamnya.
(doc. pribadi)
Paduan dua jenis tiang yang menguatkan. (doc.pribadi)
Konsep bangunan mesjid yang terbuka ini memberikan udara bebas ke luar dan masuk, sehingga tak diperlukan AC atau alat penyejuk listrik lainnya. Kembali ke hiasan ornamennya. Kubah di dalam mesjid dihias dengan ornamen garis-garis simetris, mirip dengan garis lintang dan bujur bola bumi. Lampu gantung berukuran besar dengan bahan tembaga melengkapi kemegahan ruang di bawah kubah mesjid. Ukiran kaligrafi Al-Qur’an bewarna emas sangat menarik perhatian saya karena dipasang dalam posisi melengkungi ruang mihrab dan mimbar. Mimbar masjid ini selain berukir juga dilengkapi dengan sebuah kubah kecil.

Bagian dalam mesjid. (doc.pribadi)

Bedug yang ditelakkan di bagian depan melengkapi keunikan mesjid. (doc. pribadi)
Saat ingin meninggalkan mesjid, pandangan saya tak luput dari kolam yang mirip kanal kecil terletak memanjang di sisi kanan mesjid. Kolam itu semakin unik karena ikan-ikan di dalamnya dipelihara sedemikian rupa. Katanya, agar binatang tak terlalu leluasa memasuki mesjid yang tak berpintu itu.
Kolam ikan ini menambah kesan sejuk pada mesjid. (doc.pribadi)
       Sayang, saya tak bisa melakukan sholat di mesjid ini karena sedang berhalangan. Namun, hati ini sudah terpuaskan karena bebas mengambil foto dan mengabadikannya dalam catatan perjalanan kami. Semoga di lain kesempatan saya dan keluarga masih diberi kesempatan untuk mengunjungi Al-Falah, Mesjid Seribu Tiang ini. Salam. [Wylvera W.]

Memaknai Ujian Allah

$
0
0


Mira setelah operasi pengangkatan kantong empedu. (doc. pribadi)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah:214)
            Berkaca-kaca mata ini saat membaca arti ayat di atas. Menyadari bahwa ujian yang baru saja kami lalui bukan apa-apa jika dibandingkan jutaan bahkan miliaran ujian yang pernah dialami hamba-hamba Allah sebelum kami. Kesadaran itulah yang menuntun hati ini agar selalu berucap syukur atas segala nikmat-Nya. Setiap manusia yang hidup pasti pernah mengalami sebuah kondisi yang secara manusiawi berat untuk menerimanya.Keadaan itulah yang sering kita sebut sebagai ujian atau cobaan dari Allah SWT.
Serinci apa pun manusia berencana, tak ada yang mampu menandingi kuasa Sang Maha Pencipta. Saya meyakini itu sepenuh hati, meskipun di awalnya ada sebersit penolakan, namun selalu tersadar oleh keimanan pada kebesaran kuasa-Nya. Itulah manusia, hatinya mampu membuat gejolak rasa, terkadang naik namun sesekali bisa menurun seolah menampik kenyataan yang ada di depannya.
Hanya janji Allah yang menyebutkan setiap ujian berupa rasa sakit kelak akan mampu menggugurkan dosa serta mengangkat derajat hamba-Nya di hadapan Sang Pencipta, dapat mengusir rasa penolakan di hati ini sehingga berubah menjadi penerimaan dan keikhlasan, Insya Allah.
Kantong empedu Mira. (doc. pribadi)
            Saya menuliskan ini hanya untuk mengingatkan diri dari apa yang baru saja kami lewati. Ujian itu sebenarnya telah datang menghampiri sejak setahun lalu. Saat itu anak saya divonis menderita batu empedu (saya mengisahkannya di sini). Lalu, selama setahun itu beberapa kali anak saya diserang rasa sakit yang luar biasa perihnya akibat peradangan kantong empedunya. Bahkan fungsi livernya pun kerapkali kacau dan di luar batas normal. Hingga akhirnya tanggal 16 Januari 2014 yang lalu anak saya, Mira (15 tahun) harus kembali dirawat di rumah sakit dan berujung pada keputusan operasi pengangkatan kantong empedu.
Batu empedu Mira. (doc. pribadi)
            Sebagai manusia biasa, bahkan seorang ibu, hati ibu mana yang tak galau sebelum akhirnya menyetujui keputusan operasi itu untuk buah hati tercintanya? Dalam kondisi itulah saya sempat mempertanyakan semua yang dialami anak saya kepada Allah SWT, sebab tak ada tempat bertanya dan berdialog paling menenangkan selain kepada-Nya. Alhamdulillah, dalam kondisi galau dan seolah ingin menolak kenyataan itulah kasih sayang Allah seakan-akan menjawab kegundahan hati saya. Dia memberi kekuatan agar saya membaginya untuk menyemangati Mira sehingga anak saya pun siap untuk masuk ruang operasi.
            Setelah kami yakin bahwa Allah SWT lah satu-satunya penolong, maka selebihnya kami pasrahkan semua ikhtiar pada kehendak-Nya. Selama menunggu di luar ruang operasi, waktu sekitar tiga jam lebih saya gunakan untuk berpasrah hati serta memohon pertolongan dan ridhonya untuk Mira. Lagi-lagi, doa dan pengharapan saya (dibantu dukungan doa dari kerabat dan teman-teman), Allah kembali mengabulkannya. Operasi berjalan lancar dan akhirnya saya masih bisa menyambut Mira saat keluar dari ruang operasi.
            Pengalaman berharga ini menunjukkan bahwa kehidupan yang kami lalui (saya dan Mira), tidaklah selalu menyenangkan. Namun, hal-hal yang tidak menyenangkan itu selalu berusaha kami olah agar tak sempat terpuruk pada rasa berputus asa dalam memaknai dan menyikapinya. Saya menyadari bahwa sesungguhnya ujian kepahitan ini tidaklah jauh berbeda dengan ujian berupa kebahagiaan yang justru lebih berpeluang membuat hati ini terlupa untuk bersyukur.
            Dengan ujian demi ujian yang telah kami lalui ini, semakin mempertebal keyakinan saya bahwa sesungguhnya Allah tidaklah menimpakan sebuah ujian bila kita dianggap-Nya tidak mampu untuk memikul dan melaluinya. Allah SWT Maha Mengetahui kekuatan dan kemampuan hamba-Nya. Takkan diujinya hamba yang tak sanggup atas ujian-Nya. Seperti apa yang disabdakan Rasullah saw  :
Dari Abu Said dan Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Tiadalah seorang Muslim itu menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan (kerisauan hati) hingga tertusuk duri melainkan semua itu akan menjadi penebus kesalahan-kesalahannya.”
( HR Bukhari - Muslim)
Dengan memaknai ujian Allah ini, saya akan selalu meyakini hawa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Seperti firman-Nya;
“Hai hamba – hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang – orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang – orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS Az Zummzr 10 )
Semoga kita semua menjadi hamba yang selalu dicintai-Nya. Aamiin ya Rabbalalamiin.... [Wylvera W.]





Sang Pendongeng dan Anak-anak Pemulung

$
0
0


Saya, Kak Reni, Kak Dhila, Para Guru dan anak-anak Al Falah
Sejak fokus pada anak yang sakit, saya terlewat untuk mengunjungi sekolah yang satu ini. Niat awalnya ingin rutin setiap bulan sekali, tapi kendala terkadang tak bisa dielakkan. Namun, saya kembali bersyukur dan selalu meyakini, jika niatnya baik, Allah pasti memberikan jalan.
Pagi itu, Selasa, 4 Maret 2014 akhirnya saya mendapat kesempatan kembali ke sana. Seperti biasa, beberapa hari sebelum berkunjung, saya selalu memberi kabar agar pihak sekolah itu siap menyambut kedatangan saya. Setelah menghubungi dan menyampaikan rencana saya lewat telepon, Bapak Kepala Sekolah sangat antusias dan mendukung niat saya. Beliau berjanji akan menyiapkan anak-anak di hari yang saya janjikan.
Kali ini tidak seperti kunjungan saya sebelumnya. Saya datang bukan sebagai pengisi kelas pelatihan menulis untuk anak-anak pemulung itu, melainkan menemani seorang pendongeng berpengalaman yang telah banyak menyabet penghargaan.
Sudah lama saya ingin memberi nuansa berbeda untuk anak-anak pemulung yang biasa menyambut saya untuk menerima materi menulis. Akhirnya niat itu terwujud. Di tengah kesibukan Reni Rudiyanto yang biasa dipanggil “Kak Reni” saya berhasil “mencuri” waktu beliau untuk menyempatkan diri berbagi pengalaman mendongeng di Yayasan Ummu Amanah, PKBM Al Falah, Bantar Gebang.
Setelah menyepakati hari dan waktu berkunjung, pagi itu kami pun berjanji bertemu di kawasan Kemang Pratama, Bekasi. Ternyata bukan hanya saya dan Kak Reni yang akan berkunjung ke sekolah anak pemulung itu. Ada juga Kak Dhila yang selalu mendampingi Kak Reni dalam melaksanakan kegiatannya. Katanya, Kak Dhila ini asisten pribadi Kak Reni. Saya percaya itu, karena beliau begitu sigap menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan oleh Kak Reni. Salut!
Mobil Kak Reni yang membawa kami pun melaju dengan kecepatan sedang menuju lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA), Bantar Gebang. Di perjalanan, kami kembali mendiskusikan apa yang akan disajikan untuk anak-anak pemulung itu nantinya. Sebagai pendongeng hebat yang sudah berpengalaman, tentunya Kak Reni sudah menyiapkan konsep yang matang. Namun, demi kenyamanan bersama, kami tetap menyatukan rencana agar kehadiran kami di sana bisa meninggalkan kesan mendalam bagi anak-anak pemulung itu.
Menjelang pukul 09.30 WIB kami pun tiba di lokasi. Seperti biasa, sambutan guru yang sudah saya kenal, selalu ramah menerima kedatangan kami. Sayangnya, hari itu Bapak Kepala Sekolah tidak bisa menyambut kedatangan kami karena beliau sedang menghadiri kegiatan lainnya. Tak mengapa, yang penting anak-anak sudah siap untuk berkumpul di aula terbuka.
Setelah anak-anak disiapkan, kami pun menemui mereka. Mata mereka menyimpan pertanyaan begitu melihat saya membawa dua orang yang belum mereka kenal. Saya tersenyum melihat buku dan alat tulis yang mereka bawa. Mereka mungkin mengira saya akan melanjutkan kelas menulis seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya. 
Demi memuaskan tanya di mata mereka, saya pun membuka pertemuan dengan mengatakan maksud kedatangan kami di pagi itu. Sebelum memperkenalkan Kak Reni kepada anak-anak, saya sempat menanyakan pe-er yang pernah saya berikan di pertemuan terakhir dua bulan lalu. Sebagian telah menyelesaikannya, tapi yang lainnya belum.
“Masih ingat dengan tugas menulis yang pernah Ibu berikan?” tanya saya memancing ingatan mereka.
“Masih, Buuu...!” jawab mereka serentak.
“Tapi, saya belum siap nulisnya,” jawab salah satunya.
“Maafkan Ibu karena sudah lama sekali tidak mengisi kelas menulis untuk kalian, karena anak Ibu sakit,” ujar saya mengharap pengertian dari mereka.
“Sudah dua bulan, Bu,” celetuk murid laki-laki spontan.
“Iya, sudah dua bulan. Lama juga. Maafin ya,” kata saya lagi.
“Iya, Buuu...,” kembali mereka menjawab serentak.
Setelah mereka mau memaklumi ketidakhadiran saya selama dua bulan itu, barulah saya melanjutkan maksud kedatangan kami. Saya memperkenalkan Kak Reni kepada mereka, berikut Kak Dhila. Sangat jelas terlihat rasa ingin tahu dan tak sabar di mata mereka. Rasa penasaran dengan nama dan sosok yang saya kenalkan begitu membias di tatapan mata mereka.
Sesi mendongeng dari Kak Reni
Salah seorang guru yang mengajukan pertanyaan
Tak mau membuang waktu, akhirnya saya menyerahkan sesi berikutnya kepada Sang Pendongeng. Kak Reni pun mengawali sesinya dengan kembali memperkenalkan diri. Selanjutnya kebersamaan kami begitu menyenangkan. Anak-anak pemulung itu sangat antusias dan gembira mendengar Kak Reni mendongeng. Kekakuan di awal-awal pertemuan seakan menguap berubah menjadi keceriaan. Tawa mereka lepas begitu saja ketika Sang Pendongeng memainkan lakon tokoh dalam cerita yang dibawakannya. Subhanallah... betapa bahagianya hati saya melihat binar kepuasan di mata mereka.
Anak-anak diajak membaur oleh Kak Reni

Anak-anak menonton dongeng musikal
Bukan hanya itu, setelah selesai mendongeng, Kak Reni juga memberi kesempatan kepada mereka untuk mengajukan pertanyaan tentang apa saja seputar keterampilan mendongeng. Bukan hanya anak-anak pemulung itu yang bertanya, guru mereka pun ikut mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab dengan memuaskan oleh Kak Reni.
Dari malu-malu menjadi mau-mau. :)
Kak Reni memasangkan pin DOMAIN
Aanak-anak maju untuk mempraktikkan arahan dari Kak Reni
Kak Reni juga memberi beberapa panduan dasar untuk mendongeng, seperti teknik olah nafas, suara, gestur, dan ekspresi/mimik wajah. Bagi anak yang berani tampil ke depan dan mempraktikkan salah satu materi yang diajarkan, Kak Reni memberikan hadiah berupa pin DOMAIN (Dongeng Musik dan Permainan) yang menjadi trademark Kak Reni sebagai pemilik Sekolah Lil'Bee Jatiasih, Bekasi. Anak-anak yang tadinya malu-malu akhirnya semangat maju dan tampil ke depan. 

Salah satu ekspresi olah wajah
Kebersamaan kami yang menghabiskan waktu satu jam setengah itu sangatlah menyenangkan. Saya merasakan bahwa sebenarnya anak-anak itu masih ingin bersama dan mendengar dongeng-dongeng lainnya, tapi waktu membatasi kami. Saya berharap, kelak Kak Reni mau kembali lagi ke Al Falah dan berbagi keceriaan untuk anak-anak pemulung itu.

Terima kasih, Kak Reni, semoga kerjasama kita untuk memberikan hal-hal positif dan mencerahkan kepada anak-anak pemulung itu terus berlanjut. Aamin. []

Jadi Motivator di Seminar Parenting

$
0
0


 
Cinderamata dari GKS (foto pribadi)
            Beberapa waktu lalu, saya kembali mendapat permintaan dari pihak Global Kids School untuk menjadi pemateri. Awalnya saya pikir Ibu Kepala Sekolah meminta saya untuk melanjutkan materi kelas menulis murid-murid di sekolah itu yang sebelumnya pernah saya kunjungi, ternyata saya didaulat sebagai pembicara (kerennya sih jadi motivator...hehehe) di acara parenting seminar yang akan mereka gelar.
Wow! Kalau untuk berbagi materi tentang menulis kepada anak-anak, remaja atau bahkan ibu-ibu, saya sih sudah biasa, tapi untuk menjadi motivator kepada para orangtua murid tentang menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis, ini bakal jadi pengalaman pertama buat saya. Seperti biasa, untuk permohonan yang datangnya lewat SMS atau e-mail, saya selalu mendiamkan terlebih dahulu beberapa waktu (tapi tentu tak lewat sehari lah...hehe). Tujuannya agar saya yakin apakah saya siap untuk memenuhi permintaan tersebut.
Akhirnya setelah berpikir dan membayangkan apa yang harus saya siapkan dan saya bagi ke audience, barulah saya merespon permintaan dari Bu Nunun (Kepala Sekolah Global Kids School). Beliau pun memberikan tanggal penyelenggaraan yang tadinya akan digelar pada bulan Februari 2014 lalu. Namun karena satu dan lain hal, acara seminar mundur sebulan dan baru  bisa dilaksanakan pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
Beberapa hari menjelang acara tersebut, saya kembali disibukkan dengan menyiapkan materi agar kelak tampil dan mampu memberikan yang terbaik. Materi yang akan saya sampaikan diberi judul, “Menumbuhkan Minat Baca dan Menulis pada Anak”. Selain mengumpulkan beberapa referensi, saya juga memadukannya dengan pengalaman saya sebagai ibu yang juga penulis serta memiliki dua anak yang telah menghasilkan beberapa buku. Tidak terlalu sulit menyiapkan materi dalam format power point karena apa yang ingin saya sampaikan memang tak jauh dari pengalaman sendiri. Maka, saya pun siap dengan materi yang akan saya bagikan kepada para orangtua murid di Global Kids School.
Tibalah pada hari pelaksanaan seminar (Sabtu, 22 Maret 2014) di mana saya ditunggu untuk memberi motivasi kepada sekitar 30 orangtua yang akan hadir di acara tersebut. Dengan diantarkan oleh suami tercinta, saya pun berangkat dari rumah (Bekasi) sekitar jam tujuh pagi. Saya harus tiba di sekolah itu sebelum pukul 09.00 WIB (waktu yang dijanjikan untuk memulai seminar). Alhamdulillah, karena jalanan tidak terlalu macet, saya dan suami pun tiba di Global Kids School (Jalan Lubang Buaya, No 6 B, Jakarta Timur) setengah jam sebelum jam sembilan pagi.
Kehadiran saya disambut dengan ramah oleh beberapa orang staf pengajar. Karena peserta seminar belum semuanya hadir, saya pun memilih menyerahkan materi yang akan ditampilkan di layar infokus. Sementara suami saya lebih memilih menunggu di luar sambil menonton murid-murid yang sedang mengikuti ekstrakurikuler bela diri TaeKwonDo. Dalam hati sebenarnya saya sangat bersyukur karena suami tak ikut menyaksikan saya berbicara di depan audience. Saya sempat khawatir kalau dia ikut duduk di deretan bangku peserta, apa yang bakal terjadi pada penampilan saya. Masalahnya beliau belum pernah menyaksikan saya menjadi presenter. Hahahaha....

MC (foto pribadi)
Tepat pukul 08.45 WIB acara pun dibuka oleh salah seorang guru yang merangkap sebagai pembawa acara (MC). Beliau memperkenalkan saya lewat CV yang sudah saya berikan sebelumnya. Sesekali saya perhatikan beberapa pasang mata melirik ke saya sebab saya masih duduk di deretan bangku peserta. Setelah MC selesai membuka dan membacakan beberapa pengalaman dari CV saya, barulah saya diminta untuk menyampaikan materi sesuai tema yang mereka minta.
Saya pun membuka sesi dengan mengucapkan salam dan rasa terima kasih kepada pihak sekolah dan para orangtua murid Global Kids School yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berbagi pengalaman serta motivasi.
Klik!
Layar infokus pun menampilkan slide pertama dari materi saya.

Ilustrasi anak membaca. ©wishfulthinkingworks.com
Setelah itu sajian materi pun mengalir lancar. Sesekali saya menyelipkan joke ringan di sela-sela paparan materi yang saya berikan. Dan, senang rasanya jika humor yang saya lemparkan disambut gelak tawa para orangtua yang menjadi peserta seminar. Namun, tak jarang juga saya bersikap serius ketika membahas bahwa setiap anak tentulah berbeda dalam memotivasinya untuk gemar membaca. Kegemaran itu muncul jika orangtua ikut berperan sebagai role model.

Suasana di ruang seminar (foto pribadi)



Setelah selesai menyajikan materi tentang menumbuhkan minat baca, saya melanjutkannya pada materi tentang menumbuhkan minat menulis pada anak. Saya semakin percaya diri karena semua mata masih fokus memperhatikan saya. Diam-diam saya menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka ajukan setelah materi yang saya sajikan berakhir. Saya yakin karena lewat tatapan mata mereka seolah para orangtua murid itu mulai menyusun bahan pertanyaan yang ingin mereka ajukan.
Sebelum membuka sesi tanya jawab, saya mengatakan bahwa alangkah baiknya kalau kami saling sharing pengalaman sehingga saya tidak sepenuhnya berperan sebagai pembicara  dan seolah merasa “sok” pintar sendiri. Hahaha.... Mereka kembali tertawa mendengar komentar saya.
Semua pertanyaan mereka saya jawab. Dan saya selalu menanyakan apakah jawaban saya pas atau sesuai dengan yang mereka harapkan. Saya ingin mereka jujur agar tujuan dari seminar tersebut bisa tercapai dengan baik. Jika masih ada yang dirasa kurang, saya tak segan-segan mengajak audience untuk kembali mendiskusikannya. 

Sesi tanya jawab (foto pribadi)

Saya juga tidak menutup kesempatan agar para orangtua murid yang hadir mau berbagi tentang pengalaman mereka juga dalam menumbuhkan minat baca tulis buah hatinya. Seterusnya, terciptalah suasana yang sangat menyenangkan. Beberapa dari mereka bertanya, meminta solusi dan tips kepada saya. Dan beberapa lainnya justru tak sekadar mengajukan pertanyaan tapi juga bercerita tentang kebiasaan unik dan cara mereka memotivasi anaknya untuk mau menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan.
Ada juga yang bercerita bahwa dia dan suami sebenarnya pencinta buku dan sekaligus gemar menulis bahkan pernah memenangkan beberapa perlombaan menulis, namun mereka merasa kehabisan akal untuk mewariskan kebiasaan itu kepada anak-anaknya. Padahal menurutnya, mereka sudah melakukan tahapan-tahapan yang saya sajikan di materi pembahasan. Untuk keresahan si ibu, akhirnya saya mencoba menelaah sisi yang mungkin belum terpenuhi oleh mereka sebagai orangtua.

Tak harus selalu serius (foto pribadi)

“Saya senang karena ternyata di sini ada yang sudah memiliki pengalaman yang lebih dari saya. Anak saya saja masih duduk di bangku SMA dan yang bungsu masih di SMP, sementara dua anak Ibu sudah kuliah. Tentunya Ibu sudah melewati fase sebagai orangtua yang belum saya jalani. Tapi, meskipun demikian, jangan pernah bilang menyerah ya, Bu. Saya bisa berbagi karena mungkin memang kebetulan apa yang saya harapkan dari anak-anak saya terkait dengan kegiatan membaca dan menulis ini sedikit banyak telah memenuhi harapan, jadi saya tidak mengalami fase sesulit seperti pengalaman Ibu. Tapi, kalau boleh saya membantu dan siapa tau kelak ini akan berhasil, bagaimana kalau dari kegemaran Ibu menulis itu Ibu mencoba menghasilkan sebuah karya dalam bentuk buku. Mungkin ini  bisa menjadi bukti bahwa kegemaran membaca itu akan mendorong keinginan untuk menulis dan kegiatan menulis jika dilakukan kontiniu akan menghasilkan sebuah karya yaitu buku. Katakan itu kepada anak-anak Ibu sambil menunjukkan buku karya Ibu kepada mereka,” ulas saya panjang sambil melihat respon si Ibu.
“Oh iya... benar juga. Bisa jadi  ya biarpun saya dan suami sudah menyontohkan dan terus-menerus menyuruh anak-anak saya supaya mau membiasakan diri membaca tapi karena saya sendiri belum menunjukkan bukti nyata, maka anak-anak saya menganggap itu hanya bentuk omelan saja ya,” ungkapnya menahan tawa.
“Kalau begitu, saya mau minta bantuan Bu Wiwiek supaya nanti saya bisa menyelesaikan satu tulisan dan membukukannya. Kalau berkenan, saya dibantu ya, Bu?” ujarnya lagi membuat saya tersenyum dan mengiyakannya.
Sat hal yang membuat saya kagum, bahwa di antara para penanya terlihat keantusiasan para bapak dalam usahanya menemukan trik khusus untuk menumbuhkan minat baca putra-putri mereka. Memang seperti itulah seharusnya, karena tugas dan tanggung jawab dalam pola asuh anak tidak semata-mata diletakkan pada seorang ibu. Ayah dan Ibu hendaknya senantiasa bergandengan tangan, mencari solusi dan bersama-sama dalam menjalankan fungsinya sebagai orangtua. Sementara para guru melanjutkan perannya dalam membantu mengembangkan serta mengarahkan kemampuan si anak. Tujuan tak akan tercapai secara optimal jika dua kekuatan dalam pola pengasuhan dan pendidikan pada anak ini tidak bekerja sama dengan baik.
Begitulah, setelah sesi tanya jawab yang semakin seru seolah sulit untuk dihentikan, waktu juga yang harus membatasi kebersamaan saya dengan para orangtua murid di momen itu. Sebelum menutup acara, saya sangat terharu ketika Kepala Sekolah memberikan sebuah cinderamata yang indah sebagai bentuk penghargaan mereka kepada saya. Daaan... tentunya disertai amplop penghilang rasa lelah. Hahaha... just kidding!
Akhirnya... terima kasih,  semoga kerjasama kita tak berakhir sampai di sini, Bu Nunun. Sampai bertemu kembali di event lainnya. []
Viewing all 236 articles
Browse latest View live