Quantcast
Channel: Rumah Mayaku
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

Pembicara di Event Office to Office Majalah Annisa

$
0
0


"Cinderamata dari Penyelenggara" (doc. pribadi)

Kembali didaulat sebagai narasumber adalah momen yang semakin hari semakin membut saya enjoy. Kali ini kesempatan itu datang dari bagian promosi sebuah majalah muslimah berskala nasional. Ya, Majalah Annisa namanya.
Awalnya dimulai dari info singkat berupa penawaran dari seorang teman yang juga bekerja di majalah tersebut. Dia berani mengajukan nama saya karena menurutnya saya memiliki kapasitas untuk itu. Sebelum menyetujui tentu saja saya menanyakan terlebih dahulu tentang teknis pelaksanaannya. Akhirnya tanpa basa-basi teman saya itu mengenalkan saya kepada Mbak Ria (bagian promosi majalah tersebut).
Singkat cerita, akhirnya saya pun menyetujui permintaan untuk menjadi pembicara di sebuah event yang menurut info baru dua kali mereka lakukan. Nama acara itu adalah “Office to Office”. Wow! Itu artinya saya adalah orang ketiga yang digandeng untuk menjadi pematerinya. Senang campur deg-degan tentu saja. Namun, karena tema yang diminta sangat dekat dengan profesi dan kehidupan keseharian saya, maka kesempatan baik itu tak mungkin saya tolak.
Menurut Mbak Ria, Majalah Annisa kali ini bekerjasama dengan Bank Syari’ah Mandiri dan Dauky Fashion. Dan, saya diminta mengisi sesi parentingnya dengan mengusung tema, “Menumbuhkan Minat Membaca dan Menulis pada Anak” yang akan digelar di gedung Bank Syari’ah Mandiri, Jakarta Pusat.
Setelah melewati beberapa kali diskusi lewat e-mail, whatsapp, dan telepon, saya pun menerimarundown acaranya. Setelah itu saya kembali merapikan materi untuk bahan presentasi.
Tibalah hari yang ditentukan yaitu, Jum’at, 28 Maret 2014. Saya bersyukur karena kedua anak saya ternyata libur sekolah sehingga saya bisa mengajak mereka. Karena acara mulai digelar pada pukul 11.30 WIB, maka saya memutuskan berangkat dari rumah pukul 09.30 WIB. Dengan ditemani dua buah hati tercinta, kami pun berangkat menuju Jalan Thamrin, lokasi gedung Bank Syari’ah Mandiri berada. Namun sebelumnya saya harus mengantarkan anak laki-laki saya ke kantor bapaknya agar tak terlewati untuk melaksanakan sholat Jum’at. Setelah itu, saya dan si Kakak melanjutkan perjalanan.
Kami tiba di lokasi tepat pukul 11.30 WIB. Ternyata acara sudah dimulai. Tak berapa lama, Mbak Berliana Fibrianti (Editor in Chief Majalah Annisa) menyusul memasuki ruangan. Saya pun menyiapkan diri untuk segera tampil di sesi awal. Namun, sesi saya dimundurkan ke bagian akhir dengan alasan menunggu bapak-bapak selesai sholat agar bisa ikut serta menyimak materi yang akan saya sampaikan. Diam-diam saya merasa lega dan senang karena sejak awal masuk ke ruangan yang dipenuhi oleh para ibu muda (karyawati Bank Syari’ah Mandiri), saya sedikit berharap agar ada para bapak yang ikut menjadi peserta talkshow, sebab tema yang akan dibahas bukan hanya untuk kaum Ibu saja.
Tibalah giliran saya. Pembawa acara memperkenalkan saya kepada audience dengan membacakan beberapa point penting dari CV saya. Setelah itu saya yang mengambil alih acara. Saya menyapa semua yang hadir dengan semangat. Sambil membuka dengan salam, saya menatap sekilas wajah-wajah mereka sambil berdoa dalam hati, semoga 45 menit ke depan saya mampu memberikan yang terbaik kepada audience. Bismillah....
doc. pribadi
 Klik!
Slidepertama dari materi yang ingin saya urai pun terbuka di layar infokus. Selanjutnya mengalirlah uraian beserta contoh-contoh yang memaparkan tips dan tahapan-tahapan dalam menumbuhkan minat membaca dan menulis pada anak yang telah saya susun sedemikan rupa. Seperti biasa saya tak mau tampil monoton agar suasana tetap terjaga dengan baik. Saya kembali melempar joke-joke ringan seputar peran saya sebagai seorang Ibu yang disambut dengan derai tawa peserta.
Sesi tanya-jawab (doc. pribadi)
Untungnya putri saya (Mira) ikut menyaksikan penampilan ibunya dan duduk di bangku terdepan. Sesekali bibirnya ikut menebar tawa ketika saya menjadikannya objek atau contoh untuk membumbui dan memberi warna pada peresentasi saya. Akhirnya saya juga sekilas memperkenalkan Mira sebagai penulis remaja yang telah menghasilkan karya lewat beberapa buku cerita untuk anak dan remaja.
Alhamdulillah, acara pun berjalan dengan lancar dan seru sekali. Kalau saja MC tak mengingatkan waktu yang tersedia untuk saya, rasanya saya ingin mengeksplore lebih jauh dan luas lagi tentang tema menumbuhkan minat membaca dan menulis pada anak ini. Tapi, waktu yang tersedia tinggal untuk sesi tanya jawab. Saya pun siap menyimak dan menjawab pertanyaan yang diajukan.
Sesi tanya-jawab (doc. pribadi)
“Bu Wiwiek, saya memiliki dua anak dengan karakter dan hobi yang berbeda. Yang pertama gemar dan cinta pada olahraga bola sementara yang bungsu suka menulis. Saya ingin sekali anak saya yang pertama juga gemar membaca dan menulis tapi rasanya sulit sekali mengarahkannya pada hal itu. Adakah tips yang bisa ibu berikan agar saya bisa mencobanya?” begitu salah satu pertanyaan yang diajukan kepada saya.
“Wah! Kita sama-sama memiliki anak laki-laki yang gemar pada sepak bola ya, Bu. Tapi, mungkin ibu belum menemukan cara agar si anak bisa membagi waktunya pada dunia baca tulis seperti yang ibu inginkan. Yang paling sederhana bisa Ibu lakukan, cobalah pelan-pelan bertanya kepadanya tentang hal-hal unik dan menarik dari hobinya itu. Tempatkan posisi Ibu seolah ikut menyenangi hobinya. Lalu, kalau dia mulai tertarik berbagi dan bercerita, perlahan-lahan minta dia menceritakannya lewat tulisan. Katakan bahwa itu akan menjadi catatan yang sangat menarik karena dia menguasainya. Jadi intinya, pancing si anak bercerita lewat tulisan tentang apa yang dikuasainya. Sementara untuk membaca, jika dia mulai menyenangi kegiatan menulis bukan tidak mungkin meskipun urutannya terbalik dan dimulai dari menulis dulu baru membaca, tak ada salahnya bukan? Asal Ibu dan Bapak mau memberi contoh dan tak pernah bosan melakukannya, percayalah...cepat atau lambat anak akan meniru,” bantu saya memberi tips.
Setelah itu saya pun kembali memberi jawaban kepada penanya lainnya. Dari salah satu penanya, muncullah seorang Bapak yang bercerita tentang kedua buah hatinya. Yang pertama berusia 8 tahun dan kedua 2,5 tahun.
Pak Afnur (paling belakang) - (doc. pribadi)
“Dulu, sewaktu kami tinggal di Amerika, anak pertama saya itu senang sekali membaca dan menulis-nulis puisi dan cerita. Tapi setelah kami kembali ke tanah air, kami heran dengan kebiasaannya yang dari hari ke hari meghilang. Sekarang malah dia suka menyendiri di kamar dan tak mau lagi menulis atau menunjukkan minat baca seperti sebelumnya. Saya dan istri mencari-cari penyebabnya dan kami berkesimpulan apakah ini disebabkan pengaruh dari lingkungan sekolah atau pergaulannya. Menurut Bu Wiwiek, bagaimana caranya mengembalikan semangat membaca dan menulis itu?” tanya Pak Afnur (salah satu karyawan BSM).
“Terim kasih Pak Afnur, mau berbagi kisah tentang buah hatinya kepada kita di sini. Menurut saya, jika ada sesuatu perubahan yang terjadi pada anak kita, usahakan agar kita tak terlalu terburu-buru mencari penyebabnya dari lingkungan di luar rumah. Jika ini kita lakukan, bisa saja kita kehilangan momen untuk melakukan interospeksi terhadap diri kita sendiri sebagai orangtua, sebab semua yang terjadi pada anak bisa jadi berawal dari pola asuh kita di rumah. Dulu, saat tinggal di Amerika, bisa jadi Bapak dan Ibu begitu dekat dengan si anak. Hidup di perantuan apalagi di luar negeri, biasanya seperti itu dan sangat berpengaruh pada interaksi kita dalam keluarga inti, sebab saya telah mengalaminya saat saya dan keluarga juga tinggal di Amerika. Kebersamaan kita dengan anak-anak akan lebih terasa intens dibanding saat kita kembali ke tanah air. Kesibukan dan jam kerja kantor serta dunia kerja lainnya bisa jadi perlahan-lahan merenggangkan interaksi kita dengan anak. Nah, saat itulah anak seolah kehilangan momen yang pernah dirasakannya selama ini. Mungkin saja kegemarannya membaca dan menulis muncul, efek dari perhatian Bapak dan Ibu yang intens tadi. Lalu, sekarang hal itu tak didapatnya lagi sehingga dia menjadi perlahan-lahan malas dan mencari kesenangan lain,” ulas saya panjang memberi gambaran kemungkinan dari pergeseran hobi si anak. Pak Afnur manggut-manggut dan mengakui kebenaran yang saya kemukakan itu.
Yang mendapat hadiah dari saya. (doc.pribadi)
Begitulah, durasi sejam yang berlalu meninggalkan kesan indah buat saya. Dan, alhamdulillah... semua yang saya sampaikan disambut dengan antusias dan dirasa sangat bermanfaat oleh peserta terutama bagi beberapa yang bertanya. Sebelum menutup acara, tiga penanya mendapatkan hadiah buku karya saya dan anak-anak. Mereka sangat gembira karena hadiah itu sebagai surprisedari saya.
Berfoto bersama para pemenang door prize dan panitia (doc. pribadi)
Sebagai penutup, saya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada panitia (Majalah Annisa dan Bank Syari’ah Mandiri) yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk berbagi dan menjadi motivator di acara office to office tersebut. Semoga kerjasama ini bisa berlanjut di momen-momen sejenis lainnya. Aamiin. []



Menantu untuk Emak

$
0
0

Cerpenku, "Menantu untuk Emak" di Majalah NooR edisi April 2013

            (Naskah asli)

            Wajah wanita 55 tahun di depanku ini begitu bersahaja. Polos dan jujur. Dialah emakku, wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku. Emak pula yang telah menanamkan segala bentuk norma hidup ke dalam jiwaku.
            Emak membuka album di pangkuannya. Sejak tadi aku membiarkan Emak menikmati foto-foto kenangan itu. Sesekali kulihat bibir Emak tersenyum diselingi desahan napas pelan yang perlahan menggerakkan dadanya.
        “Bapakmu tak pernah melepas senyumnya saat difoto,” ujar Emak mengomentari kebiasaan almarhum Bapakku jika difoto.
            “Iya, Mak. Kata Bapak, biar wajahnya selalu terlihat ceria,” balasku.
        “Dan, kau selalu meniru gaya Bapakmu juga, kan?” tanya Emak seraya memandangku dengan tatapan lembutnya. Aku mengangguk membagi senyuman ke Emak.
Aku tahu, saat ini Emak sedang merindukan Bapak. Biasanya hampir setiap akhir pekan mereka duduk berdua di teras rumah ini. Tapi, ketika Bapak berpulang tiga tahun lalu, Emak  jadi kehilangan teman hidup. Setelah Bapak tidak ada, akulah yang menjadi pengganti teman Emak. Berbincang, berbagi masalah, sampai berdiskusi tentang penghematan uang belanja. Karena hanya aku anak Emak.
            “Tak terasa sekarang umurmu sudah 30 tahun. Kapan ya Emak bisa melihat calon suamimu?” tanya Emak tiba-tiba mengalihkan obrolan. Ini sudah tahun keempat Emak mengajukan pertanyaan yang sama.
            “Sudah ada, Mak. Tapi, aku masih belum yakin untuk mengenalkannya kepada Emak....”
            “Mengapa belum yakin? Kau takut Emak menolaknya?” potong Emak.
            “Hmm...,” jawabku bergumam.
            “Kapan Emak bisa menilai kalau kau saja tak pernah membawanya untuk bertemu Emak?” tambah Emak lagi.
            “Nantilah, Mak,” balasku singkat karena tak tahu harus menjawab dengan kalimat yang pas.
            Setiap kali aku teringat pada keinginan Emak agar aku segera menikah, ada rasa ngilu di sudut hati. Karena setiap tahun berganti tetap tidak ada yang berubah di statusku. Aku masih melajang hingga saat ini.
            “Lin, ini sudah berganti tahun lagi,” sambung Emak kembali terdengar menyindir di telingaku.
            “Iya, Mak.”  
            “Tak terasa umurmu juga sudah bertambah,” sela Emak lagi semakin membuatku kebingungan menyusun kalimat untuk menimpalinya.
            “Kemarin ada laki-laki bertandang ke sini. Katanya dia teman dekatmu,” lanjut Emak membuat dadaku berdebar kencang.
            “Hah? Laki-laki? Teman dekatku?” tanyaku gugup.
            “Iya, namanya Faisal. Katanya dia senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Emak,” tambah Emak lagi tiba-tiba membuatku kembali tak bisa melanjutkan kata-kata. Faisal bertemu Emak? Kira-kira apa yang dibicarakannya? Kepalaku sibuk memikirkan segala kemungkinan.
            “Katanya kalian sudah lama saling mengenal. Dia ingin melamarmu,” sambung Emak lagi.
            “Melamar?!” tanyaku terperanjat.
            “Iya, Emak meminta dia membawa keluarganya,” jawab Emak.
      “Dia yatim piatu, Mak. Hidupnya bertahun-tahun mengurus panti asuhan tempat dia pernah dibesarkan,” kataku seraya menundukkan wajah. Akhirnya aku bisa mengeluarkan serangkaian kalimat itu di hadapan Emak. Namun, aku tak berani menatap mata Emak.
            “Itu yang membuatmu selama ini tak berani mengenalkannya kepada Emak?” tanya Emak.
        “Jadi, Faisal sudah cerita tentang latar belakang hidupnya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Emak.
       “Bersiaplah, Lin. Pernikahanmu sudah diambang pintu,” kata Emak tak juga menjawab pertanyaanku.
Aku kembali terdiam. Kata-kata Emak yang terakhir semakin penuh teka-teki buatku. Apa yang sudah dikatakan Faisal, sehingga Emak begitu yakin menyuruhku mempersiapkan pernikahan? Aku sangat mengenal Emak. Hatinya takkan luluh jika tak ada sesuatu yang mampu membuatnya takluk dan merasa jatuh hati. Aku semakin penasaran dibuatnya.
            Ini adalah awal tahun yang luar biasa buatku. Tak ada lagi yang harus kusembunyikan dari laki-laki bersahaja itu. Kata-kata Emak sudah cukup memberi restu pada hubungan kami. Tapi, Faisal bukan laki-laki berduit yang mampu melamarku dengan sejumlah mahar atau uang yang layak.
Aku ingat ketika Emak memberi pesan agar selain memperhatikan bibit, bebet, dan bobot calon pendamping hidup, aku juga jangan menutup mata pada harapan masa depan yang bisa dijanjikannya. Menurut Emak, setidaknya laki-laki yang kelak menjadi suamiku takkan menelantarkanku alias tak diberi nafkah lahir.
Emak bukan tipe wanita materialistis, tapi apa yang dikatakannya sangat masuk di akalku. Mana ada seorang ibu yang rela melihat putrinya hidup terlantar dalam pernikahannya. Dan, aku tak tahu mengapa Emak dengan mudahnya menerima Faisal untuk menjadi pendamping hidupku. Aku sendiri tak berani menjamin kalau Faisal mampu memberiku kehidupan yang mapan. Hanya cinta dan harapan yang membuatku tetap mempertahankan hubungan kami. Alasan itu pula yang selama ini membuatku ragu mengenalkannya kepada Emak. Tapi dugaanku jauh meleset. Selain menyuruhku menyiapkan diri memasuki gerbang pernikahan, Emak tak banyak berkomentar tentang Faisal.
“Emak sudah yakin kalau aku memilih Faisal menjadi suamiku?” tanyaku sebelum semua terlanjur kuputuskan dan akhirnya menyakitkan. Bukan hanya untukku, tapi juga buat Emak.
“Insya Allah,” jawab Emak dengan yakin.
Begitulah, akhirnya aku dan Faisal menikah dengan cara sederhana. Tak ada pesta besar. Tak ada bulan madu. Kami hanya berikrar di depan penghulu dengan disaksikan kerabat dekat saja. Dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya. Rasa penasaranku terhadap keputusan Emak belum juga usai.
Kulirik Emak yang duduk di belakang Faisal. Emak tersenyum bahagia. Sudah lama aku tak melihat senyum seperti itu di bibir Emak. Tepatnya sejak Bapak berpulang. Dan, sikap Emak ini semakin membuatku bertanya-tanya.
Mataku beralih ke arah Faisal. Calon suamiku itu bagaikan putra kesayangan Emak. Aku menyaksikan Emak mengelus-elus pundak Faisal, seolah tak ingin kehilangannya. Perhatian Emak seakan memberi kekuatan bagi Faisal saat mengucapkan akad nikah. Dan, kami pun resmi menjadi suami istri.
Setelah acara sakral itu berjalan dengan khidmat, Emak bergeser ke sampingku. Emak merangkulkan sebelah tangannya ke pundakku.
“Insya Allah, Faisal akan menjadi suami yang bertanggung jawab atas dirimu, Linda,” bisik Emak begitu yakin di telingaku.
“Aamiin. Insya Allah, Mak,” balasku bahagia.
*
Malam ini rumah kami kembali hening. Kerabat Emak dan almarhum Bapak sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku, Emak, dan Faisal. Emak dan Faisal masih sibuk menggulung karpet dan tikar di ruang tamu. Sementara aku mondar-mandir memindahkan sisa-sisa piring dan gelas kotor ke dapur. Sesekali mataku melihat keakraban Emak dan Faisal. Mereka seperti sudah saling mengenal sejak lama.
“Sudahlah, besok saja kita lanjutkan membersihkan semuanya,” ujar Emak memecah kebisuan yang sejak tadi terjadi di antara kami bertiga.
“Tanggung, Mak!” jawabku dari dapur.
“Faisal, ajak istrimu istirahat. Kalau tak dicegah, dia bisa semalaman di dapur itu nanti,” tambah Emak membuat Faisal bergerak mendekatiku.
“Ayolah, Lin... besok masih ada waktu,” bisik Faisal menahan senyum di depanku. Kulongokkan kepala melihat Emak yang masih berada di ruang tamu.
“Hmm... sekarang Emak punya pendukung ya,” balasku berbisik pula ke Faisal. Selintas kulihat Emak pun beranjak ke kamarnya.
“Tak enak menolak Emak,” ujar Faisal sambil berjalan menuju kamar kami.
Akhirnya, aku dan Faisal sudah berada di dalam kamar pengantin kami yang sederhana. Inilah malam pertamaku dan Faisal. Tanpa kuduga, tiba-tiba Faisal mengatakan sesuatu tentang Emak.
“Aku kagum kepada Emakmu, Lin. Dan, aku sangat menghormatinya,” ujar Faisal dengan senyumnya yang telah meluluhkan hatiku di saat pertama kali kami bertemu. Aku masih diam, menunggu Faisal melanjutkan penilaiannya tentang Emak.
“Ketika kukatakan kalau aku tak bisa memberikan biaya pesta yang layak untukmu, Emak memberikanku ini,” ujar Faisal menunjukkan kotak perhiasan.
“Apa itu?” tanyaku terkejut. Faisal membuka kotak perhiasan itu. Betapa terperanjatnya aku ketika kilau dari gelang emas dengan hiasan berinisial namaku ada di tangan Faisal.
“Haah? Bagaimana mungkin?” tanyaku semakin bingung.
“Emakmu menitipkan ini untuk biaya pernikahan kita. Tapi aku tak memanfaatkannya, Lin. Uang mahar dan biaya pernikahan kita murni dari hasil keringatku. Maafkan aku kalau tak ada pesta besar dan acara bulan madu buat kita, karena tabunganku tak cukup untuk itu,” jawab Faisal mengalir. Aku terdiam. Rasa kagum dan heran berbaur menjadi satu.
Faisal memberikan gelang Emak kembali kepadaku. Kutinggalkan Faisal sebentar dan buru-buru menemui Emak. Pintu kamar Emak tak terkunci. Kulihat Emak sedang tersenyum memandangi album yang terbuka di pangkuannya. Kuketuk pintu kamarnya dengan pelan.
“Emak, maaf... aku mengganggu sebentar,” kataku lirih.
“Ada apa, Lin?” tanya Emak sambil menutup album itu.
“Emak jangan marah ya. Faisal ingin mengembalikan ini,” kataku sangat berhati-hati. Aku tidak ingin Emak tersinggung.
“Ya Allah, mengapa dikembalikan?” tanya Emak ragu menerima gelang emas yang masih kupegang.
“Maaf, saya tak bisa menolak pemberian Emak waktu itu. Saya tak ingin membuat Emak berkecil hati,” tiba-tiba Faisal sudah berdiri di belakangku.
“Jadi, biaya pernikahan kalian...?”
“Saya masih punya simpanan untuk biaya pernikahan kami,” ujar Faisal menjawab kebingungan Emak.
“Subhanallah... tapi gelang ini tetap Emak berikan untukmu, karena ada inisial nama istrimu di situ,” ujar Emak dengan mata berkaca-kaca.
“Baiklah, Mak,” kata Faisal sambil menarik lenganku serta menyematkan gelang itu.
“Terima kasih, Mak,” ujar kami serentak.
Akhirnya Emak kembali tersenyum sambil melangkah mendekatiku. Lengannya yang lembut kembali memelukku.
“Tahun ini statusmu telah resmi berubah, Lin. Kau telah menjadi istri Faisal. Besok-besok, album kenangan kita akan ditambah oleh wajah menantu Emak,” bisik Emak hangat di telingaku. Aku mengencangkan rengkuhan di tubuh Emak dalam balutan keharuan.
“Aahh... Emak.”

***



 

Berselancar di Dunia Imajinasi Anak itu Sangat Menyenangkan

$
0
0


 
Saya dan murid-murid SDIT Aulady (doc. pribadi)
Dunia imajinasi anak adalah dunia yang penuh kreativitas. Mendorong anak untuk berimajinasi merupakan hal yang diperlukan untuk mengelola pola pikir anak sejak dini. Dan, upaya untuk itu menjadi bagian yang sangat menyenangkan bagi saya. Itu sebabnya jika ada tawaran untuk mengisi momen berharga ini, jika tak berbenturan dengan kegiatan lain, saya tak akan pernah menolaknya.
Seperti kemarin, ketika ditawari untuk ikut berbagi ilmu serta pengalaman tentang menulis, saya langsung antusias menerimanya. Ya, kesempatan itu saya dapat dari Haya Aliya Zaki yang saat itu mencari partneruntuk mengisi kelas Pelatihan Menulis di SDIT Aulady Serpong, Banten. Menurut Haya, dia butuh bantuan saya karena ternyata peminat kelas menulis banyak dan lebih dari lima puluh anak. Saya diminta untuk menggawangi setengahnya. Akhirnya kesepakatan pun tercapai dan tinggal menunggu hari “H” nya.
Kembali bertemu dengan murid-murid Sekolah Dasar membuat saya selalu bergairah menjalani aktivitas. Maka, di Sabtu pagi yang cerah, 5 April 2014 itu dengan didampingi oleh suami tercinta yang telah bersedia meluangkan weekendnya untuk mengantarkan saya ke lokasi, saya begitu semangat ingin segera tiba di lokasi. Meskipun kami agak tersendat mencapai lokasi sekolah (sempat berkeliling BSD sejenak...hehe), jarak Bekasi –Serpong tak menjadi masalah.
Kami tiba di SDIT Aulady sekitar jam sembilan lebih. Saya tak terlalu resah karena sesi saya pukul 09.30 WIB. Belum terlambat. Setelah saya turun dari mobil, suami sempat mengatakan, “Good luck” yang membuat saya terharu. Lalu, beliau kembali pulang dan berjanji akan menjemput. Betapa bahagianya mendapatkan supportdari orang terdekat seperti itu. Alhamdulillah....
Presentasi proposal ekskul (doc. Haya Aliya Zaki)
Bersama salah seorang panitia, saya langsung dihantarkan menuju aula. Menurut Haya, sebelum kami mendampingi anak-anak di kelas, pihak sekolah akan membuka acara yang diawali dengan menyimak presentasi tentang rencana kelas ekstrakurikuler menulis yang akan diadakan di sekolah itu. Haya yang bertugas menyajikan proposal berbentuk pemaparan di layar infokus. Saya membantu mengawasi slide presentasi singkat itu dengan senang hati. Di akhir persentasi, tibalah Benny Rhamdani yang akan mengisi seminar parenting tentang, “Bagaimana Menumbuhkembangkan Budaya Menulis pada Anak” serta “Peran Orangtua Menghadapi Pengaruh Negatif Kebebasan Publikasi”.
Sesaat sebelum Benny meninggalkan lokasi. (doc.ribadi)
Setelah sesi pemaparan tentang proposal ekstrakurikuler menulis selesai, saya dan Haya pun langsung menuju ke lantai bawah. Sementara Benny Rhamdani melanjutkan sesinya di seminar parenting tersebut.
Ternyata kehadiran kami sudah dinanti oleh anak-anak yang terlihat mulai tak sabar itu. Kelas terbagi dua. Haya bersama sekitar 25 anak dan saya bersama 24 murid-murid SDIT Aulady. Setelah dibuka oleh salah seorang guru, saya pun mengambil alih kelas dan mulai memperkenalkan diri. Sejenak saya saya perhatikan wajah anak-anak manis dan ganteng itu. Mata mereka seolah tak mau berkedip melihat saya. Inilah yang selalu membuat hati saya berdegup bahagia jika berdiri di depan kelas saat memulai berbagi ilmu serta pengalaman untuk anak-anak.
Slide pembuka materi (doc. pribadi)
Klik!
Seperti biasa, slide awal dari materi yang akan saya sampaikan pun terbuka. Belum ada reaksi, dan kelas tetap senyap.
Klik!
 Slide kedua terbuka. Terdengarlah komentar-komentar setengah berbisik dan riuh  meningkahi suasana kelas. Apa pasal? Hahaha... tentu saja mereka berbisik, ternyata ada foto artis di situ. Salah satu dari mereka bertanya itu foto saya saat di mana. Saya mengatakan, “Itu foto Ibu ketika di London”. Sontak bibir mereka menyeru, “Wow! Kereeen!” Hahaha... lucunya.
Foto "artis" itu yang membuat anak-anak riuh. Qiqiqi....
Saya mulai memberi motivasi tentang pentingnya menguasai keterampilan menulis. Saya katakan bahwa keterampilan menulis sangat bermanfaat bagi profesi apa pun, sebab keterampilan ini akan memberi nilai lebih bagi kita. Seterusnya saya memberikan tips dasar untuk menjadi penulis. Pertama, bulatkan niat, lalu yakinlah pada niat tersebut, setelah itu fokus, konsisten dan terakhir berusahalah untuk disiplin.
Anak-anak semakin tekun menyimak materi saya. Sesekali mereka melontarkan pertanyaan (meskipun belum dibuka sesi tanya jawab). Inilah bedanya jika saya menggawangi kelas berbagi dengan orang dewasa. Anak-anak tetaplah anak-anak, mereka tak akan sabar menahan rasa ingin tahunya akan sesuatu yang mengganjal di benaknya. Mereka tak peduli dengan aturan main, jika hasrat ingin tahunya sudah membumbung di kepala. Hehehe... saya tetap senang dan menjawab semua pertanyaan itu di sela-sela presentasi. 
Suasana kelas (doc.pribadi)
Ketika sampai pada materi tentang membuat judul pada tulisan, pertanyaan pun kembali bermunculan, dari yang sederhana sampai pada yang terkesan lugu dan polos. Kembali, saya katakan... itulah anak-anak, mereka selalu ingin tahu meskipun pertanyaan itu sudah terjawab di pertanyaan temannya dalam versi berbeda. Hahaha... saya selalu antusias melayani setiap pertanyaan berulang dari mereka.
“Ibu, saya suka menulis, tapi kenapa ya judulnya terkadang enggak cocok dengan apa yang saya tulis. Boleh gak ya begitu?” tanya salah satu dari mereka.
“Sebaiknya judul harus menggambarkan cerita, jadi sebelum menetapkan judul, bacalah kembali cerita yang sudah selesai dikerjakan. Jika dirasa kurang pas pikirkan sekali lagi dan cari kalimat yang lebih cocok, menarik dan tentunya bisa memancing pembaca untuk melanjutkan membaca cerita kita,” jawab saya.
Saya pun membagi trik dalam membuat judul yang menarik. Mereka girang karena akhirnya memahami bahwa ternyata membuat judul cerita itu tidak sesulit yang mereka bayangkan selama ini. Setelah memahami cara membuat judul cerita, saya pun kembali memaparkan unsur-unsur penting dalam menulis cerita pendek. Dari mulai penokohan sampai ending dan tahap mengedit cerita yang sudah selesai dikerjakan.
Pada materi “konflik” cerita, saya mencoba menguji kemampuan mereka menggambarkan konflik yang akan menggerakkan cerita mereka. Saya minta mereka membuat dua jenis konflik, yaitu konflik batin dan konflik fisik. Dari 24 anak yang mencoba menuliskan ide tentang dua jenis konflik tersebut, muncullah Layla dengan ide cemerlangnya yang mengisahkan seorang anak tunanetra.
Layla dan hadiah buku saya (doc. pribadi)
Seperti biasa jika saya mengisi kelas pelatihan menulis, di tengah penyajian materi, saya senang menyelipkan permainan untuk mencairkan suasana. Anak-anak saya ajak untuk bermain tepuk tangan dan yang tercepat serta paling tepat menyahuti tepuk tangan saya, akan mendapatkan hadiah. Aaah... serunya melihat mereka berlomba membalas tepuk tangan sesuai arahan saya. Tapi, karena hadiahnya hanya satu, akhirnya terpilihlah Alvin sebagai pemenangnya. Alvin mendapatkan buku karya saya. Wajahanya sumringah menerima hadiah itu.
Alvin dan buku hadiah dari saya (doc.pribadi)
Sampailah pada materi “Membuat Ending Cerita”. Saya memberikan beberapa contoh tentang ending(happy ending, sad ending, endingtertutup dan terbuka, serta endingyang mengejutkan pembaca). Saya senang karena mereka terlihat seperti menemukan ilmu baru dari tahapan menulis.
Sebelum sampai pada tahap editing, mereka minta disuguhi games lagi. Baiklah, saya berusaha menuruti permintaan mereka dan kembali menyuguhkan permainan tebak-tebakan. Inilah sesi yang paling heboh dan lucu. Ketika saya membuka dengan pertanyaan pertama, suara tawa dan kebingungan memenuhi kelas.
“Mata, hidung, telinga, mulut, badan, mirip kerbau, tapi bukan kerbau. Apaan ya itu?” tanya saya di tebakan pertama.
Mereka sibuk berpikir. Ada yang sudah tahu jawabannya berkali-kali menyatakan “Yes!” Hahaha... lucu.
Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan kocak berikut saya lemparkan dan kembali disambut tawa geli mereka. Akhirnya Rafa yang memenangkan permainan. Kembali saya menghadiahi buku untuknya.
Rafa dan buku antologi dari saya (doc. pribadi)
Kelas terus berlanjut hingga menjelang istirahat (ISHOMA). Selepas istirahat, kami kembali ke kelas. Namun, sebelum melanjutkan materi saya menyajikan tontonan sejenak untuk memancing perhatian mereka kembali agar tetap fokus pada materi. Film singkat yang saya putar berupa tampilan sekilas tentang benda-benda serta makhluk-makhluk lucu yang sedang membaca. Film pendek itu saya copy dari Haya. Kembali mereka menebak macam-macam benda dan makhluk yang ada di film itu setelah filmnya saya hentikan.
Lagi-lagi Alvin yang memenangkan perlombaan. Tapi, tiba-tiba hati saya terharu ketika Alvin meminta saya untuk memberikan hadiahnya kepada Nizan.
“Bu, boleh gak hadiah buatku dikasih ke Nizan. Dia pengen dapat hadiah tapi gak pernah dapat dari tadi,” ujarnya mencengangkanku yang disambut tepuk tangan teman-temannya.
Alvin memberikan hadiahnya untuk Nizan (doc.pribadi)
Materi tentang menulis saya lanjutkan kembali. Tahap mengedit cerita (self editing) pun usai. Dan,  sesi terakhir diisi dengan praktik menulis cerita. Mereka saya minta untuk menuliskan cerita sebanyak satu halaman folio yang sudah dibagikan sebelumnya. Waktu yang diberikan sekitar 45 menit.
Dari semua anak yang menulis, saya memilih 6 cerita yang masuk dalam kriteria saya,   selanjutnya dari 6 cerpen itu saya harus memilih 1 terbaik (karena hadiahnya memang tinggal satu, hehehe). Terpilihlah cerita Dela yang berjudul “Lomba Memasak” sebagai cerpen terbaik.
Dela, pemenang cerpen terbaik (doc.pribadi)
Tibalah pada penghujung acara. Hati saya kembali disesaki rasa berat meninggalkan mereka. Tapi, apa boleh buat, waktu juga yang harus membatasi pertemuan kami. Sebelum mengakhiri kebersamaan, kami menutupnya dengan berfoto bersama. 
Saya, Haya, Benny, dan POMG (panitia penyelenggara WS) - (doc.pribadi)
Terima kasih, anak-anakku... teruslah menulis, tuangkan imajinasimu ke dalam cerita agar dunia tahu siapa kamu!
Terima kasih, Haya... momen ini kembali menghangatkan hatiku. Semoga kerjasama kita dengan pihak sekolah tidak terhenti sampai di sini. Semoga. Aamiin. []






Wisata ke Kota Tua

$
0
0

Anggota Redaksi Majalah Insani - Ayek, Yanti Fiskara, Leli, Wiwiek, Yanti Meiwan, Karine (doc. pribadi)
Beberapa waktu lalu, kami dari team redaksi Majalah Insani Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI Pusat) meluangkan waktu untuk menelusuri lokasi Kota Tua. Ini adalah bagian dari tugas liputan kami untuk mengisi salah satu rubrik (baca: Pesona) di majalah kebanggaan para istri pegawai Bank Indonesia itu. Dengan memakasi kostum senada dan berbekal kamera kami pun tiba di lokasi sekitar jam sepuluh pagi. Tanpa membuang-buang waktu kami langsung mengawali kunjungan dengan membidik beragam objek yang tersedia di lokasi tersebut. Simaklah catatan berikut ini. Siapa tahu setelahnya nanti Anda semakin tertarik untuk berkunjung ke sini.
Kota Tua merupakan lokasi yang sangat menarik untuk dijadikan tujuan wisata, khususnya bagi yang bermukim di wilayah Jabodetabek. Tapi, lokasi tersebut tak menutup kemungkinan bagi Anda yang bermukim di luar Jakarta. Kawasan ini berada di wilayah Jakarta Barat. Menelusuri sejarahnya, berkeliling dengan sepeda atau bendi, menikmati sajian kuliner merupakan rangkaian hiburan yang menyenangkan di tempat ini. Bukan hanya itu, bagi penggemar fotografi, lokasi ini sangatlah pas untuk memuaskan keterampilan memotret.
Di kawasan yang telah ada sejak ratusan tahun silam ini juga terdapat berbagai bangunan peninggalan masa lampau yang kini sebagian besar telah dijadikan museum. Diantaranya Museum Fatahilah, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Wayang, dan Museum Bank Indonesia. Selain museum-museum ini, masih banyak lagi bangunan bersejarah yang tak kalah menarik untuk ditelusuri serta diabadikan dalam kamera.
Berikut ini beberapa ikon objek wisata dikawasan kota tua yang berhasil dibidik oleh kamera teamredaksi.
Museum Fatahilah (doc.pribadi)
Museum Fatahilah awalnya adalah gedung Stadhuis atau Balaikota Batavia  yang dibangun pada 1626 dan ditetapkan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada 30 maret 1974. Di museum ini terdapat sekitar 500 koleksi benda bersejarah, mulai dari koleksi periode Batavia, berupa Meriam Si Jagur, ruangan di mana Pangeran Diponegoro pernah ditahan, di lantai paling bawah terdapat penjara yang dulunya digunakan untuk para tawanan.  Di depan halaman museum terdapat air mancur yang pernah menjadi satu-satunya sumber air dikawasan Batavia.

Museum Wayang (doc.pribadi)

Yang di tengah itu Tembikar Semar dari Cirebon, Jawa Barat (doc. pribadi)
Tidak jauh dari Museum Fatahilah terdapat Museum Wayang. Pada awalnya gedung ini adalah bangunan gereja yang di bangun pada tahun 1640. Bangunan ini pernah hancur karena gempa bumi, kemudian di bangun kembali pada Agustus 1975 dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta sebagai Museum Wayang.  Koleksi wayang di museum ini sangatlah beragam. Jika dipilah, koleksinya dapat dilihat berdasarkan jenis wayangnya, daerah asalnya dan bahkan dari jenis bahannya. Terkait dengan pewayangan, tidak ketinggalan juga koleksi gamelan  yang melengkapi isi museum ini..

Museum Seni Rupa dan Keramik (doc. pribadi)
Museum ini berada di bangunan  tua yang didirikan pada 1870.Awalnya merupakan Lembaga Peradilan Tinggi Belanda.  Pada tahun 1990 sampai sekarang bangunan ini diresmikan sebagai  Museum Seni Rupa dan Keramik.  Gedung ini menyajikan ratusan koleksi dan hasil karya seniman-seniman Indonesia sejak kurun  waktu 1800-an hingga saat sekarang.  Diantaranya berupa lukisan, sketsa, patung, dan totem asmat. Ada 8000 koleksi keramik yang disimpan di museum ini.Keramik itu terdiri dari berbagai daerah di Indonesia.  Selain itu ada juga koleksi keramik dari mancagenara.Seperti keramik dari  Tiongkok, Thailand, Vietnam, Jepang , Eropa dari abad ke16 sampai awal abad ke-20.
Untuk menghindari  kejenuhan berada di dalam ruangan kita bisa mencari udara segar di luar museum.  Di depan museum  terdapat taman lengkap dengan pedagang kaki lima yang siap menjajakan makanan, minuman, asesoris, sampai pembuat tato sementara dari pagi hingga malam hari. 

Siap berkeliling dengan sepeda (doc. pribadi)
Uniknya, di lokasi wisata ini disewakan juga sepeda ontel bagi pengunjung yang ingin bersepeda berkeliling kawasan Kota Tua, lengkap dengan topi pelindung dari sengatan panas matahari. Bentuk sepeda itu bermacam-macam karena sudah dimodifikasi sehingga tampil menarik. Tarif yang dipatok berkisar 40 sampai 50 ribu rupiah.  Jika tidak mau capek mengayuh sendiri, si pemilik sepeda siap untuk mengantar dan kita dibonceng.
Rute yang akan dikunjungi berawal dari kawasan museum menuju Jembatan Kota Intan, Gedung Merah, Museum Bahari, Menara Syah bandar dan terakhir Pelabuhan Sunda Kelapa.  Jika tidak mau berkeliling, kita bisa berfoto dengan sepeda tersebut. Biasanya pengunjung memberikan tip untuk si pemilik sepeda sekitar 5 – 10 ribu rupiah.

Jembatan Kota Intan (doc. Karine)
Tidak  jauh dari Museum Fatahila kita bisa temui jembatan Kota Intan yang dibangun oleh VOC tahun 1628. Jembatan yang terbuat dari kayu ini dapat diangkat tengahnya sehingga terbagi dua, untuk memberikan jalan pada perahu besar yang akan melintas.  Jembatan ini pernah rusak ketika  kerajaan Banten dan Mataram menyerang benteng Batavia.  Namun setahun kemudian telah di bangun kembali. Pada tanggal 7 Desember 1972 Gubernur DKI Jakarta saat itu menetapkan sebagai “cagar budaya”. Dengan keunikan bentuknya, jembatan ini menjadi salah satu spot favorit bagi para fotografer.

Gedung Merah (doc. Karine)
Berjalan sedikit lebih jauh, kita akan menemukan  bangunan  berwarna merah yang temboknya terbuat dari bata berwarna merah.  Bangunan  Cagar  Budaya  ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, di bangun tahun 1730 yang  letaknya  persis di samping sungai  Ciliwung. Bangunan  ini dulunya adalah rumah seorang   Gubernur  Jendral VOC pada tahun 1743-1750.   Setelah itu sempat menjadi toko milik pedagang Cina.  Namun bangunan ini sekarang hanya dibuka jika ada pameran atau acara yang digelar di sana. Jika tidak ada acara pengunjung hanya bisa melihat di luar gedung saja.

Museum Bahari (doc. Karine)
     Rekam jejak kebaharian Nusantara secara representatif  tampil  di museum bahari ini.  Gedung yang berdiri tahun 1652 ini awalnya merupakan gedung bekas  gudang  rempah-rempah VOC.  Gedung yang berlantai dua ini menyajikan  koleksi  yang berhubungan dengan teknologi pelayaran serta sejarah kebaharian di  Indonesia. Di kawasan ini terdapat pula Menara Syahbandar, kubu pertahanan (Culombong) yang di bangun pada abad ke-18 dan ke-19.
Pelabuhan Sunda Kelapa (doc. Karine)
Tidak jauh dari Museum Bahari  terdapat pelabuhan Sunda Kelapa yang memiliki luas daerah 760 hektar dan perairan kolam  yang terdiri dari 2 pelabuhan utama dan pelabuhan kalibaru. Saat ini pelabuhan ini digunakan sebagai pelabuhan antar pulau, ramai di kunjungi kapal-kapal yang mengangkut barang kelontong, besi beton, untuk pembokaran bahan bangunan seperti kayu, rotan, hasil panen seperti kopra dan banyak lagi, yang masih menggunakan cara tradisional.

Salah ekspresi :p (doc.pribadi)
Selain itu masih ada alternatif objek menarik yang bisa memuaskan kita untuk berfoto-ria.Beberapa sosok patung yang berdiri di lapangan di depan Museum Fatahillah mengusik perhatian saya. Dari atribut yang dikenakannya, seperti baju, sepatu laras, dan senapan, membuat penampilan mereka mengingatkan saya pada sosok pejuang di era perang kemerdekaan. Merekalah "Manusia Patung" yang menjadi pelengkap objek wisata di kawasan Kota Tua.
Cafe Batavia (doc. pribadi)
Setelah puas menelusuri kawasan Kota Tua, kami pun rehat sejenak di  "CAFE BATAVIA".  Restoran  ini berada di dalam sebuah bangunan tua  bergaya  khas kolonial.  Kita bisa menikmati koleksi foto lama yang penuh sejarah serta furnitur  bergaya klasik.  Pengunjungnya tidak hanya  warga negara Indonesia saja tapi banyak juga   tamu mancanegara.  Sementara menu yang disajikan adalah masakan Eropa dan Asia.  Sambil menikmati sajian makanan kita serasa menembus waktu berada di masa lampau.
Nah, tunggu apalagi. Masukkan dalam agenda liburan Anda dan keluarga untuk menelusuri Kota Tua ini. [Wylvera W. & Team]
           
Sumber info sejarah gedung: Brosur wisata Kota Tua

Saya, Dapur Insani, dan Kecintaan pada Menulis

$
0
0

Saya (mewakili INSANI) dan Mantan Ketua PIPEBI (doc. pribadi)

      INSANI adalah nama yang diberikan dari penggagas pertama untuk majalah kebanggan para istri pegawai Bank Indonesia. Saya sendiri tidak mengetahui persis sejarahnya (harus ditelusuri lagi deh, takut gak diakui sebagai pemred...hehe). Yang saya tahu, Insani ini dulu terbit dalam bentuk buletin. Dari waktu ke waktu akhirnya diubahlah menjadi majalah karena tampilannya juga telah banyak mengalami perubahan yang lebih pas disebut sebagai majalah.
Tampilan cover Insani dari waktu ke waktu (doc. pribadi)
          Ketika mengenal majalah ini saya hanya terlibat sebagai distributor tulisan-tulisan saja. Itu pun tak terlalu sering. Akhirnya pada tahun 2010 saya direkrut menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di INSANI. Namun karena kesibukan saya sebagai penulis dan mengajar waktu itu sehingga tak bisa selalu hadir di setiap rapat redaksi, akhirnya saya sempat beberapa bulan mengundurkan diri. Hingga pada tahun 2013 saya kembali diminta untuk bergabung. Jadilah sampai sekarang saya duduk sebagai Pemimpin Redaksinya. Alhamdulillah... semoga terus amanah hingga akhir periode (2015).

Redaksi (doc.pribadi)
          Lalu, apa saja sih sebenarnya yang kami kerjakan di dapur INSANI ini?
Mungkin tak serupa dengan majalah-majalah nasional yang oplahnya bisa sampai puluhan ribu, INSANI hanya menjalankan bagian dari proses kerja redaksi di sebuah majalah saja. Oplahnya juga hanya 2000 eksemplar (setelah beberapa kali dikurangi dari 3000 eks sebelumnya).
Apa sih yang saya kerjakan di sana?
Mulai dari menentukan tema untuk setiap edisinya hingga proses pemilihan naskah, foto dan tulisan-tulisan para ibu (seluruh anggota PIPEBI) yang layak dimuat, melakukan liputan di acara-acara PIPEBI Pusat, hingga ikut menentukan naik cetak dan terbitnya lalu mengawasi proses distribusinya di setiap edisi, saya terlibat di dalamnya. Selain itu, saya juga harus siap menjawab pertanyaan para ibu anggota PIPEBI lewat sms, bbm, WA dan e-mail.
Tempat lalu lintas naskah/artikel yang akan dipilah-pilih. (doc. pribadi)
          Dalam proses itu tentu saja kami tak luput mengadakan pertemuan berkala. “Rapat Redaksi”, begitu kami menyebutnya. Di rapat inilah saya mengajukan ide tema yang selanjutkan dibahas dan bukan tidak mungkin usulan tema dari saya akan berubah jika dirasa masukan dari yang lainnya lebih bagus, tapi alhamdulillah...sejauh ini usulan dari saya jarang ditolak sih (hahaha.... takut saya ngambek  mungkin ya... ah, ge-er :p).
         Setelah tema disepakati, kami pun menyusun konten rubrik. Tugas saya belum usai sampai di situ. Saya harus terus memantau kiriman naskah tulisan lewat e-mail (dibantu team) baik berupa artikel maupun kisah-kisah inspiratif dari berbagai perwakilan. Selanjutnya saya juga harus memilah-milih kiriman foto-foto untuk dimuat di rubrik “Figura” (foto-foto kegiatan para istri BI dari pusat hingga seluruh kantor perwakilan).       
          Kemudian untuk profil yang lebih sering mengangkat figur para istri “pejabat” (istri Gubernur, istri Deputi Gubernur serta istri Direktur dari berbagai Departemen di Bank Indonesia) adalah menjadi tugas saya juga sebagai pewawancara dan pencari informasinya. Beruntungnya saya, dalam pelaksanaan kunjungan ke kediaman para istri pejabat ini selalu ada Ketua atau Wakil Ketua PIPEBI serta fotograper dari Insani yang mendampingi saya sehingga semua terasa lebih mudah dan nyaman.

Bersama Ny. Nies Agus Martowardojo (Istri Gub. Bank Indonesia)
Bersama Ny. Arulita Mirza Adityaswara (Istri Deputi Gubernur Senior BI)
Sementara untuk pengeditan naskah, saya tidak 100% mengerjakannya karena ada editor dari percetakan (spora) yang membantu. Untuk layoutsepenuhnya dikerjakan oleh pihak percetakan dengan tetap meminta persetujuan/usulan dari INSANI dan Ketua PIPEBI Pusat. Semua ini kami lakukan setiap tiga kali dalam setahun menjelang terbitnya, yaitu April, Agustus, dan Desember. Meskipun hanya tiga kali terbit, prosesnya tetap dimulai dua bulan sebelum bulan terbit agar tidak terburu-buru dan mundur dari jadwal terbitnya.
        Kesibukan inilah yang sudah menambah rutinitas hari-hari saya sebagai penulis. Bukan mau excuse karena di tahun 2014 ini (hingga bulan April) saya belum mampu menghasilkan karya dalam bentuk buku sebenarnya, tapi beginilah pekerjaan saya sekarang. Saya harus legowo dan tetap bersemangat meskipun hanya dua cerpen dan satu naskah travelingyang sempat nongol di majalah nasional (NooR dan Annisa) di tahun ini. Nah lho... kok ujung-ujungnya jadi curhat? (hahaha... ini sih supaya seru aja biar penutup dari tulisan ini lebih dramatis gitu. :p)
Rapat Redaksi (doc. pribadi)
Saya tetap senang karena di sela-sela pekerjaan dan tanggung jawab sebagai pemimpin redaksi dan guru ekskul juga ibu rumah tangga (kalau yang ini sih semua ibu pasti merasakannya...hehehe) masih ada waktu dan kesempatan untuk berbagi pengalaman (menulis dan profesi) kepada anak-anak selain murid-murid di tempat saya mengajar. Biarlah karya saya dalam bentuk buku bacaan hanya bisa terbit satu dalam setahun, asal saya bisa membagi ilmu yang sedikit ini buat anak-anak di luar sana, karena saya tahu persis begitu banyak dari anak-anak itu yang menyimpan keinginan untuk bisa terampil menulis juga. Mereka tak tahu bagaimana caranya atau bahkan enggak punya uang untuk bayar uang kursus menulis yang terkadang relatif mahal bagi ukuran kantong orangtua mereka. Itu sudah cukup memberi kepuasan batin buat saya. Eh, kok melenceng ke mana-mana ya?
Oke...kembali ke topik ah, sudah mau sampai di ending ini.
Menekuni semua pekerjaan yang seluruhnya tak jauh-jauh dari kegiatan menulis membuat saya yakin kalau cinta saya pada dunia menulis masih membara (halaaah...lebaynyaaa, qiqiqi). Eh, bener lho... diam-diam semangat menulis dan mengurai ide menjadi sebuah buku tetap menyala di hati ini. Seriuuus...sueeer tekewer-kewer. ;) [Wylvera W.]

Bertemu Calon Penulis Cilik di Sabang

$
0
0

Bersama siswa-i SDN 1 Sabang (doc. pribadi)
Saya akan mengawali catatan dari perjalanan ke Aceh – Sabang dengan pelatihan menulis. Sebab, inilah momen yang paling berkesan bagi saya selama empat hari berada di sana. Momen yang mungkin sulit untuk diulang kembali (tapi, saya berharap agar masih ada waktu berkunjung balik ke sana lho...hehe).
Rencana perjalanan kami menuju Serambi Mekah (salah satu sebutan untuk provinsi Aceh) sebenarnya sudah lama tercetus. Semua bermula dari obrolan iseng ketika dua teman alumni SMP/SMA) saya menjenguk Mira (anak saya) di rumah sakit. Itu terjadi pada akhir Januari 2014 lalu. Rencana yang kesannya lebih pada gurauan saja ternyata benar-benar menjadi kenyataan yang membawa saya sampai ke Sabang.
Dalam perkembangan rencana kami selanjutnya, saya mengajukan usul kepada teman-teman seperjalanan. Saya ingin kunjungan kami ke Aceh tak sekadar diisi oleh kegiatan wisata saja. Setidaknya ada kesan bermanfaat yang bisa menjadi catatan di momen itu. Usul saya tidak muluk-muluk, hanya minta diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman profesi menulis kepada anak-anak di sana. Mereka langsung menyetujui usulan tersebut dan mulai mencarikan sekolah untuk saya. Sekolah itu ada di Sabang, merupakan kepulauan di seberang Utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesarnya. Nama sekolah itu adalah SD Negeri 1 Sabang.  Dan di sanalah jodoh saya untuk berbagi. Bahagia sekali rasanya....
Di dermaga penyeberangan Ulee Lheue (doc. pribadi)
Singkat cerita, Jum’at pagi itu kami sampai di pelabuhan penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh. Kapal feri yang kami tumpangi telah siap menyeberang menuju kota Sabang. Selain tak sabar ingin melihat Pulau Weh yang katanya eksotis itu, saya diam-diam membayangkan pertemuan dengan anak-anak di sekolah tempat saya akan berbagi ilmu dan pengalaman. Seperti apakah reaksi dan respon mereka melihat kehadiran saya nanti? Begitu yang berulang-ulang terbesit di kepala saya. Tanpa terasa perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 45 menit itu akhirnya berakhir di dermaga Sabang.
(doc. pribadi)
Tibalah hari yang saya tunggu-tunggu, Sabtu, 19 April 2014. Tepat pukul 10.00  waktu setempat, saya dan dua teman lagi tiba di lokasi. Kehadiran saya sudah ditunggu oleh guru dan anak-anak murid di sekolah itu. Kami disambut ramah oleh Pak Ari (guru TIK di sekolah itu) dan salah seorang guru yang saya lupa namanya (maaf banget ya, Bu). Mereka menyampaikan permohonan maaf karena Ibu Kepala Sekolah tak bisa menyambut saya karena ada tugas penting di Banda Aceh.
Tiba di SDN 1 Sabang (doc. pribadi)
Tanpa membuang-buang waktu, kami pun diantarkan ke salah satu kelas yang letaknya di lantai dua gedung sekolah itu. Saya kagum pada sekolah ini karena tak seperti bayangan saya sebelumnya bahwa sekolah yang lokasinya berada di sebuah pulau ini ternyata cukup mapan dan sudah melek teknologi. Di atas meja sudah tersedia infocus. Meskipun tanpa layar, saya cukup senang karena tampilan dari PowerPoint(PPt) yang sudah saya kemas sedemikian rupa akan tetap terlihat ciamik pada pantulan di tembok ruangan itu.
Sambil menunggu semua anak yang katanya berjumlah lebih dari 50 siswa itu masuk ke ruangan, saya menyiapkan buku-buku hadiah dan sumbangan yang akan diberikan kepada sekolah. Siswa yang terpilih untuk mengikuti pelatihan menulis bersama saya terdiri dari murid-murid kelas 3, 4, 5, dan 6. Satu per satu mereka memasuki ruangan dengan senyum semangat.

Perkenalan (doc. pribadi)
 Setelah dibuka oleh guru mereka, saya pun langsung mengambil alih kelas. Seperti biasa setiap membuka kelas saya tak lupa memperkenalkan diri secara fun. Ini saya lakukan untuk memancing perhatian mereka agar tetap fokus hingga akhir pelatihan. Setelah suasana melebur dan saya merasa sudah tersambung dengan mereka, pelan-pelan saya menyajikan tampilan materi tentang dasar-dasar menulis cerita.  
Sambil menjelaskan materi saya tetap menjaga komunikasi dua arah dengan mereka. Dari sanalah saya menemukan bahwa ada salah satu murid yang pernah meraih juara di lomba menulis puisi tingkat kota Sabang. Namun, sedikit miris hati ini ketika saya bertanya tentang buku-buku anak yang pernah mereka baca.
Senang melihat mereka fokus (doc. pribadi)
“Siapa yang senang membaca buku cerita anak?” tanya saya memancing kejujuran mereka. Sesaat ruangan hening. Sekali lagi saya bertanya, barulah ada beberapa yang mengangkat tangan.
“Selain perpustakaan sekolah, di mana kalian mendapatkan buku-buku bacaan itu?” tanya saya lagi mengingat saya tak melihat satu toko buku pun di Sabang.
“Ada Bu, tapi tak lengkap. Kami juga bisa dapat kalau pesan ke Banda,” ujar salah satu siswa dengan logat Acehnya yang kental.
Begitulah, keterbatasan mereka dalam menemukan buku-buku bacaan anak ini membuat saya sedikit galau. Namun, melihat semangat mereka yang begitu tinggi untuk mendapatkan ilmu tentang menulis membuat saya kembali bersemangat berbagi pengalaman. Materi kembali saya lanjutkan. Komunikasi atau materi yang saya sampaikan tidak bersifat searah. Saya tetap meyelinginya dengan interaksi dua arah agar mereka tetap merasa terlibat di dalam kelas tersebut. Salah satu contohnya, mereka saya minta membuat karakter tokoh. 
Salah satu games untuk menguji kreativitas (doc. pribadi)


Yang mendapat hadiah games (doc. pribadi)
Setelah tiga perempat materi tentang menulis cerita hampir selesai, saya mengajak mereka bermain sejenak. Betapa senangnya saya melihat keantusiasan mereka. Semua berlomba ingin terlibat di gamesyang saya sajikan. Meskipun akhirnya tak satu pun dari mereka yang berhasil memecahkan salah satu teka-teki yang saya berikan di games tersebut, wajah mereka tetap ceria untuk terus menyimak materi pelatihan hingga ke sesi akhir.
Tibalah sesi praktik menulis cerita. Dua teman saya yang sejak tadi membantu di dalam kelas membagikan kertas folio bergaris kepada mereka. Saya meminta mereka menuliskan cerita sepanjang satu halaman folio dengan tema bebas. Mereka pun berlomba menuangkan idenya dalam waktu tiga puluh menit.
Semua tekun menulis cerita di sesi praktik (doc. pribadi)
Sebelum waktu habis, satu per satu dari mereka berhasil menyelesaikan ceritanya. Saya tetap meminta mereka bersabar menunggu teman-teman lainnya. Setelah semua tugas telah terkumpul, saya meminta dua teman saya membaca dan menyeleksi untuk menemukan tiga cerita terbaik dengan berpedoman pada kriteria yang telah saya berikan sebelumnya. Sementara teman-teman saya menyeleksi, saya mengajak anak-anak kembali bermain agar mereka tak bosan menunggu pengumuman cerita terpilih.
Games yang bikin anak-anak semangat (doc. pribadi)

Suasana kelas kembali riuh tapi cukup mennyenangkan. Semua anak sangat bersemangat bermain bersama saya. Di akhir permainan saya tetap memilih pemenang dan diberikan hadiah buku cerita karya saya. Serunyaaa!
Tibalah saatnya mengumumkan 3 cerita terbaik dari 57 cerita yang terkumpul. Penulis dan cerita yang terpilih adalah Jihan (Kenangan Terindah dalam Hidupku), Aura (Menyambut Masa Depan), dan Nanda (Belum Cukup Umur). Kepada ketiganya kembali saya berikan hadiah buku cerita karya saya. Selamat yaaa!
Tiga penulis cerita terbaik (doc. pribadi)
Sampai pada sesi yang selalu membuat saya kembali galau. Saya harus mengakhiri kebersamaan kami dengan berat hati karena waktu yang lagi-lagi membatasi. Akhirnya saya berpesan kepada anak-anak untuk tetap semangat menulis serta memperkaya bahan bacaan mereka, karena dari cerita yang baru saja mereka tulis saya yakin bahwa di Sabang ada calon-calon penulis besar yang belum mencuat ke permukaan. 
Penyerahan sumbangan buku-buku bacaan anak (doc. pribadi)
“Ingat... jangan lupa untuk ikut seleksi di Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2014 kalau tahun ini kembali diadakan ya!” pesan saya kepada mereka.
“Iya, Buuu...!” balas mereka serentak dalam semangat yang menyala.
Sampai bertemu kembali anak-anakku...dan tetaplah menulis! [Wylvera W.]


Solusi Cerdas dan Aman untuk Generasi Z

$
0
0
Mereka yang terlahir sebagai Generasi Z (doc. pribadi)
    Sejak SD, anak-anak saya sudah mengenal beberapa peralatan Teknologi Informasi dan komunikasi. Keduanya selain pelajar adalah penulis cilik yang memang membutuhkan keterampilan dalam menggunakan ragam peralatan tersebut. Disamping itu, sebagai anak yang terlahir di era digital, dunia maya selain untuk belajar juga menjadi tempat mereka berselancar demi memuaskan kebutuhan bermainnya. Sebagai orangtua, kami mau tidak mau harus melengkapi kebutuhan tersebut.
Awalnya saya merasa cemas. Melihat begitu mudahnya mengakses beragam konten di dunia maya, rasa khawatir itu kerap mengganggu. Namun, menyadari bahwa anak-anak saya adalah generasi yang terlahir di era digital, sebagai ibu mereka, saya harus terus menggali diri untuk memperkaya pengetahuan di bidang IT ini agar mampu menjadi partner diskusi dan kontrol bagi mereka. Dan, alhamdulillah... hingga saat ini semua berjalan aman.
Begitu pula ketika pertama kali diminta untuk menjadi guru pembimbing kelas ekstrakurikuler jurnalistik di salah satu Sekolah Dasar (tahun 2010), saya langsung terpikir pada istilah generasi digital tadi. Anak-anak yang akan saya bimbing tak jauh berbeda usianya dengan kedua buah hati saya. Mereka lahir di atas tahun '90an yang disebut sebagai generasi digital atau Generasi Z.
Hal pertama tentulah saya sibuk menelusuri seperti apa karakteristik anak-anak Generasi Z ini. Menurut sumber artikel yang saya baca, Generasi Z adalah anak-anak yang lahir dan dibesarkan di era digital. Mereka telah mengenal beragam teknologi yang komplet dan canggih. Mereka adalah generasi digital yang fasih teknologi, memiliki kemampuan tinggi untuk mengakses informasi baik untuk berkomunikasi, belajar, bermain, dan bersosialisasi. 

Lalu, apa hubungannya dengan saya sebagai guru ekskul?Dalam membimbing anak-anak dengan label Generasi Z ini, sebagai guru ekskul jurnalistik dan menulis, saya juga harus banyak belajar agar mampu mengimbangi dan memuaskan keingintahuan mereka tentang teknologi informasi (IT). Saya berusaha terus meningkatkan kemampuan dan pemahaman saya terhadap penggunaan teknologi, khususnya gadget. Tuntutan ini lebih pada tanggung jawab saya sebagai guru. Saya merasa perlu mendampingi murid-murid saya dengan cerdas agar bisa memberi pengarahan kepada mereka. Ketika sedang asyik bersama gadgetnya, mereka tidak terjebak pada kecanduan dan lebih berhati-hati untuk mengakses konten-konten yang tidak sesuai dengan usianya.

Terobosan Cerdas dari Acer
Saya senang sekali ketika melihat info berupa kesempatan yang diberikan Acer untuk me-review terobosan barunya di grup Kumpulan Emak Blogger (KEB). Namanya adalah AplikasiAnak Cerdas. Saya langsung mengunduhnya di Android saya. Meskipun kedua anak saya saat ini sudah remaja (SMP dan SMA), aplikasi ini tetap saya butuhkan. Hal ini sangat terkait dengan upaya saya untuk bisa memberikan informasi yang menggembirakan kepada murid-murid saya.
Anak Cerdas sudah nongol di gadget saya, keren kan? :)
Waktu di kelas yang biasa diisi untuk belajar ilmu dasar jurnalistik dan menulis, saya gunakan untuk berselancar di aplikasi keren Anak Cerdas ini. Saya langsung mengenalkan murid-murid saya (kelas 3, 4, dan 5) kepada aplikasi canggih yang dikeluarkan oleh Acer tersebut. Anak-anak langsung berkumpul dan membuat lingkaran ketika saya membuka aplikasinya di smartphone saya.
Murid-murid saya berebut pengin mencoba aplikasinya (doc. pribadi)
Dengan aplikasi ini, belajar dan bermain bisa lebih menyenangkan karena kontennya sudah disesuaikan dengan umur dan fitur dunia anak serta murni bermuatan edukatif. Anak-anak yang belum mengenal aplikasi tersebut langsung tertarik dan ikut memilih-milih fiturnya. Mereka puas dan ingin meneruskan informasi ini kepada orangtuanya agar mereka bisa ikut menikmatinya di rumah kelak. Wow! Senangnyaaa...!
Anak-anak kelas 3 mencoba soal Sains (screenshot from my android)
Tiba-tiba salah satu murid saya dengan lantang mengatakan, “Wah, aku sih sudah tahu itu. Mamaku download di hapenya waktu itu. Kalau pas bosan mengerjakan soal-soal latihan, bisa buka gamesnya juga lho. Seru banget!” Yang lain jadi bertambah semangat dan seolah tak sabar ingin mengabarkan berita gembira ini ke Papa dan Mama mereka.
Ini beberapa fitur lainnya  (capture from my screenshot)

Sambil membuka fitur-fiturnya, saya menjelaskan kalau mereka juga bisa mengerjakan kumpulan soal untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains sesusai dengan kelasnya (kelas 1 – 6). Semua soal sudah disusun sesuai dengan kurikulum yang ada di sekolah. “Daaan... ssst, ada kunci jawabannya juga lho. Tapi, jangan buru-buru melirik kunci jawaban ya, sebelum berlatih,” pesan saya yang disambut tawa riuh mereka. 

 Testimoni murid saya tentang aplikasi Anak Cerdas

Fitur yang sangat lengkap di Aplikasi Anak Cerdasini membuka terobosan baru bagi mereka si Generasi Digital. Kebutuhan anak-anak Generasi Z ini (khususnya mereka yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar) benar-benar terpuaskan oleh Acer. Para orangtua pun tak perlu lagi terlalu khawatir jika buah hati mereka mulai kecanduan gadget. Aplikasi ini dilengkapi oleh Parental Controlyang akan aktif ketika fitur Zona Anak pada aplikasi dijalankan. Orangtua bisa membantu, membimbing serta mengarahkan kecanduan tersebut kepada hal-hal positif yang dikemas dalam Aplikasi Anak Cerdas sesuai umur buah hatinya. 
Orangtua bisa memantau aplikasi yang akan diunduh oleh anak (capture from my screenshot)
Hadirnya Acer dengan aplikasinya yang keren ini, membuat kita baik sebagai guru maupun orangtua bisa bernafas lega karena aplikasi ini memiliki beragam keunggulan, antara lain;
  •  Tampilannya sederhana tapi keren dan eye catching, sangat menarik buat anak-anak. 
  •  Anak bisa berlatih mengerjakan soal-soal yang sesusai dengan kurikulum di level kelas mereka   (SD) tanpa merasa bosan.
  • Orangtua bisa memilihkan aplikasi yang tepat untuk digunakan oleh buah hatinya serta dilengkapi dengan laporan aktivitas anak selama menggunakan gadget.
  • Aplikasi ini menyediakan menu proteksi dengan password orangtua, jadi tak perlu lagi khawatir.
  • Orangtua bisa memantau perkembangan ananda dalam penguasaan terhadap soal-soal latihan.
Pilihan ini membuat anak menjadi betah dan bersemangat belajar sambil bermain (screenshot from my android)
Selain beberapa keunggulan tersebut, beberapa fitur di aplikasi ini bisa digunakan untuk usia balita. Si kecil bisa berselancar di menu Mari Bermain.

Bagaimana cara menggunakan aplikasi ini?
            Caranya gampang.Untuk aplikasi berukuran 14,39 MB ini, gadgetminimal ber OS (sistim operasi) Android 4.0 ICS (Ice Cream Sandwich), layar 4.7 inch, dan RAM (Random Acces Memory) minimal 512 MB, tinggal mengunduh dengan mengetik key word“Anak Cerdas Acer”. Tunggu beberapa saat, lalu aplikasi pun muncul di gadget kita dan tinggal mengikuti semua petunjuk di sana.
Ingat, kapasitas penyimpanan minimal 1 GB. Koneksi internet harus memadai untuk aktivasi awal, pendaftaran pengguna, download update, membaca artikel “Dunia Tekno”, browsingdan install aplikasi terpilih, pengiriman laporan penggunaan bulanan via e-mail.
Bagi yang tidak memiliki fasilitas Android, tablet/smartphone, bisa meng-install software dengan nama bluestack yang bisa menjalankan seluruh aplikasi OS Android pada PC yang memiliki RAM minimal 2 GB. 
Mau mengenal aplikasinya lebih jauh? Yuk, intip di youtube. 

Acer telah memberikan solusi cerdas dan aman untuk mengeksplore kemampuan akademik dan dunia bermain anak. Lalu, tunggu apalagi? Buruandiunduh ya! []

- Postingan blog ini diikutsertakan dalam lomba blog aplikasi Anak Cerdas kerjasama Kumpulan Emak Blogger dan Acer Indonesia -

Teguran itu Bernama Tsunami

$
0
0

Tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda
Meskipun saya lahir dan dibesarkan di Medan, jangan dikira kalau saya pernah berkunjung ke Provinsi Aceh. Itu sebabnya, setelah seumuran ini ketika ada yang mengajak berkunjung ke sana, hati saya girangnya bukan main. Seperti cerita saya sebelumnya di sini, ide awal dari perjalanan kami ke Aceh bermula dari obrolan iseng di rumah sakit. Ide itu datang dari kakak kelas saat menjenguk anak saya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Rencana itu terucap di bulan Januari 2014. Cukup lama mempertimbangkannya. Setelah semuanya disepakati lewat diskusi panjang, akhirnya kami terbang juga dan tiba di Tanah Rencong. Begitu menjejakkan kaki di bumi yang akrab disebut Serambi Mekah itu, pertama-tama yang terlintas di kepala saya adalah tentang tsunami.
Meskipun banyak informasi tentang peristiwa ini yang tersebar secara rinci dan saya sudah membacanya tapi karena tak melihat secara langsung dan hanya bisa menyaksikannya lewat tivi sehingga rangkaian berita tentang peristiwa mengerikan itu membuat hati saya ingin sekali berkunjung ke Aceh.
Namun, hingga kami dijemput dan langsung berjalan-jalan mengitari kota, sama sekali tidak terlihat bekas-bekas tsunami yang telah meluluhlantakkan sebagian bumi Aceh. “Sekarang semua sudah kembali normal dan tertata, Kak,” begitu ucap Usman, penjemput kami. Hanya lokasi-lokasi yang sudah tertata baik itulah menurut Usman menjadi saksi betapa mengerikannya tragedi itu dulu menghancurkan Aceh.
Di gerbang Kuburan Masal Siron (doc. pribadi)
Di sepanjang perjalanan dari bandara menuju penginapan, Usman sengaja menghentikan mobil jemputan kami untuk menyinggahi pemakaman para korban tsunami Aceh. Kuburan Masal Siron, namanya. Di kuburan yang berlokasi di Jalan Bandara Sultan Iskandar Muda inilah dimakamkan sekitar 46.718 jiwa para syuhada tsunami Aceh. Merinding saya menyimak penuturan Usman tentang mayat-mayat yang dikuburkan di sana. Usman juga bercerita kalau dia ikut mencari mayat kerabatnya waktu itu dan sempat menyisir ratusan mayat yang bergelimpangan pasca tsunami.
            Setelah itu, saya masih belum ingin menutup jejak ingatan pada peristiwa mengerikan itu. Meskipun kami terus melanjutkan jadwal kunjungan di Aceh dengan kegiatan wisata lainnya, saya tetap menyimpan sisa keingintahuan lainnya. Rasanya ingin sekali mendengar kisah itu langsung dari korban yang selamat. 
Di depan Museum (doc. pribadi)
Ternyata keinginan saya terpenuhi. Hari berikutnya kami diajak untuk mengunjungi Museum Tsunami. Di sanalah jejak sejarah memilukan itu tersimpan. Sayangnya museum belum dibuka, sementara kami harus segera berangkat menuju Sabang. Sahabat saya berjanji akan kembali membawa kami ke sini setelah pulang dari Sabang.
Saya tak berkecil hati dan justru merasa terpuaskan ketika niat menelurusi museum sempat tertunda. Keinginan saya yang ingin menyimak langsung tragedi mengerikan  itu terjawab sudah. Salah satu kerabat sahabat saya yang tinggal di Aceh dengan penuh haru mau menyempatkan diri dan berbagi pengalaman memilukan yang pernah dialaminya tentang tsunami Aceh itu. Sambil duduk di atas batu berbentuk bola yang diletakkan di tepi kolam museum itu, dia mulai berbagi ceritanya kepada kami. 

 
Akmal menceritakan pengalamannya (doc. pribadi)

Meskipun dengan suara bergetar dan tersendat, Akmal (begitu namanya) mau mengisahkan ulang apa yang sudah dialaminya. Waktu itu, Akmal merasa maut sudah menjemputnya saat gulungan air setinggi lebih dari lima meter itu mengombang-ambingkan tubuh gempalnya sesaat setelah dia bisa ke luar dari dalam mobil. Sementara penumpang lainnya yang terjebak di mobil tak satu pun yang selamat. Akmal menyaksikan itu dengan mata sadarnya.
Saksi bisu di dalam Museum Tsunami (doc.pribadi)
Nama-nama korban tsunami (doc. pribadi)
Menyimak cerita Akmal, sambil merekam saya bolak-balik menahan napas. Ngeri dan haru berbaur, mencekam. Tak terbayangkan jika saja saya yang mengalami itu. Menurut Akmal, hingga saat ini pun dia sesekali masih susah menghilangkan memori pahit itu. Sampai-sampai Akmal tak mau melihat laut untuk waktu yang lama. 
Kapal yang terdampar di rumah Lampulo (doc.pribadi)
Tidak hanya Museum Tsunami Aceh yang mampu memberi kesaksian, beberapa tempat lainnya masih menyisakan betapa hebatnya bencana itu. Kesanalah akhirnya kami dibawa menyusurinya. Mulai dari kapal yang terdampar di atas rumah Lampulo, PLTD Apung yang tercampak hingga beberapa kilometer dari tengah laut, hingga Mesjid Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh saat badai tsunami menghantamnya menjadi bukti yang menunjukkan kebesaran Allah. 

PLTD Apung yang tadinya berada di tengah laut (doc. pribadi)

Mesjid Baiturrahman yang tetap berdiri kokoh dan indah (doc. pribadi)
 Kembali pada cerita Akmal. Satu yang saya catat dari kata-kata Akmal dan cukup menampar hati saya juga. “Sudah sedemikian dahsyatnya pun Allah menegur saya, tapi hingga saat ini masih saja sesekali saya lalai untuk tekun beribadah. Saya terkadang malu dan merasa sangat berdosa karena sesungguhnya saya sadar bahwa Allah sebenarnya sudah memberi kesempatan hidup kedua untuk saya,” ujarnya tanpa kuat membendung air mata yang meleleh di pipinya.
Begitulah, tsunami Aceh saya yakini sebagai bentuk peringatan Maha Dahsyat dari Allah SWT. Bukan hanya bagi penduduk Aceh tapi untuk semua umat manusia di muka bumi ini. Tapi, mengapa masih ada yang lalai seolah terlupa dengan teguran ini? Termasuk saya. Astaghfirullah. [Wylvera W.]

Rindu itu Membawaku Kembali

$
0
0

Saya, murid ekskul jurnalistik dan, murid Al Falah (dokpri)

            Niat untuk mempertemukan murid-murid saya di ekskul jurnalistik dan menulis Thariq Bin Ziyad, Pondok Hijau Permai, Bekasi dengan anak-anak pemulung, murid PKBM Al-Falah sudah terpendam sejak lama. Selain ingin mengenalkan mereka, anak-anak pemulung itu juga murid-murid saya di pelatihan menulis selama lebih dari setahun ini. Setelah beberapa kali niat itu tertunda akhirnya saya berhasil mewujudkannya. Alhamdulillah....
            Awalnya saya meminta pihak sekolah untuk membuatkan surat izin kepada orangtua agar perjalanan saya dan anak-anak mendapat restu. Pihak sekolah menyambut antusias ide saya dan segera membuatkan surat tersebut. Tetapi karena hari keberangkatan kami bertepatan dengan hari libur anak-anak kelas 1 – 5, maka tidak semua murid saya bisa ikut serta. Dari 19 orang hanya 10 saja yang hadir memenuhi janji pertemuan di sekolah sebelum berangkat ke Bantargebang.
            Niat sudah disetujui, hari sudah ditetapkan, dengan hanya sepuluh murid, saya pun tetap memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Kamis, 22 Mei 2014 pagi itu kami pun berangkat dengan dua mobil menuju PKBM Al-Falah, Bantergebang, Bekasi. Sebagian anak ada di mobil saya, selebihnya bersama mobil jemputan sekolah. Dan, ada tiga orangtua murid yang berjanji akan menyusul untuk membawakan hadiah bingkisan. Saya senang sekali mendengarnya.
Selama di perjalanan, mobil saya yang memandu iring-iringan. Kami berangkat pukul 08.15 waktu Bekasi. Di sepanjang perjalanan anak-anak berbincang dan sesekali bertanya tentang tujuan kami ke sekolah tempat anak-anak pemulung itu.
            “Nanti kita di sana ngapain aja ya, Bu?” tanya salah satu dari mereka.
            “Pertama, ibu akan mengenalkan kalian satu per satu,” jawab saya menunggu respon mereka.
            “Hah! Satu per satu harus ngomong ngenalin diri ya, Bu? Aaah... malu gak ya?” ujar yang lainnya.
            “Kenapa malu? Kalian harus memberi contoh yang baik kepada mereka. Tunjukkan sikap bersahabat agar mereka tak canggung,” begitu saya berujar.
            Keramaian di mobil saya akhirnya tak terasa membawa kami tiba di lokasi tepat pukul 09.10 WIB. Seperti biasa, setiap kali saya berkunjung ke sekolah ini, sambutan hangat dari pihak sekolah dan anak-anak menjadi pembuka yang menyenangkan. Tatapan rindu dari mata anak-anak itu sekilas tertangkap oleh saya. Ya, sudah lebih satu bulan saya tak mengunjungi mereka untuk berbagi ilmu menulis. Meskipun belum terwujud hingga saat ini karena ragam kendala, saya yakin mereka masih menyimpan obsesi agar mampu menulis cerita dengan baik supaya bisa dibukukan. Semoga suatu hari ini bisa terwujud. Aamiin.
Siap mengikuti sesi (dokpri)
            Setelah Pak Khoiruddin mengarahkan anak-anak untuk segera berkumpul, saya pun diberi kebebasan untuk memandu acara. Seperti biasa, salam pembuka dan sapaan hangat saya lontarkan untuk anak-anak hebat itu. Saya jelaskan bahwa kedatangan saya dan beberapa teman mereka dari Thariq Bin Ziyad adalah untuk menjalin silaturahmi. Pertemuan ini juga tidak sekadar berkenalan saja, tapi saya ingin membaurkan mereka dalam kegiatan pelatihan menulis. 
Saya dan murid-murid ekskul jurnalistik TBZ (dokpri)



Sekali lagi, saya menangkap kilatan bermakna pertanyaan di tatapan mata mereka. Saya hanya tersenyum dan membiarkan rasa penasaran itu membuncah agar ketika mereka tahu apa yang akan saya lakukan setelah sesi perkenalan menjadi pemicu semangatnya. Saya pun meminta kepada kesepuluh anak-anak saya dari Thariq untuk memperkenalkan diri. Ada yang dengan lantang dan penuh percaya diri memperkenalkan nama dan pengalamannya selama mengikuti kelas ekskul yang saya bimbing, ada juga yang malu-malu sampai lupa menyebutkan level kelasnya. Hahaha... namanya juga anak-anak, begitulah seninya.
Velda, Aloi, dan Sherina memperkenalkan diri (dokpri)
Sesi perkenalan dari murid-murid Al Falah

Sebaliknya setelah itu, anak-anak Al Falah saya minta juga untuk menyebutkan nama serta kelas mereka. Setelah selesai saya tak langsung melanjutkan ke sesi pelatihan menulis. Saya ingin menguji daya ingat anak-anak Al Falah terlebih dahulu.
“Nah, teman-teman kalian dari Thariq sudah memperkenalkan namanya. Ibu pengin tahu, siapakah yang bisa menyebutkan 10 nama dari mereka dengan benar?” tanya saya yang langsung disambut suara riuh dan bisik-bisik mereka.
“Ibu ada hadiah satu buku hasil karya beberapa dari teman kalian ini,” pancing saya lagi.
Yang dapat hadiah buku (dokpri)
Beberapa saat saya menunggu respon mereka, namun tak satu pun yang berani tunjuk tangan. Akhirnya saya mengurangi jumlah nama menjadi lima saja. Barulah ada yang berani menjawab. Dari 5 nama yang disebutkannya ternyata hanya 4 yang benar. Hadiah buku pun saya berikan kepadanya (aduh, saking ramainya saya lupa namanya).
Senang banget, melihat mereka bisa mendadak kompak (dokpri)
Sampailah pada acara inti dari pertemuan itu. Saya membagi semua anak menjadi tujuh kelompok. Sementara murid-murid ekskul saya masing—masing mengisi kelompok itu. Lima kelompok anak perempuan. Dua kelompok terdiri dari anak laki-laki saja. Saya bahagia sekali ketika mereka akhirnya bisa membaur dan duduk melingkar dalam kelompoknya masing-masing untuk selanjutnya mendengar pengarahan dari saya.
Hahaha, gaya Bu Guru itu gak nahan banget dah!:p  (dokpri)
Saya meminta mereka untuk menuliskan cerita dengan tema yang mereka tentukan sendiri. Cara menuliskannya adalah berantai hingga ceritanya selesai. Saya ingin membuat mereka semakin akrab dan saling berdiskusi. Murid-murid ekskul jurnalistik dan menulis yang lebih banyak mendapatkan ilmu menulis dari saya, saya minta untuk berbagi teknik menulisnya. Selama 45 menit saya melihat semangat kebersamaan dan kedekatan itu semakin tercipta. Terkadang ide untuk menyambung cerita muncul dari murid-murid Al Falah dan begitu sebaliknya. 
"Boleh pakai dialog kan, Bu?" (dokpri)
Lagi serius nih (dokpri)
Meskipun ada yang kesal dan malu-malu karena bingung tak punya ide untuk melanjutkan cerita yang sudah ditulis oleh teman sekelompoknya, namun karena dukungan teman lainnya mereka tetap berusaha dan tidak patah semangat. Apalagi di kelompok anak laki-laki, kelucuan dan keriuhan kerap terjadi. Saya sesekali melepas tawa melihat kelucuan mereka. Kelompok yang memilih menuliskan cerita tentang “Sampah” adalah anak-anak yang paling kocak dan menjadikan suasana pelatihan menjadi ramai oleh celoteh-celoteh lucu mereka.
Wakil kelompok penuliscerita terbaik yang dapat hadiah (dokpri)
Setelah waktu habis, saya pun mereview hasil tulisan mereka. Pertama yang saya bahas adalah kelompok yang menuliskan cerita berjudul “Secret Park”. Mulai dari ide, judul dan alur cerita yang mereka buat begitu menyatu. Padahal cerita itu hasil tulisan dan imajinasi enam orang anak. Saya meminta salah satu dari mereka untuk mewakili memberi kesan dan berbagi teknik menulis ceritanya. 
(dokpri)
Seperti apakah caranya? Chita (salah satu murid ekskul saya) menjelaskan bahwa sebelum menulis mereka ternyata sudah membagi terlebih dahulu bagian-bagian apa yang akan mereka kerjakan. Misalnya tamannya di mana, kapan kejadiannya, siapa nama tokoh utamanya, dan seterusnya. Luar biasa! Itu sebabnya tulisan kelompok merekalah yang mampu menyelesaikan hampir satu halaman folio dalam waktu 45 menit.
Setelah itu saya lanjutkan ke cerita dari kelompok anak laki-laki. Sebelum saya mengomentari, mereka sudah tertawa-tawa karena tahu bahwa kertas folio milik merekalah yang akan saya nilai.
“Hahaha... ini artinya kelompok sampah lebih jago bikin gambar atau ilustrasi,” ujar saya memberi apresiasi pada hasil kerja kelompok mereka. 
Hahahaha.... (dokpri)
Kelompok ini menulis cerita tentang sampah. Meskipun mereka tak sanggup lagi merangkai kata demi kata untuk menuntaskan ceritanya, mereka berusaha membuat gambar sebuah truk pengangkut sampah. Truk sampah itu mereka gambarkan seolah-olah berjalan-jalan mulai dari Bantargebang, Jakarta, Bandung, Jogja hingga kembali ke Bantargebang.
“Iya, Bu. Sampahnya pusing gak bisa nulis lagi!” seru salah satu dari mereka membuat yang lainnya tertawa lepas.
Dapat bingkisan cantik dari Mama Dhanti (dokpri)
Begitulah, akhirnya waktu juga yang kembali membatasi kebersamaan kami. Sebelum berpisah, murid ekskul saya membagi-bagikan bingkisan cantik sumbangan orangtua murid kepada anak-anak Al Falah. Saya berharap agar perkenalan, pertemuan dan kebersamaan mereka dalam berbagi ilmu menulis ini akan menjadi momen yang indah dan berkesan bagi mereka. Dan saya juga berharap agar kegiatan membaca dan menulis hendaknya menjadi bagian dari hari-hari mereka. Tetaplah semangat, anak-anakku! [Wyvera W.]


Menikmati Pasar Tradisional di Atas Air

$
0
0

Menyusuri sungai dengan jukung (dokpri)
            Ketika rencana perjalanan menuju kota Banjarmasin tercetus, saya langsung browsing tentang kota itu. Dari sana saya mengetahui bahwa Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi merupakan pusat perdagangan dan pariwisata. Banjarmasin juga dijuluki sebagai Kota Air. Kota yang dibelah oleh sungai Martapura ini memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakatnya dalam pemanfaatan aliran sungai sebagai sarana transportasi air dan perdagangan. Dari hasil googling inilah saya berkesimpulan bahwa berkunjung ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan tak lengkap jika tak menikmati pasar terapungnya. Maka ketika saya dan mantan Redaksi Majalah Insani tiba, kunjungan ke pasar terapung menjadi prioritas kami.
Selain pasar terapung di Muara Kuin Banjarmasin, pasar terapung lainnya yang dapat kita nikmati adalah di Lok Baintan yang berada di atas Sungai Martapura. Pasar terapung di muara Sungai Kuin dan Barito ini bisa ditempuh melalui dua rute. Kami memilih salah satu rute yaitu dengan menggunakan perahu motor yang mereka sebut dengan jukung (sebutan perahu dalam bahasa Banjar). Harga sewa perahu ini cukup terjangkau. Berkisar antara 50 sampai 70 ribu, tergantung jumlah penumpangnya. 
Matahari masih malu-malu menampakkan diri (dokpri)
Pagi itu selepas subuh dan sebelum matahari muncul dengan sempurna, kami bergegas menuju tepian sungai untuk berperahu ke pasar terapung. Kami tak ingin ketinggalan momen untuk berbelanja di pasar terapung yang biasanya berakhir pada jam sembilan pagi. Udara pagi meyelimuti permukaan air sungai. Sambil menyusuri Sungai Martapura, kami menikmati matahari terbit dan pemandangan di sisi kanan dan kiri sungai. Tangan saya tak mau lengah mengabadikan momen.
Ada rasa heran (norak ya...hehehe) melihat pemandangan di tepian sungai. Di sepanjang tepian sungai itu segala aktivitas penduduk dilakukan layaknya di pemukiman yang ada di darat. Selain rumah-rumah penduduk, di sana juga ada toko kelontong, salon, sekolah, dan praktik bidan. Segala kegiatan penduduk mulai dari mandi, mencuci sampai memasak dilakukan di atas rumah panggung yang di bawahnya mengalir sungai. Jangan tanyakan masalah kebersihan. Itulah yang membuat saya heran bercampur prihatin sebenarnya. Tapi, katanya mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu.
Ragam aktivitas masyarakat di pemukiman atas air (dokpri)
Sambil menikmati pemandangan langka itu, tanpa terasa kami pun tiba di lokasi pasar terapung. Pasar terapung merupakan pasar tradisional yang aktivitas jual belinya berlangsung di atas sungai dengan menggunakan perahu. Pasar terapung di Banjarmasin ini lokasinya di persimpangan Sungai Kuin dan Sungai Barito. Pasar terapung merupakan refleksi budaya masyarakat Banjar yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Unik dan sungguh-sungguh memancing perhatian para pendatang. Bahkan para wisatawan dari luar Indonesia pun tak mau ketinggalan untuk mengunjungi pasar terapung ini.

Keunikan Pasar Terapung, Banjarmasin (dokpri)

Melihat para pedagang yang kebanyakan para wanita dengan menggunakan perahu kecil itu bolak-balik saya menahan napas. Seolah perahu-perahu pembawa barang dagangan mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, ikan segar, hasil kebun, hingga kuliner dan kudapan itu akan bertabrakan dan terguling ke sungai. Tetapi saya lihat para pedagang itu cukup terlatih. Selain menahan napas saya juga berdecak kagum ketika melihat pengemudi perahu adalah para ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Luar biasa gesitnya!
Selain menerima uang dari pembeli seperti kami, keistimewaan pasar terapung ini adalah transaksi barter antar para pedagang berperahu itu. Dalam bahasa Banjar disebut bapanduk. Para pedagang wanita yang disebut dukuh menjual hasil produksinya sendiri. Lalu, pihak kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali disebut panyambangan.
Hampir semuanya ada di sini lho (dokpri)
Kapan lagi saya akan berpuas-puas menikmati jajanan di pasar terapung seperti ini? Selain memborong pisang, kami juga membeli kue-kue sebagai ganti sarapan pagi. Sebenarnya saya ingin sekali menikmati soto Banjar yang juga dijual di atas perahu itu, tapi jarak perahu kami dengan penjualnya tidak memungkinkan. Semoga lain waktu saya bisa kembali untuk lebih berlama-lama memuaskan diri menikmati aneka jajanan yang dijual di pasar terapun. [Wylvera W.]
 

Liebster Award, Tanda Persahabatan dari Saya

$
0
0


            Kemarin saya sempat mengintip sekilas postingan tentang Liebstar Award berantai di grup KEB. Seru juga ternyata menemukan sesuatu yang ingin kita ketahui dari seseorang. Apalagi sesuatu itu begitu unik dan memberi inspirasi bagi kita. Di tengah rasa terkesan ini, tiba-tiba saya menerima Liebstar Award dari Haya Aliya Zaki. Saya yakin (tanpa bermaksud ge-er...qiqiqi), mungkin sebenarnya sahabat saya ini (begitu saya memposisikannya dalam episode kehidupan saya belakangan ini) sudah paham betul dengan segala sesuatu tentang saya. Tapi, saya tetap tersanjung dengan permintaannya melanjutkan Liebstar Award ini. Terima kasih, Haya! Baiklah...here we go!
Foto dari sini

Sebelumnya, kita baca dulu aturan mainnya.
1.     Post award ke blog kamu.
2.  Ucapkan terima kasih kepada blogger yang memberikan awardini kepada kamu dan sertakan linkbackke blognya.
3.     Share11 hal tentang diri kamu.
4.     Jawab 11 pertanyaan yang diberikan kepada kamu.
5.      Pilih 11 blogger lain dan berikan 11 pertanyaan yang kamu ingin mereka jawab.

Inilah 11 hal tentang saya.
1.     Ibu dua anak yang gemar menulis dan berbagi kegiatan lewat blog.
2.   Selalu ingin dekat dengan dunia anak-anak, untuk itulah saya tetap enjoy menulis cerita untuk anak serta menekuni profesi  sebagai guru ekskul jurnalistik dan menulis di sebuah Sekolah Dasar Islam Bekasi.
3.  Suka berkhayal mendapat uang banyak agar saya bisa membeli sebuah lahan lalu mendirikan tempat kegiatan belajar mengajar gratis untuk menampung anak-anak jalanan, anak-anak pemulung, atau anak-anak yang menyimpan mimpi menjadi penulis tapi tak punya uang untuk mewujudkannya.
4.  Sesekali merasa sedih karena merasa bahwa apa yang sudah saya lakukan belumlah maksimal buat anak-anak tak mampu di luar sana.
5.  Penggemar eskrim. Kalau bukan lantaran kolesterol yang mulai mengganggu saya akan menyantap jenis eskrim apa saja. *kunyah belimbing*
6.  Yang ini bukan karena kolesterol. Sejak zaman dahulu kala saya enggak suka sama daging kambing. Hehehe....
7.    Kurang suka bersikeras, baik di medsos maupun di dunia nyata. Saya biasanya memilih mundur ketimbang ngotot-ngototan, kecuali kalau sudah kelewatan banget ya. Kalau memunginkan saya akan ambil jalan komunikasi secara personal dengan orang yang terang-terangan melukai hati saya tanpa seisi dunia harus mendengarnya tapi kalau gak mungkin ya sutralah, berdoa saja semoga ada jalan agar kami bisa kembali berdamai, siapa pun dia orangnya.
8.     Banyak yang bilang saya tipe penyabar dan pemaaf (Alhamdulillah). Memang seperti itulah sesungguhnya. Saya paling nggak bisa mendendam dan marah berkepanjangan, apalagi kalau sudah diajak shoppingdan makan gratis dijamin langsung meleleh. Jiahahahaha...ngarep banget ya?
9.     Suka dijadikan tempat curhat. Curhatan teman-teman itu menjadi pembelajaran juga  bagi saya. Satu lagi, saya jadi ikut belajar mencari solusi layaknya psikolog (yang amatiran sih). Hahaha....
10.  Saya senang menulis tapi nggak begitu getol untuk ikutan lomba-lomba. Sesekali mau, tapi tidak terlalu gencar. Bukan karena nggak tergiur sama hadiahnya atau ingin menguji kemampuan lewat lomba-lomba tersebut, tapi memang begitulah saya. Meskipun saya suka kagum sama teman-teman yang selalu memenangi lomba di medsos, tapi untuk diri sendiri saya tidak begitu terpicu mengikutinya. Saya lebih memilih menulis untuk memuaskan hati lewat cara saya. Mungkin di sini letak kekurangan saya sebagai penulis ya? Kurang eksis di dunia lomba. Nggak apa-apa deh, yang penting saya tetap enjoy menjalani profesi ini.
11.  Sejak mengenal facebook, saya seolah tak bisa lepas dari pesonanya. Maka jangan heran dan maaf kalau jadi bikin bosan yang membacanya ya kalau hampir setiap hari ada update status baru di facebooksaya. Hehehe....

11 pertanyaan yang harus saya jawab.
1.      Sejak kapan ngeblog?
     Sejak akhir 2007 saya sudah aktif di multiply. Waktu itu isi multiply saya hanya seputar artikel-artikel ringan, tentang kegiatan saya dan keluarga selama tinggal di Amrik. Ditambah sedikit tentang dunia menulis karena waktu itu saya bergabung di FLP Amerika Kanada. Setelah multiply tak ada lagi saya beralih ke blog sejak tahun 2011 hingga saat ini.

2.     Apa manfaat ngeblog?
Sebagai terapi jiwa.
Dulu saya kalau lagi sumpek suka curhat di buku diary. Malah sampai sekarang beberapa dari buku diary (zaman SMP/SMA/kuliah) itu masih saya simpan. Dulu juga, saya tipe orang yang nggak pandai curhat sama orang lain. Kalau saya kesal atau marah saya lebih memilih memuntahkannnya di buku diary. Tapi, ternyata waktu sedikit banyak bisa mengubah kebiasaan. Setelah menikah, punya anak, dan umur bertambah, keterampilan lisan saya pun tiba-tiba terasah. Anak-anak menyebutnya “cerewet”. Wuakakaka....
Sejak itu, kegiatan curhat di diary pun terhenti. Lalu, apakah saya lantas curhat di blog? Oh, no! Curhatan saya lebih kepada berbagi tentang kegiatan-kegiatan yang sudah saya lakukan. Mengapa saya mengatakan bahwa ngeblog adalah terapi jiwa? Ya, ketika saya menulis tentang sesuatu lalu pembaca berkunjung serta mengomentari tulisan saya dan menilai apa yang saya lakukan itu bisa menginspirasi mereka, itu menjadi kepuasan tersendiri yang bisa menghangatkan jiwa.
Menambah teman dan wawasan.
Dipercaya jadi pembicara/pemateri karena konten blog.

3.      Hal bahagia atau sedih yang dialami saat ngeblog?
Saya memang tak pernah peduli tentang hal-hal menyedihkan selama ngeblog sehingga saya merasa hampir semua kegiatan ngeblog saya memberikan kebahagiaan? Apalagi saat saya diminta menjadi pemateri di beberapa event pelatihan menulis untuk anak-anak lantaran mereka sempat mengintip konten blog saya yang bercerita tentang kegiatan tersebut. Wuiiih! Bahagia sekali rasanya. Jadi, jujur saja saya memang nggak pernah mengalami hal-hal sedih saat ngeblog. Bagi saya, ngeblog adalah kegiatan yang justru menyenangkan.

4.   Tuliskan tiga tempat yang ingin dikunjungi dan apa alasannya?
           Mekkah.
        Meskipun saya sudah pernah mengunjungi Mekkah saat umroh  beberapa waktu lalu, namun  keinginan untuk menunaikan ibadah haji tetaplah menjadi niatan yang ingin sekali saya wujudkan.
          Keliling Indonesia.
      Saya pencinta batik dan kain-kain nusantara tapi belum memiliki koleksi yang lengkap. Setelah sempat mewawancari salah satu istri Deputi Gubernur Bank Indonesia yang begitu concernpada tekstil Indonesia yang mengoleksi ratusan jenis kain batik beberapa waktu lalu, saya jadi terobsesi untuk mengoleksinya dengan cara berkeliling nusantara tentunya.
         Venezia.
       Alhamdulillah, saya telah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menyinggahi beberapa negara yang bagi saya begitu indah. Namun, kalau masih diizinkan, saya masih menyimpan mimpi untuk bisa mengunjungi Venezia, kota romantis yang hampir seluruhnya dikelilingi air itu. Membayangkan saya, suami dan anak-anak kami menaiki gondola mengelilingi kota menjadi impian yang ingin sekali saya wujudkan.

5.  Apa yang ingin dicapai tahun ini?
    Sudah lama sekali saya dan keluarga tak melakukan perjalanan bersama. Saya ingin sebelum tahun ini berakhir, kami sekeluraga diberi kesempatan untuk kembali melakukan travelingke kota menarik yang ada di luar atau dalam negeri. Satu lagi, saya ingin buku Islami untuk anak-anak yang pernah saya garap bisa terbit di bulan Ramadan tahun ini.

6.   Buku atau film apa yang menjadi inspirasi selama ini?
    Buku cerita anak Trio Detektif (hampir semua judul) karya Alfred Hitchcock, karya Road Dahl, karya Enid Blyton, dan cerita-cerita anak yang unik yang ditulis oleh penulis tanah air. Kalau untuk film anak sih ada beberapa yang sampai sekarang masih melekat di ingatan saya, antara lain Lion King, Brother Bear, dan Finding Nemo yang semuanya mengisahkan tentang pengorbanan dan keluarga. Saya juga suka sama film The Sixth Sense yang mengisahkan tentang anak indigo. Alur ceritanya bagi saya sangat luar biasa. Kalau penonton lain mungkin melihat point of view (POV) film itu dari pemeran anak yang memilki indera keenam, tapi saya justru melihat kehebatan film tersebut dari tokoh utamanya yang ternyata sudah meninggal. Dia bisa berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya lewat media si anak yang memiliki indera keenam itu. Karena penasaran saya akhirnya menulis novel Misteri Anak Jagung yang berkisah tentang anak indigo.

7.    Hobi.
Wisata kuliner, traveling, nonton, daaan... nyanyi *disoraki rame-rame*

8.    Siapa sosok yang menjadi inspirasi?
    Mama, almarhumah Nenek, dan almarhum Kakek. Mereka memiliki karakter yang mirip yaitu penyabar, penyayang, tak pandai marah, sangat mengayomi serta nyaman untuk tempat berbagi cerita.
  Papa dan suami. Karakter mereka yang keras dan tegas menjadi penyeimbang bagi pembentukan kepribadian saya.

9.   Momen paling bahagia?
    Saat saya menerima hadiah umroh gratis dari salah satu sponsor acara. Kebahagiaan itu semakin lengkap ketika suami mau ikut berumroh bersama saya walaupun dia harus membayar karena hanya saya yang diberi tiket dan akomodasi gratis. Umroh berdua dengannya menjadikan momen yang tak terlupakan sampai kapan pun.

10.  Momen sedih?
     Ketika Kakek saya meninggal. Kata keluarga besar dari Mama, saya adalah cucu kesayangan Kakek dan Nenek. Hampir sebagian masa kanak-kanak saya dihabiskan bersama mereka. Saya merasa kebersamaan saya dengan Kakek belumlah cukup. Beliau meninggal saat saya masih kelas 2 SMP.
    Ketika Nenek saya meninggal saat saya masih berada di Amrik. Tiga hari saya tak berselera makan, lemas dan hampir terjatuh di kamar mandi. Betapa sedih rasanya karena saat saya berangkat beliau sempat bertanya, “Bisakah kita jumpa lagi nanti ya? Berapa lama kau di sana?” Lalu, ketika dia sakit dan akhirnya meninggal saya tak bisa melihatnya untuk terakhir kali. Aaah...sediiih.

11.  Dua hal menggambarkan tentang diri saya.
      Penyayang. 
      Ramah.
      Enggak pelit (katanya sih), eiiits kelebihan ya? Biarin ah. 

Tuntas sudah saya menjawab semua pertanyaan. Berikutnya, Liebstar Award saya serahkan kepada 11 sahabat saya lainnya (semoga nggak keberatan ya) dengan pertanyaan yang masih sama (biar saya nggak repot lagi mikir pertanyaannya, qiqiqi). Btw, hihihi ... semoga sebagian nama (para makmin KEB) yang saya colek di bawah ini mau meluangkan waktunya memberi jawaban ya. Etapi kalau nggak ada waktu buat melanjutkannya pun tak apa-apa. Santai saja. Tapiii, kalau mau mengerjakannya ya saya nggak bisa memberi apa-apa selain senyum termanis dan ucapan terima kasih. Terima kasih ya!

1.      Nelfi Syafrina
2.      Fita Chakra
3.      Irma Senja
4.      Alaika Abdullah
5.      Mira Sahid
6.      Indah Julianti Sibarani
7.      Meti Mediya
8.      Waya Komala
9.      Lusiana Trisnasari
10.  Sary Melati
11.  Lydia Fitrian

Pelatihan Menulis untuk Persit Kartika Chandra Kirana

$
0
0

 
Saat menyimak pembukaan acara (dokpri)

            Permintaan untuk memberikan pelatihan menulis di inbox facebooksudah beberapa kali saya terima. Tentu saja saat membacanya ada perasaan campur baur antara deg-degan dan senang. Begitu pula ketika menerima permintaan dari Mbak Rianti Budiman, rasa bangga dan senang itu muncul tiba-tiba. Siapakah Mbak Rianti Budiman ini? Mengapa saya bisa mendapat permintaan untuk memberi pelatihan tersebut? Saya perkenalkan terlebih dahulu ya. Hehehe....
Mbak Rianti yang saya kenal dengan panggilan Tita adalah teman suami saya. Mbak Tita dan suami sama-sama bekerja di Bank Indonesia. Saya sudah lama mengenal beliau, tapi belakangn justru saya baru mengetahui bahwa beliau adalah Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Cabang XL Brigif 15 Kujang II PD III/Siliwangi. Suami Mbak Tita adalah Komandan di sana. Wow! Sebuah kehormatan yang membuat saya menjadi benar-benar tersanjung. Begitu cerita singkatnya.
Begitulah, setelah beberapa kali kami melakukan kontak lewat facebook dan whatsappakhirnya kesepakatan diambil. Pelatihan menulis diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Juni 2014 di lokasi Asrama Brigif 15 Kujang II Siliwangi, Cimahi. Saya pun kembali menyiapkan materi dalam format powerpoint yang berisi penjelasan tentang motivasi menulis, berita, artikel, dan tulisan kisah inspiratif. Ini saya susun berdasarkan informasi yang saya terima bahwa ibu-ibu tentara tersebut ingin mendapatkan keterampilan mengemas tulisan nonfiksi untuk bisa ikut dan percaya diri mengisi majalah internal mereka.
Tibalah hari yang telah disepakati. Saya diantar oleh suami menembus udara pagi yang cerah menuju Cimahi. Perjalanan yang lancar mengantarkan kami tepat pada waktu yang dijanjikan, yaitu pukul 09.00 WIB. Kami disambut dengan hangat oleh Bu Dini, salah satu dari anggota Persit yang sebelumnya menjadi penghubung dengan saya untuk kelancaran acara pelatihan.
Kami diantarkan ke ruang tamu yang begitu nyaman. Di meja telah terhidang camilan dan minuman sebagai pelengkap sambutan yang hangat tersebut. Namun, karena ibu-ibu dari Sukabumi belum hadir (tercegat kemacetan), waktu menunggu saya gunakan untuk berbincang dengan Ibu Wakil Ketua. Kesempatan itu saya pakai untuk menanyakan beberapa hal yang bisa melengkapi referensi saya tentang peserta pelatihan agar tidak terjadi kekakuan.
Pembukaan acara (dokpri)
Setelah peserta pelatihan dari masing-masing utusan perwakilan pengurus Persit Ranting 3 Yonif 310 Sukabumi,  Ranting 4 Yonif 312 Subang, dan perwakilan Persit Ranting 1 Denma yang semuanya merupakan perwakilan pengurus telah berkumpul, saya pun diminta memasuki ruang pelatihan. Lagi-lagi saya merasa tersanjung. Kehadiran saya sebagai pemateri di acara pelatihan menulis ini benar-benar mendapat sambutan yang tertata sedemikan rupa. Terlepas dari panitia adalah ibu-ibu tentara yang telah terbiasa mengemas acara, tetap saja saya merasa benar-benar dihargai dan diperlakukan sebagai tamu yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Luar biasa!
Acara pun dibuka oleh Ny. Tanty Ipa Fauzi selaku MC. Dilanjutkan kata sambutan oleh Ny. Tita Fifin Firmansyah selaku Wakil Ketua Persit KCK Cabang XL Brigif 15 Kujang PD II/Siliwangi. Dalam sambutannya beliau menyampaikan permohonan maaf dari Ibu Rianti Budiman yang tidak bisa hadir karena mengurus kelulusan ananda tercintanya. Selepas itu, sesi pelatihan dibuka pula oleh Ny. Jesicca Riza Taufiq selaku Moderator yang membacakan beberapa hal penting dari CV saya. 
Sesi pelatihan menulis pun dimulai. (dokpri)
Usai Moderator membuka sesi pelatihan, saya pun langsung memandu acara. Seperti biasa saya memberi salam dan perkenalan . Saya ingin agar para peserta pelatihan menulis klik dulu dengan pemateri. Pembukaan harus menjadi permulaan yang menyegarkan dan nyaman untuk peserta dan saya. Joke ringan menjadi umpan sederhana yang selalu saya lakukan setiap kali mengisi pelatihan menulis.
Melihat senyum dan tawa kecil dari ibu-ibu tersebut membuat saya enjoy meneruskan materi pelatihan. Satu per satu slide dari powerpoint yang sudah saya kemas sedemikian rupa pun terpampang di layar infokus. Pertama, saya memberikan motivasi tentang menulis. Berikutnya materi tentang berita dengan contoh-contohnya. Setelah itu, saya lanjutkan dengan mengupas tentang artikel dan contohnya.
Karena materi sangat padat, saya tak ingin ibu-ibu merasa jenuh meskipun setiap kali saya bertanya tentang semangat peserta dan jawabannya selalu “masih”, saya harus tetap menjaga kekonsistenan perhatian mereka. Sebelum melanjutkan materi berikutnya, saya selingi pelatihan dengan games. Benar saja, ibu-ibu menjadi semakin bersemangat dan seolah semua ingin menerima tantangan games dari saya. 
Selamat ya, ibu-ibu! (dokpri)
Dua kesempatan yang saya berikan akhirnya dimenangkan oleh dua orang ibu yang memberi jawaban dengan melengkapi alasan yang paling pas dari pertanyaan semacam teka-teki yang saya ajukan. Saya mengatakan bahwa pertanyaan yang saya berikan keduanya sangat erat kaitannya dengan materi yang saya sampaikan. Ibu-ibu dipancing kreativitasnya dalam memberikan jawaban. Semua jawaban sebenarnya tak ada yang salah sebab menulis bukanlah ilmu matematika, namun dua jawaban yang diberikan ternyata jauh lebih kreatif. Maka merekalah yang mendapatkan hadiah pertama dari saya.
Materi berlanjut ke penulisan kisah inspiratif. Sudah saya duga sejak awal kalau materi inilah yang paling mengena dengan ibu-ibu. Saat memaparkan hal-hal penting terkait dengan tulisan inspiratif, saya merasakan keantusiasan peserta semakin meningkat. Kesempatan baik itu saya ambil untuk kembali melempar guyonan-guyonan segar yang mampu membuat mereka tertawa dan sesekali ikut berkomentar.
“Sebagai contoh saja ini ya, Bu. Misalnya, ibu ingin menceritakan bahwa suatu ketika ibu medengar hape bapak berbunyi tengah malam, sementara bapak telah terlelap. Tiba-tiba ibu ingiiin sekali membuka pesan di hape itu. Dengan mengendap-endap dan dibebani rasa bersalah dan benar, antara dorongan ingin membaca dan tidak, namun akhirnya ibu memutuskan untuk membacanya. Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang ibu membaca sebaris kalimat yang menanyakan, “Mas, sudah tidur ya” di hape bapak, itu menjadi sesuatu ledakan dahsyat yang sulit ditenangkan,” begitu saya memberi contoh yang disambut oleh respon “Geeerrr....” dari peserta.
Dari contoh itu saya dan peserta pun seolah semakin ditautkan oleh semangat kebersamaan. Hahaha... begitulah ibu-ibu pada umumnya. Contoh-contoh yang dekat dengan kehidupan mereka memang menjadi sesuatu yang hangat untuk dibahas. Tapi, materi pelatihan masih terus berlanjut, maka saya sengaja menghentikan contoh bermuatan lelucon yang sudah mampu mengidupkan suasana.
“Maaf, ya ibu-ibu... sampai di sini saja dulu ceritanya. Nanti kita lihat apakah si Wiwin itu benar-benar ada atau tidak,” ujar saya membuat tawa kembali pecah memenuhi ruang pelatihan. Stt, Wiwin yang saya sebutkan adalah nama pengirim pesan di hape si bapak tadi, lho. Hehehe.... 
Sesi praktik (dokpri)
Setelah semua materi telah saya sampaikan, saya masih memberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.  Sesi pelatihan saya akhiri dengan praktik menulis. Saya bebaskan peserta untuk memilih jenis tulisan apa yang ingin mereka kerjakan. Berita, artikel atau kisah inspiratif. Saya berikan waktu setengan jam untuk menyelesaikan tulisan dengan minimal setengah halaman folio. Setelah itu saya meminta waktu sekitar lima belas menit untuk memilih tulisan terbaik. Sambil saya membaca, peserta rehat dan menikmati snacknya.
Inilah enam orang ibu yang tulisannya terpilih sebagai tulisan terbaik. (dokpri)

Tulisan peserta. (dokpri)
Dari 35 tulisan yang terkumpul, terpilihlah 6 tulisan terbaik dengan jenis tulisan yang berbeda. Sejujurnya, semua tulisan yang saya baca bagus-bagus, namun karena hadiah dari saya hanya tersisa 6, terpaksa saya hanya memilih 6 tulisan saja. Setelah pemberian hadiah untuk penulis terbaik ternyata saya juga dapat hadiah dari panitia. Senangnyaaa....
Cinderamata yang cantik. :) (dokpri)
Acara pun ditutup dengan doa dan foto bersama masing-masing wilayah. Tidak sampai di situ, saya juga diberi suguhan makan siang ala prasmanan dengan menu yang serba lezat (duh, nggak sempat ambil fotonya, hehehe).
Foto bersama plus sisipan sesi praktik, hehe. (dokpri)
Akhirnya, menutup semua kebersamaan yang begitu menyenangkan selama kurang lebih tiga jam itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbak Rianti Budiman, Mbak Dini, dan Ibu Tita (wakil ketua) atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya sebagai pemateri di pelatihan menulis ini. Semoga apa yang sudah saya sampaikan dapat dipraktikkan sesuai kebutuhan menulis yang dimaksud. Terima kasih atas kerjasama yang menyenangkan ini. [Wylvera W.]


Hobi Menulis itu Menular

$
0
0


            Saya pikir hanya saya yang asyik sendiri dengan hobi menulis ini. Ternyata, kedua anak saya tertular juga. Lalu, bagaimana dengan suami saya? Meskipun tidak ikut menulis seperti kami, namun dialah yang sedikit banyak merasakan dampak positif dari hobi ini. Hobi menulis ini juga telah membuat saya dan buah hati berhasil menerbitkan karya lewat buku. Meskipun tak seberapa nilainya, setidaknya kami telah memberi sumbangsih di dunia perbukuan. Bangga dan bahagia tentu saja menjadi puncak rasa dari semua yang saya lakukan.
Kecintaan saya pada kegiatan menulis sebenarnya sudah dimulai sejak SD. Namun, rasa cinta itu hanya sebatas menuangkan ide dalam tulisan semacam puisi, cerpen, dan catatan-catatan harian saja. Tak ada yang tahu kalau saya melakukannya. Semua sebatas untuk kenikmatan sendiri. Hingga akhirnya saat kuliah, tulisan saya berhasil menembus koran lokal di kota kelahiran saya, Medan. Sejak itu saya baru tahu betapa nikmatnya jika hobi itu bisa menghasilkan sesuatu (uang dan kepuasan batin). Bukan hanya saya yang merasa bangga, kedua orangtua saya juga turut merasakannya kala itu.
Cerpen pertama saya yang terbit koran Analisa, Medan (1992) - dokpri
            Meskipun hobi menulis ini sempat vakum selama bertahun-tahun setelah saya menikah, namun di tahun 2008 saya berhasil melahirkan karya berupa buku bacaan anak. Inilah starting point buat saya. Sejak itu, saya tak lagi melakukan kegiatan menulis sebagai sekadar hobi, melainkan saya berani mengatakan bahwa profesi saya sudah bertambah, selain ibu rumah tangga, saya adalah penulis.
Buku pertama saya yang terbit di tahun 2008 dan karya lainnya ada di sini- dokpri
            Awalnya tentu saja pilihan menambah profesi baru ini tak serta-merta mendapat simpati 100% dari suami dan anak-anak. Saya merasakan kalau apresiasi yang mereka berikan ketika itu hanya sebatas rasa senang karena saya berhasil punya karya berupa buku. Sebatas itu. Sebaliknya saya melihat kecemasan di mata mereka seolah profesi baru ini akan menyita waktu saya bersama mereka. Kekhawatiran itulah yang perlahan saya buktikan bahwa profesi penulis tak akan merenggut waktu saya dari mereka. Saya tetap ada untuk mereka.
Saya berjanji dalam hati bahwa saya akan memberikan manfaat ganda sekaligus kepada mereka. Pertama, saya tetap menjadi istri dan ibu yang setia melayani semua kebutuhan mereka. Kedua, saya akan memberikan nilai lebih untuk mereka lewat karya-karya saya. Dan itu sudah saya buktikan. Melalui hobi dan profesi menulis ini saya juga menuai beberapa reward. Saya dipercaya mengajar di salah satu sekolah, didaulat menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah internal, diminta untuk memberikan pelatihan menulis di beragam kesempatan, serta memenangkan lomba menulis di blog dan media lain. Semua itu menjadi momen membanggakan bagi anak-anak dan suami. Begitu juga sebaliknya, saat anak-anak saya berhasil menyelesaikan satu cerita dan diterbitkan dalam bentuk buku, saya dan suami yang kecipratan rasa bangga itu.
Ini buku-buku si Sulung - dokpri
Ini buku-buku si Bungsu - dokpri
Pemicu penularan hobi ini awalnya sangat sederhana. Begitu anak-anak saya tahu kalau saya mendapatkan royalti dari buku-buku saya, mereka berlomba ingin mengikuti jejak saya. Alhamdulillah, anak sulung saya sudah berhasil menuangkan ide-ide kreatifnya lewat beberapa buku karyanya. Sementara si bungsu masih terus berproses untuk menambah karya lagi setelah terakhir menerbitkan karya dalam bentuk komik.
Begitulah, hobi menulis yang menular ini semakin mengikat kami dalam kebersamaan. Saya dan anak-anak menulis, suami menjadi komentator pada karya kami. Kami sangat menikmatinya. []
 
 Artikel ini diikutsertakan dalam "3rd Giveaway : Tanakita - Hobi dan Keluarga"

Indonesia Bukan Hanya Bali

$
0
0
dokpri

Lahir di Indonesia dan dibesarkan oleh kedua orangtua yang juga asli Indonesia, membuat saya tak bisa melupakan kodrat sebagai anak Indonesia. Apalagi lidah saya tak begitu fasih berbahasa Inggris, mana mungkin saya bisa berpura-pura menjadi orang bule.Tapi, ketika saya pernah merasakan tinggal dan singgah di negara empat musim, sempat terbesit godaan membanding-bandingkan Indonesia. Untunglah, saya masih bisa merasakan bahwa banyak hal yang membuat saya merasa jauh lebih nyaman bermukim di Indonesia. Godaan itu bisa ditepis.
Mendapat kesempatan tinggal di negara empat musim memberi saya ragam pengalaman. Di Amerikalah saya banyak belajar tentang perbedaan.  Mulai dari beradaptasi dengan cuaca sampai  dengan membiasakan diri bersosialisasi dengan mereka yang non-Indonesia. Apa pun yang saya rasakan selama bermukim di sana tetap membuat saya tak bisaberpaling dari rasa cinta pada tanah air saya. Selama hampir dua puluh bulan hidup di Amerika dengan segala kemudahan dan kenyamanannya, tidak lantas membuat saya sinis pada tanah kelahiran saya.

Kenangan di tempat kursus.
            Berbagi cerita tentang kecintaan pada Indonesia membuat saya teringat kenangan di tempat kursus. Ketika tinggal di Urbana - Illinois, saya yang selalu aktif saat di tanah air, tak bisa hanya diam menghabiskan waktu di apartemen. Waktu kosong yang tidak mengganggu tanggung jawab saya sebagai istri dan ibu tentulah saya manfaatkan untuk hal-hal positif. Selain mencoba-coba resep masakan, ikut pengajian ibu-ibu Indonesia yang juga tinggal di sana, mengembalikan hobi lama tentang menulis, saya juga mengambil kesempatan kursus Bahasa Inggris gratis. 
Teman-teman di tempat kursus (dokpri)
            Di tempat kursus bahasa Inggris inilah saya bersentuhan dengan ragam budaya. Murid-murid yang mengikuti kursus berasal dari beragam bangsa dan negara. Ada yang dari Korea, Cina, Turky, Jepang, Arab, Pakistan, Bangladesh, dan lainnya. Sudah menjadi tradisi si guru, jika memulai kelas baru, beliau meminta murid-muridnya untuk memperkenalkan diri. Ini yang membuat saya langsung fokus untuk mendengarkan teman-teman sekelas saat mereka memperkenalkan negara asalnya. Mereka begitu bangga menyebut kelebihan dan daya tarik dari negaranya.
Sambil menunggu giliran jantung saya berdegup kencang. Saya sempat bingung ingin memulai dari mana untuk mengenalkan Indonesia kepada mereka. Mau tak mau akhirnya saya maju juga. Dengan sedikit gugup saya mengawali perkenalan dari kota kelahiran saya, lalu berpindah ke Jakarta dan akhirnya ke Bekasi. Saat itu, tiga kota inilah yang menurut saya paling pas untuk saya kenalkan kepada mereka sebab di Medanlah saya lahir, di Jakarta saya memulai kehidupan baru berumah tangga, dan di Bekasi akhirnya saya menetap hingga saat ini.
Sambil berbicara di depan kelas, saya memberanikan diri menatap mata mereka. Diam-diam saya ingin melihat apakah mereka paham dengan bagian kecil dari Indonesia yang telah saya paparkan. Ada yang mengangguk-angguk dan ada pula yang menatap bingung. Jujur saja, saat menatap beberapa pasang mata yang bingung itu, tiba-tiba saya terbayang pada kata korupsi, tragedi ’98, bom dan isu teroris yang sempat membuat Indonesia menjadi perhatian banyak negara di dunia. Tiba-tiba saja saya ingin segera buru-buru kembali ke tempat duduk untuk mengakhiri sesi perkenalan, tapi saya harus menyelesaikan perkenalan itu.
Saat jam istirahat, beberapa teman menghampiri saya. Awalnya mereka ingin melanjutkan perkenalan lebih dekat. Salah seorang menjabat tangan saya sambil mengatakan bahwa dia hanya tahu Indonesia itu adalah Bali. Wow! Betapa terperanjatnya saya. Pantas saja tadi dia menatap bingung saat saya sebut Medan, Jakarta, dan Bekasi. Selanjutnya, tanpa sadar saya begitu bersemangat menjelaskan apa yang belum mereka ketahui.
Setelah itu, saya benar-benar yakin bahwa kemampuan saya untuk menjelaskan bahwa Indonesia itu terdiri dari banyak provinsi yang tak kalah indah dari Bali adalah bentuk dorongan rasa bangga saya pada Indonesia. Namun sesaat kemudian, tanpa saya duga, dia pun bertanya tentang isu teroris, korupsi, dan hal lainnya yang saya jawab dengan sangat hati-hati.
Tak bisa dihindari, ternyata sisi negatif tentang Indonesia juga menjadi pertanyaan mereka. Untungnya, tak lagi ada rasa cemas seperti ketika saya berdiri di depan kelas sebelumnya. Saya jelaskan beberapa hal terkait dengan itu lewat bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Yang terpenting bagi saya, mereka bisa memahami penjelasan saya. Obrolan kami akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa suatu saat nanti mereka ingin berkunjung ke Indonesia dan menjelajah tempat-tempat indah yang sudah saya sebutkan.Wah! Diam-diam saya senang mendengar janji mereka. Itu artinya saya berhasil.

Seperti apa bentuk tanda cinta saya terhadap Indonesia?
Saya sadar kalau sebenarnya saya belum melakukan apa-apa untuk negeri ini. Apalagi setelah mengingat kejadian di tempat kursus itu, saya menyimpulkan bahwa mungkin saya sendiri belum begitu meyakinkan di mata teman-teman sekelas saat bercerita dan mengenalkan Indonesia. Saya belum maksimal memperkenalkan negeri tercinta ini kepada mereka hanya karena rasa ketakutan yang sempat mengganggu, sehingga masih saja ada yang hanya mengenal Indonesia adalah Bali. 

Mereka juga harus tahu Pulau Tangkil itu ada di Lampung 'kan? (dokpri)


Dan Pulau Klah itu ada di Sabang (dokpri)
Dari pengalaman di tempat kursus tadi - terlepas dari segala permasalahan yang pernah atau sedang terjadi di Indonesia - sebagai wujud dari bentuk rasa cinta, saya tetap merasa punya tanggung jawab untuk mengenalkan negeri saya. Mulai dari ragam provinsinya, kekayaan dan keindahan alamnya, keragaman kulinernya serta terutama adalah tentang keramah-tamahan penduduknya yang mungkin tak dimiliki oleh negara lain, sehingga tak ada lagi yang mengatakan bahwa, “Selama ini saya tahu Indonesia adalah Bali.” Atau setidaknya, meskipun tak terlihat porsinya, saya wajib ikut meminimalisir pandangan negatif terhadap negeri tercinta ini karena masih banyak sisi positif yang perlu mereka lihat dari Indonesia selain hal-hal miring yang mereka ketahui. 

Atau Danau Toba di Pulau Sumatera (dokpri)
Akhirnya, seperti apa pun kondisi negeri ini, saya masih tetap menjadi bagian darinya.Ke negara manapun yang sempat saya singgahi, Indonesia tetap sebagai negeri yang paling tepat untuk saya berpijak. Saya tetap peduli dan merasa bangga menjadi rakyat Indonesia. [Wylvera W.]


http://abdulcholik.com/2014/07/01/kontes-unggulan-aku-dan-indonesia/

Tak Harus Menunggu Kaya

$
0
0


http://emakgaoel.blogspot.com/2014/07/kontes-semangat-berbagi-blog-emak-gaoel.html?showComment=1405520752448#c2620659663408839798

Mengisahkan sosok yang menghabiskan sebagian waktu serta rezekinya untuk mereka yang membutuhkan adalah sesuatu yang membuncahkan rasa hormat sekaligus haru dalam diri saya. Apa yang telah mereka lakukan setidaknya mampu memicu hati saya untuk belajar mencontohnya. Insya Allah.
Selama ini ada beberapa nama yang saya kenal baik. Pertama, Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, pemilik Yayasan Ummu Amanah - PKBM Al Falah Bantar Gebang, Bekasi, yang biasa saya panggil dengan Mbak Sari. Semangatnya yang luar biasa. Selama bertahun-tahun beliau tak segan-segan berkubang aroma sampah demi mengumpulkan anak-anak pemulung untuk disekolahkan. Dan sekolah itu telah berdiri serta berjalan hingga saat ini dengan modal awal yang dikumpulkannya sendiri.
Sari bersama keluarga pemulung di Bantar Gebang, Bekasi (dokpri)
Kedua, Suci. Ibu muda yang ikhlas menyisihkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk anak-anak di penjara. Anak-anak Lapas Tangerang selalu memanggilnya dengan sebutan sayang “Bunda Suci”. Beliaulah yang membuat saya ikut tergerak untuk berbagi ilmu menulis di lapas tersebut. 
Bunda Suci, saya, KaLapas dan anak-anak Lapas. (dokpri)
Sosok ketiga yang hingga saat ini mampu membuat hati saya bergetar setiap kali berkunjung ke kediamannya di daerah Pondok Cabe, Tangerang. Beliau adalah pendiri dan pemilik Panti Asuhan Al Munasharoh. Usianya sudah mendekati 90 tahun. Sejak tahun ‘70-an hingga menjadi janda veteran saat ini, Ibu Hanani masih setia menampung dan memberi harapan hidup kepada anak-anak yatim piatu dan sekaligus menyediakan tempat tinggal untuk mereka. Sayang saya tak punya foto beliau dan anak-anak yatim tersebut, sebab setiap kali mengunjunginya kami tak sempat terpikir untuk berfoto bersama. 
Untung saya masih menyimpan data anak-anak yang ditampung Bu Hanani. (dokpri)
Ketika Mak Winda Krisnadefa mengadakan lomba di blognya dengan judul postingan, “Kontes Semangat Berbagi Blog Emak Gaoel Bersama Smartfren” khusus di bulan Ramadan ini, saya tertarik untuk ikut menggaungkan kiprah sosok-sosok di atas yang sudah saya kenal baik selama ini. Merekalah yang menjadi pembuka inspirasi saya untuk memaknai arti kata “BERBAGI”. Namun akhirnya, di kesempatan Ramadan ini saya tak jadi menuliskan kisah mereka yang mungkin sudah banyak diliput oleh media (kalau penasaran, coba search saja di googleatau boleh klik tautan yang sudah saya berikan di atas).
Kali ini saya ingin mengangkat sosok yang sangat sederhana dan mungkin hanya saya yang tahu kiprah dan semangatnya untuk berbagi. Dia hanya ibu rumah tangga biasa dengan kehidupan ekonomi yang juga sangat biasa-biasa saja (baca: pas-pasan). Saya mengenalnya karena kami tinggal di lingkungan yang sama di Perumahan Bumi Bekasi Baru Rawa Lumbu, Bekasi. Selama ini saya tak pernah mengetahui kalau teman saya yang periang dan senang membuat orang tertawa ini punya kebiasaan terpuji. Pembawaannya yang easy going mampu mengecoh pengamatan saya selama ini. Luar biasa!
Mbak Dewi dan paket Ramadan yang siap dibagikan. (dokpri)
Beberapa bulan yang lalu, akhirnya saya tahu kalau dia sudah lama membiasakan diri menyisihkan sebagian rezekinya yang tak seberapa itu (bahkan setahu saya, dia justru kekurangan) untuk fakir miskin.
“Bisa minta waktunya sebentar, Kakak cantik?” tanyanya waktu itu lewatpesan di hape. Dia selalu memanggil saya dengan sebutan yang selalu membuat saya tersenyum semringah.
“Ada apa Mbak?” balik saya bertanya.
Mulailah dia bercerita tentang kegiatannya selama ini. Dia menanyakan apakah saya mau ikut berbagi memberikan nasi kotak untuk pengemis di jalanan, pemulung, tukang-tukang becak, dan siapa saja yang layak diberi. 
Ketika saya tanya, sejak kapan ide itu muncul, dia tersenyum.
“Alhamdulillah sudah lama, Kakak. Saya segan mengajak. Takut mengganggu,” ujarnya.
Diam-diam hati saya justru tertohok. “Takut mengganggu”. Dua kata yang membuat saya benar-benar tertampar. Tak pernah terpikir oleh saya untuk melakukan hal yang sama yang telah dijalankannya selama ini. Subhanallah, niatnya sungguh mengetuk nurani saya.
Kembali kepada kesempatan yang telah dibuka oleh Mak Winda di kontes semangat berbagi inspirasi ini, saya akhirnya mantap memilih sosok Dewi Retnawati. Perempuan kelahiran 10 Maret 1966 ini awalnya keberatan jika saya mengekspose kegiatan kemanusiaannya ke publik. Alasannya sangat sederhana.
“Janganlah, Kakak cantik. Saya takut pahalanya nanti menguap. Biar Allah saja yang menilainya. Saya 'kan bukan seleb,” ujarnya nyaris mematahkan niat saya untuk meneruskan membagi kiprahnya. Namun, saya berusaha meyakinkannya bahwa ini semata-mata untuk berbagi inspirasi. Semoga tak dinilai sebagai riya. Alhamdulillah, akhirnya dia memberikan kepercayaan kepada saya.
Inilah serangkaian kegiatan berbagi yang dilakukan Mbak Dewi di Bekasi. (dokpri)
Kemarin saya sengaja bertandang ke rumahnya. Mulut saya ternganga. Saya melihat tumpukan paket yang terdiri dari makan kemasan dan minuman. Paket-paket itu akan diberikan kepada anak yatim, para janda yang tak memiliki mata pencaharian tetap, tukang becak dan siapa saja yang dianggapnya layak untuk dibagi di seputar tempat tinggal kami. Dari uang sebagai honorer selama bekerja di Rumah Sakit Awal Bros, Bekasi yang diterimanya, ditambah THR (Tunjangan Hari Raya) yang tak seberapa jumlahnya, Mbak Dewi kembali menyisihkannya untuk kepentingan beramal. 
“Alhamdulillah, kebetulan ada rezeki sedikit di bulan puasa ini. Nggak harus nunggu kaya ‘kan, Kakak?” ujarnya bercanda menahan senyum, lagi-lagi menohok jantung saya.
“Saya selalu berdoa kalau saya meninggal nanti, ini bisa membantu meringankan dosa-dosa saya,” lanjutnya membuat dada saya mendadak sesak.
Betapa saya kesulitan menahan airmata. Memang benar, Mbak Dewi bukanlah sosok yang kaya dan serba berkecukupan. Bahkan beberapa tahun lamanya dia pernah menjadi single parent dari tiga orang anak yang semuanya laki-laki. Dengan segenap tenaga yang dia miliki, Mbak Dewi berusaha menghidupi diri dan ketiga anaknya dengan penghasilan yang tak seberapa. Rumahnya pun masih mengontrak hingga saat ini. Dia juga tak pernah mementingkan mengisi rumahnya dengan barang-barang seperti seperangkat sofa yang bagus, tempat tidur yang nyaman atau lemari hias yang bisa dipajang di ruang tamunya yang terkesan kosong itu. Bahkan setelah dia menikah lagi tahun lalu, keadaan tetap tak mengubah kesederhanaannya.
“Duh... malu bilangnya,” ujarnya tiba-tiba memenggal kalimat.
“Kenapa, Mbak?” cecar saya penasaran dengan kalimat menggantung itu.
“Hum... saya sebenarnya malu kalau diam-diam sering bilang kepada Allah, kalau saya nggak mengeluh dengan kondisi saya. Justru saya senang karena dengan kekurangan saya ini Allah masih memberi kesempatan untuk bisa berbagi. Saya suka takut minta ke Allah,” katanya lagi semakin membuat saya berusaha keras mengerjapkan mata agar airmata saya tak meleleh. 
Saya dan Mbak Dewi di antara tumpukan paket Ramadannya. (dokpri)
“Kalau nanti saya dan anak-anak kembali kepada-Nya, penginnya kami diberi tempat kecil yang nyaman di sana,” katanya dengan suara bergetar.
Begitulah, sosok Dewi Retnawati yang sederhana telah saya masukkan juga ke daftar teman yang mampu menginspirasi saya tentang kata “berbagi”. Semoga hal sangat sederhana (menurutnya) yang telah dia lakukan ini juga mampu menginspirasi pembaca postingan ini. Sebab, tak perlu menunggu kaya untuk bisa berbagi. [Wylvera W.]



Kejutan dari Ibu

$
0
0


 
Cerpenku di Majalah NooR edisi Maret 2014
             Dulu aku mengira bahwa ibuku tak akan pernah terlibat di dunia social media. Ibuku adalah wanita rumahan yang enggan bersentuhan dengan teknologi. Ini yang membuatku terkejut ketika semuanya berubah. Ternyata semua bermula dari sebuah hape hadiah ulang tahun dari suamiku.
            “Tia, aku ingin sekali memberikan hadiah ulang tahun buat Ibu,” ujar suamiku suatu hari.
            “Hmm... tidak ada hadiah lain yang lebih spesial kah?” tanyaku mencoba mengubah pikiran suamiku tentang hadiah ulang tahun untuk Ibu.
            “Lho, bukannya hape itu sungguh spesial?” balasnya bertahan pada keinginan awal.
            “Iya, tapi buat Ibu rasanya lebih baik kita membelikannya bahan baju, tas atau pernak-pernik rumah. Bukankah itu lebih bermanfaat?” ujarku lagi masih berusaha menukar bentuk hadiah yang dipilihkan suamiku.
            “Itu terlalu mainstream ah. Apa sih salahnya kalau kita membelikan Ibu hape? Selama ini aku tak sekalipun melihat Ibu menggunakan gadget itu,” kata suamiku mulai ngotot.
            “Oke...oke, kalau itu sudah menjadi pilihan Abang, ya sudahlah aku menurut saja,” ujarku akhirnya mengalah, meskipun dalam hati aku masih kurang sreg. Aku khawatir kalau Ibu kurang suka dengan hadiah itu.
            Kekhawatiranku tak benar. Ibu begitu girang ketika membuka bungkusan kado dari kami. Matanya berbinar dan senyum merekah di bibirnya yang selalu polos tanpa pewarna itu. Aku senang melihat ibuku puas menerima kado ulang tahun pilihan suamiku.
            “Ah, kalian seperti tahu apa yang selama ini Ibu inginkan,” ujar Ibu dengan rona merah di pipinya.
            “Ini pilihan Bang Haris, Bu,” ujarku seraya melirik suamiku yang spontan menggerakkan matanya. Dia seolah puas dengan keputusan memilih hadiah ulang tahun untuk Ibu.
            Hingga hari ini, sudah lebih dari setengah tahun  Ibu memiliki hape. Dari hari ke hari aku mulai melihat perubahan di sikap Ibu. Bicaranya pun mulai berubah. Ibu mulai sering menyebut-nyebut e-mail, password, facebook, blog, dan chatting. Kulihat Ibu semakin sibuk menggunakan hapenya. Tidak hanya saat di dapur, bahkan sedang berada di kebun bersama tanamannya pun Ibu seolah tak bisa lepas dari hapenya.
            “Tia, besok kau ada acara?” tanya Ibu memupus lamunanku.
            “Enggak ada, Bu. Ada apa?” tanyaku berbalik.
            “Antarkan Ibu ke acara seminar ya,” balas Ibu membuat mulutku menganga.
            “Hah? Seminar? Seminar apa? Memang Ibu diundang?” tanyaku tak percaya.
            “Kalau tak diundang, tak mungkin Ibu minta diantarkan,” jawab Ibu santai.
            “Oke, aku akan antar Ibu. Tapi, seminar apa dan di mana?” tanyaku lagi berubah penasaran.
            “Seminar tentang Perempuan dan Teknologi. Di Jakarta acaranya,” jawab Ibu.
            “Oh, oke...besok aku antar Ibu ke sana,” timpalku belum juga terbebas dari rasa penasaran melihat perubahan pada Ibu.
            Aku tak lagi meneruskan pertanyaan. Hanya mataku yang semakin terheran-heran melihat Ibu. Sambil sesekali memperhatikan gerak-geriknya, aku berniat meneruskan pekerjaan kantor yang tertunda kemarin. Aku sibuk mencari laptopyang biasa kuletakkan di atas meja ruang kerjaku dan suami. Selama ini yang suka masuk ke dalam ruangan itu hanya Mpok Atun. Itu pun karena dia ingin membersihkan ruangan saja.
            “Kau mencari apa?” tegur Ibu mengejutkanku.
            “Laptop,” jawabku singkat sambil menarik beberapa laci.
            “Oh, maaf... semalam Ibu pakai dan lupa mengembalikannya,” lanjut Ibu lagi.
            Badanku yang tadinya membungkuk sambil membuka laci, sontak tegak memandang Ibu. Aku tak percaya kalau Ibu bisa menggunakan laptopku. Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, Ibu buru-buru ke luar dari ruang kerja dan sekejap kemudian sudah kembali dengan laptop di tangannya.
            “Ini, ibu kembalikan,” ujar Ibu dengan memamerkan senyum penuh teka-teki di bibirnya yang tak terlalu tipis.
Lagi-lagi Ibu ke luar dengan terburu-buru dari ruang kerjaku. Rasa penasaran yang sejak tadi mulai membumbung membuatku tergesa-gesa menyalakan laptop. Aku menunda meneruskan pekerjaan kantor. Yang pertama ingin kulihat adalah akun facebookku. Dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya. Semua itu hanya karena aku ingin membuktikan sesuatu.
“Wah...benar saja. Bukan hanya menggunakan hape, ternyata ibuku juga sudah piawai membuka akun facebook.
Ibu meng-add aku untuk bergabung di friend list nya. Aku langsung mengonfirmasi ajakan pertemanan itu. Aku ingin melihat sosok ibuku di facebook. Mataku bolak-balik terbelalak melihat postingan-postingan Ibu di wall-nya. Ibu tak hanya menuliskan kata-kata indah di dinding akun facebooknya. Ibu juga memajang hasil rajutan dan tanamannya. Lalu yang semakin membuatku terkejut, lebih dari dua puluh hasil kreasi Ibu di dapur terpajang dengan cantik di koleksi foto-fotonya.
Keterpanaanku tak berhenti sampai di situ. Ibu mengumumkan bahwa dia jiga memiliki blog tempatnya menuangkan catatan lebih banyak tentang semua hasil kreasinya selama menjadi ibu rumah tangga. Dari sanalah Ibu mendapatkan undangan resmi tentang seminar yang besok akan dihadirinya. Keterkejutanku seolah belumlah usai. Aku masih harus menunggu besok.
*
“Ibu sudah siap. Mari kita berangkat,” ajak Ibu membuatku tak bisa berkedip memandangnya.
“Ibu cantik sekali,” puji suamiku tulus sambil melirik ke arahku.
Suamiku memang sangat menyayangi Ibu. Sejak aku menikah dengan Bang Haris, dia sudah berstatus sebagai yatim piatu. Itu sebabnya, dia mengajak Ibu tinggal bersama kami setelah ayahku meninggal lima tahun lalu.
“Hei...melamun!” tegur Ibu sambil mencubit pelan lenganku. Aku diam dan mengikuti mereka menuju mobil.
Perjalanan kami menuju kawasan Sudirman hening. Kami terhanyut oleh pikiran masing-masing. Aku tak tahu apa yang sedang dilamunkan Ibu dan Bang Haris. Sementara aku masih terus menyimpan rasa penasaran menjelang acara seminar yang akan dihadiri Ibu.
Kami pun tiba di depan para penyambut tamu. Aku dan Bang Haris tak ingin melepas Ibu begitu saja. Kami ikut mengantarkannya sampai ke depan meja tamu.
“Selamat datang Bu Ilham. Silakan mengambil tempat yang sudah disediakan panitia,” sambut penerima tamu memperlakukan Ibu seolah tamu terhormat.
Ketika aku dan Bang Haris ingin berpaling meninggalkan Ibu menuju ruang seminar, Ibu memegang lenganku.
“Undangannya bukan hanya untuk Ibu. Kalian berdua boleh ikut masuk,” kata Ibu membuatku refleks memandang Bang Haris. Wajahnya tak sedikitpun menunjukkan sikap terkejut melihat perubahan pada Ibuku.
Akhirnya aku mengikuti Ibu menuju ruang seminar. Aku kembali terkejut melihat beberapa orang yang berpakaian serupa sibuk menyambut kedatangan Ibu.
“Selamat datang Bu Ilham. Sebentar lagi acara akan kita buka. Ibu bisa duduk di depan. Semoga pesan kami semalam tak membuat Ibu keberatan sebab sesi Ibu menjadi naik ke urutan pertama acara,” ujar perempuan berkebaya putih itu memberi penjelasan yang membuatku semakin tak menemukan kejelasan.
Kami pun terus mendampingi Ibu menuju deretan bangku terdepan. Aku tak bisa berkata-kata lagi ketika melihat tulisan di atas roundtable bertuliskan, “Pembicara”. Ternyata ibuku adalah salah satu pembicara di seminar yang melibatkan para perempuan yang melek teknologi ini.
“Sudah...rasa heran dan terkejutnya disimpan saja, Tia. Suamimu ini yang telah banyak mengajari Ibu tentang gadget dan melibatkan diri di jejaring sosial. Kalau bukan karena hape hadiah ulang tahun yang dipilihkannya waktu itu, tak mungkin Ibu sampai sejauh ini,” bisik Ibu membuatku spontan membesarkan klopak mata ke arah Bang Haris.
“Bang...!” seruku tertahan.
“Ssst...acaranya sudah dimulai,” sela Bang Haris menahan tawa yang disambut senyum bangga oleh ibuku. [Wylvera W.]

NB.
Cara mengirim naskahnya bisa ke alamat e-mail mereka di majalahnoor@gmail.com dan majalahnoor@yahoo.co.id atau ke alamat redaksinya; Jl. Karang Pola VI No. 7A, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540. 
Yuk, yang mau nyoba. :)
             



Ibu Arulita Mirza Adityaswara

$
0
0

“Passion Saya Lebih pada Dunia Kreatif Tekstil Indonesia”

Arulita Handayani (doc. pribadi)
            Pertama kali kami berjumpa dengan sosok perempuan yang ramah ini, kesan smartsangat terpancar dari tutur katanya yang tertata rapi dan sistematis. Perempuan yang merasa aman menggunakan warna beige, navy blue, hitam dan putih ini adalah sosok yang selalu setia mendampingi sang suami, Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sambutannya yang sangat bersahabat membuat kami ingin menggali lebih jauh tentang beliau.

Buah Pengalaman Masa Kecil
            Lahir di Menado dan diberi nama lengkap Arulita Handayani oleh kedua orangtuanya, perempuan yang gemar mengoleksi buku-buku masakan terbaik ini adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Ibu Arulita menikmati masa kecilnya di Palembang. Selama sembilan tahun mengikuti orangtua yang harus berpindah-pindah tugas sebagai pegawai negeri di PLN. Sejak SMP, SMA dan kuliah, diselesaikannya di Jakarta.

Koleksi batik Ibu Arulita (doc. pribadi)
            Duduk di salah satu ruang dalam rumahnya, mata kami langsung tertuju pada lemari yang memuat koleksi batik dan rupa-rupa barang antik tersebar rapi di segala ruang. Ketika ditanya tentang koleksinya, Ibu Arulita langsung antusias menjelaskan. “Passion saya itu memang lebih pada dunia kreatif dan wastra atau kain Indonesia, karena kainIndonesia itu luar biasa. Menurut saya, salah satu negara terkaya akan kain adalah Indonesia. Begitu hebatnya koleksi kainkita. Saya suka mengeksplore dan mencari-cari kain tua. Semua itu saya lakukan selain untuk melengkapi pengetahuan juga untuk koleksi sendiri,” ujarnya bersemangat sambil mengeluarkan beberapa koleksi batik kuno miliknya.
Koleksi batik lain milik Ibu Arulita (doc. pribadi)
            Munculnya keinginan untuk mengetahui seluk-beluk tekstil Indonesia bukan tanpa alasan. “Melihat kecintaan kedua orangtua terhadap keramik dan kain kuno sejak saya kecil, memberikan pengaruh yang sangat besar bagi saya. Pendidikan yang sangat berharga sebagaimana pendidikan formal saya lainnya. Dari sanalah saya akhirnya ikut menyenangi dan ingin terus menggali lebih jauh tentang tekstil, baik tenun, songket ataupun batik,” ungkapnya memberi jawaban akan hobi dan kegemarannya itu.
Koleksi batik yang sangat terawat milik Ibu Arulita (doc. pribadi)
            Penjelasan itu sangat terdukung karena dengan muatan pengetahuannya tentang batik, Ibu Arulita sangat menguasai betul cara pengerjaan batik hingga ke bagian titik-titik terkecil  ( yang sudah sangat jarang dilakukan oleh pembatik saat ini ) pada motif batik koleksinya. Semua yang diperolehnya dari pengalaman masa kecil membawanya pada pengalaman hidup yang sangat berharga. Setelah sempat selama 17 tahun bekerja di dunia korporasi serta menjabat sebagai Direktur Utama Pasaraya Nusakarya, saat ini Ibu Arulita memiliki banyak waktu untuk keluarga dan meneruskan kecintaannya pada wastra Indonesia serta industri kreatif. Menurutnya, wastra atau kain Indonesia memiliki catatan sejarah yang sangat berharga. Cermin budaya dan peradaban bangsa yang besar. “Suami dan anak-anak memberikan dukungan mereka dengan membebaskan, memahami dan kadang menemani saya dalam ‘dunia seni’ yang bizzaredan sulit mereka mengerti,” imbuhnya dengan bijaksana.

Menikmati Kebersamaan Dengan Keluarga
            Ibu Arulita adalah mantan mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di sanalah beliau bertemu dan kenal dengan belahan jiwanya, Mirza Adityaswara karena mereka teman seangkatan di jurusan tersebut. Pertemuan yang akhirnya membawa pasangan harmonis ini ke jenjang pernikahan dan telah diarungi selama 22 tahun. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua orang putra. Yang tertua, Kemal Razindyaswara, saat ini menempuh kuliah di National University of Singapore (NUS). Sementara anak kedua, Nabil Harindyaswara masih duduk di kelas 3 SMA 8 dan saat ini sedang menempuh foundation studies di Trinity College, Melbourne.
            Ketika ditanya tentang passion masing-masing, Ibu Arulita mengatakan, “Meskipun kami berdua memiliki latar belakang pendidikan yang sama, kegiatan dan passion kami sangat berbeda. Suami saya menyenangi hal-hal serius tentang ekonomi dan moneter, sedangkan saya mencintai hal-hal yang berkaitan dengan seni, dunia kreatif dan fashion. Mungkin perbedaan itulah yang menjadikan komunikasi kami berdua menjadi unik.”
Ibu Arulita dan keluarga tercintanya (doc. pribadi)
            Disinggung tentang anak-anak, perempuan pencinta makanan khas (dari tempat-tempat yang paling sederhana) ini mengatakan beliau percaya bahwa yang paling dibutuhkan oleh anak-anak kita adalah kasih sayang yang tulus, pelukan dan doa. Menurut beliau, rumah adalah tempat terbaik bagi anak-anak untuk belajar dan tumbuh dengan nilai-nilai kehidupan yang dicontohkan oleh orangtua dan menjadi modal utama mereka kelak.
            Ditanya tentang harapannya terhadap jabatan suami, perempuan yang juga mengagumi para ibu yang masih menjaga dan meneruskan kekayaan kuliner otentik Indonesia ini mengatakan, “Setiap jabatan yang dipercayakan kepada suami, kami sekeluarga menerimanya sebagai sebuah amanah dan kehendak Allah SWT. Saya mendampingi dan selalu mendoakan semoga suami saya dapat memberikan pengabdian terbaiknya bagi Bank Indonesia dan juga keluarga besar BI.”

Tentang Perempuan dan Pendidikan
            Saat ditanya tentang tema Majalah Insani di edisi ini, perempuan yang mengatakan bahwa semua ibu adalah chef hebat dan living heritage bagi bangsa ini, memberikan tanggapannya yang cerdas. Menurutnya, institusi pendidikan terbaik dan terkemuka di dunia tidak lagi menjadikan perbedaan gender sebuah isu. Di Indonesia, kesempatan mendapatkan pendidikan terbaik bagi perempuan juga sama besarnya dengan kesempatan bagi pria. Dalam pendidikan, kaum perempuan memegang kunci kendali terhadap dirinya sendiri sejauh atau setinggi apa pun cita-cita dan impiannya. Dengan kemajuan teknologi, banyak kesempatan belajar yang dimungkinkan untuk diperoleh secara online dimanapun kita berada, bahkan tanpa meninggalkan rumah sekalipun.
            “Perempuan saat ini memiliki tantangan peran yang multifaceted, menjadi sahabat dan pendamping tak tergantikan bagi suaminya, pendidik dan sumber kekuatan terbaik bagi anak-anaknya, serta menjadi warga negara yang kreatif sekaligus menginspirasi,” rincinya detail.

Tentang PIPEBI dan Insani
            Menurut perempuan yang juga menyukai warna mustard yellow, mint green, dan coral ini bahwa dalam sejarah Indonesia, organisasi kewanitaan memiliki peran yang penting terutama dalam upaya membangun kesadaran kebangsaan, mencerdaskan, dan meningkatkan keterampilan wanita. “Semoga PIPEBI dapat menjadi pengikat silaturahmi, penjaga kekayaan budaya bangsa, dan menjadi bagian dari kemajuan Bank Indonesia,” pesannya penuh harap.
Berbagi pengetahuan tentang detail motif batik (doc. pribadi)
            Sementara terhadap Majalah Insani, Ibu Arulita Mirza Adityaswara mengatakan bahwa dalam perjalanan menemani suaminya ke perwakilan Bank Indonesia di berbagai daerah, beliau mengetahui jika majalah ini adalah media komunikasi dan informasi yang ditunggu oleh anggota PIPEBI. “Semoga Majalah Insani dapat terus menjadi sumber inspirasi sekaligus menghibur. Memperkaya fotografidapat menjadi sebuah kekuatan mewakili ribuan kata-kata. Lihatlah bagaimana instagram yang notabene hanyalah kumpulan foto, dalam waktu singkat menciptakan perilaku baru di dunia,” pungkasnya mengakhiri bincang-bincang kami. [Wiwiek Indra Gunawan/Majalah Insani edisi 23/TH VIII/April 2014]


Pembicara di Event Office to Office Majalah Kartini

$
0
0


          Pagi itu tiba-tiba hape saya berdering. Perempuan yang memperkenalkan diri dengan nama Esthie Engela, Sr. Account Executive dari Majalah Kartini  menghubungi saya. Katanya nama saya direkomendasikan oleh Mbak Ria dari Majalah Annisa.
Kebetulan beberapa waktu lalu saya memang pernah diminta oleh Majalah Annisa untuk mengisi event office to office mereka di kantor Bank Syariah Mandiri Jakarta. Sama seperti momen waktu itu, Mbak Esthie pun menanyakan kesediaan saya mengisi acara serupa untuk Majalah Kartini. Saya diminta menjadi pembicara untuk Ibu-ibu PIA Ardhya Garini Mabes TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.
            Setelah menanyakan beberapa hal terkait dengan event itu, saya pun menyetujui permintaannya. Maka diberikanlah hari dan tanggal acara kepada saya. Saya diminta mengajukan tema yang akan disampaikan. Dari dua tema yang saya berikan akhirnya client mereka (Ketua PIA Ardhya Garini Mabes AU) menyetujui satu tema yang berjudul, “Menulis Mendekatkan Ibu dengan Anak dan Buku”.
            Saya pun kembali menyiapkan materi dalam format PowerPoint. Sekitar enam belas slide saya siapkan untuk dipaparkan. Tak banyak uraian di PowerPoint itu. Saya memilih menyajikan lebih banyak ilustrasi. Penjelasan dari ilustrasi itulah nanti yang akan saya jadikan bahan untuk mengisi materi semi parenting untuk ibu-ibu istri TNI AU.
            Tibalah hari Senin, 27 Oktober 2014. Bersama seorang teman, pagi-pagi sekali kami sudah siap berangkat menuju Mabes AU, Cilangkap Jakarta Timur. Alhamdulillah, jalanan tidak terlalu padat sehingga kami bisa tiba setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan.
            Setelah memarkirkan mobil, kami pun diminta untuk menunggu di ruang VIP. Ketika memasuki aula Mabes AU tersebut, sempat terbesit rasa takjub di hati saya. Awalnya saya mengira ini event kecil. Ternyata ibu-ibu yang hadir lebih dari 100 orang. Wow! Nuansa biru memenuhi aula berkapasitas ratusan orang itu. Saya akui, saya sempat terpana dan sedikit nervous. Namun setelah setengah jam menunggu dan berbincang dengan panitia di ruang VIP sedikit demi sedikit melenyapkan rasa gugup saya.
            Saat menunggu, Ibu Vera selaku ketua, menghampiri dan memastikan judul tema yang akan saya sampaikan. Kami pun berkenalan. Tepat pukul 09.00 WIB saya diminta menuju kursi terdepan untuk mengikuti serangakaian acara pembuka. Saya sudah terbiasa dengan protokoler semacam itu. Saya tetap khidmat mengikutinya.
Saya, Bu Atik, Bapak Sitompul dan Istri (doc. pribadi)
          Acara diawali dengan pembukaan oleh MC khusus dari ibu-ibu Mabes AU. Sambutan dari Ketua PIA Ardhya Garini. Sambutan Ibu Atik dari Majalah Kartini, hingga akhirnya dilengkapi dengan pembacaan doa agar acara berlangsung lancar. Semua berjalan sangat tertib layaknya acara resmi. Begitulah, saya tetap santai mengikuti prosedurnya.
     Acara resmi pun selesai. MC yang diundang khusus untuk acara inti, membuka sesi berikutnya. Tibalah giliran saya naik ke atas pentas yang ditata sedemikian elegan. MC yang lumayan kocak itu membacakan profil saya dan menjelaskan sekilas tentang materi yang akan saya sampaikan.   
Sambil lihat contekan supaya tak salah sebut nama (doc. pribadi)
       “Untuk apa sih sebenarnya menulis itu buat Ibu-ibu?” begitu MC mengantar materi saya.
          “Untuk menuangkan isi hati sebagai catatan pribadi,” jawab ibu yang pertama.
         “Menulis adalah sarana untuk merangkai ide yang bermunculan di kepala kita,” lanjut ibu berikutnya.
          “Mencatat lirik lagu, karena kebetulan saya seorang penyanyi,” kata ibu yang ketiga.
       Ketiga jawaban itu akhirnya diserahkan kepada saya untuk memilih jawaban yang paling tepat. Saya menjawab bahwa ketiga jawaban itu semuanya benar. Akhirnya ketiga ibu yang menjawab mendapat hadiah voucherbelanja.
        Selebihnya, MC memberikan waktu sepenuhnya kepada saya untuk memaparkan slide demi silde yang sudah saya siapkan. Saya minta izin untuk berdiri. Saya katakan kalau saya lebih nyaman jika menyampaikan materi dalam keadaan berdiri. Tujuannya agar saya bisa melihat wajah ibu-ibu satu per satu. Mereka pun tertawa mendengar alasan saya. 
(doc. pribadi)
        Slide pertama saya buka. Lalu berlanjut dengan slideberikutnya yang menampilkan ilustrasi serta pertanyaan, “Mengapa Ibu Harus Menulis?” Saya pun mulai menjelaskan beberapa alasan yang membuat seorang ibu perlu menulis. Beberapa diantaranya adalah untuk menghilangkan stress, mengisi waktu luang, meningkatkan daya ingat. Satu per satu alasan itu saya jelaskan melalui ragam contoh yang dekat dengan keseharian para ibu. Di penjelasan-penjelasan itulah akhirnya suasana khusyuk dalam menyimak materi saya akhirnya mencair. Tawa renyah ibu-ibu mendengar contoh-contoh beraroma humor dari saya membuat kebersamaan kami semakin hangat.
Slide pertama (doc. pribadi)
      “Coba Ibu bandingkan, mana yang lebih hebat sensasinya jika Ibu menuliskan ungkapan cinta kepada suami dibanding mengucapkannya,” ujar saya memberi satu contoh yang disambut gelak tawa.
       Satu contoh lagi saya berikan. “Coba kembali Ibu bandingkan. Ketika Ibu kesulitan berkomunikasi lewat lisan dengan anak Ibu, lalu Ibu menggantinya dengan menuliskan beberapa kalimat untuk mewakili perasaan Ibu kepada buah hati. Dan anak Ibu membacanya. Apa yang akan terjadi?” 

        Begitulah contoh demi contoh yang mampu menjawab pertanyaan “Mengapa Ibu perlu menulis” saya paparkan. Hingga akhirnya sampai pada materi bagaimana kegiatan menulis itu bisa mendekatkan Ibu dengan anak dan buku. Saya perhatikan ibu-ibu istri TNI AU sangat antusias dengan materi yang saya sajikan dari awal hingga akhir. 
Sesi tanya jawab
Hadiah bagi penanya terbaik (doc. pribadi)
         Sampai pada sesi tanya jawab yang disediakan, begitu ramai yang ingin mengajukan pertanyaan. Mulai dari bagaimana caranya memulai menulis, hingga pertanyaan tentang upaya apa yang harus dilakukan supaya ibu dan anak sama-sama bisa mencintai kegiatan membaca dan menulis. Semua saya jawab dengan detail. Alhamdulillah, mereka puas. Malah ada yang meminta saya agar mau kembali memberikan pelatihan khusus menulis untuk mereka. Wow! Senang banget dong mendengarnya. Saya tunggu undangan itu!
Saat saya menyajikan materi (doc. pribadi)
       Akhirnya sesi saya yang diberi durasi selama satu jam lebih itu berakhir dengan pemberian hadiah untuk tiga pertanyaan terbaik. Setelah sesi saya, acara masih berlanjut dengan tutorial hijab dari Zoya.
        Acara yang dihadiri oleh Ketua PIA Ardhya Garini Gabungan I Mabes AU, Ibu Vera JFP Sitompul, Ibu-ibu Ketua PIA Arhdya Garini Cabang, Ranting Berdiri Sendiri, dan Ranting di jajaran Gabungan I Mabes AU itu ditutup dengan pemilihan busana terindah dan foto bersama.
Foto bersama dengan pose bebas :)  (doc. pribadi)
           Saya dan teman seperjalanan pun pulang dengan hati puas. Semoga apa yang saya sampaikan memberikan pencerahan. Terima kasih kepada Majalah Kartini yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk mengisi acara pertemuan besar itu. Semoga tidak mengecewakan dan kembali diundang oleh Ibu Ketua PIA Ardhya Garini Mabes AU. Semoga! [Wylvera W.]

           

Manfaat TIK di Kelas Ekstrakurikuler Jurnalistik dan Menulis

$
0
0


            Pelajaran jurnalistik dan menulis sangat membutuhkan kemampuan menggunakan komputer. Minimal mengetik dan menyimpan hasil ketikan. Dalam proses belajar mengajar, perangkat seperti infocus dan layarnya menjadi faktor penunjang yang mau tidak mau harus dipenuhi. Selain itu hal yang paling mendukung adalah adanya jaringan internet yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan/diakses dalam proses pencarian informasi. Inilah persyaratan dasar yang saya ajukan kepada Kepala Sekolah ketika pertama kali diminta menjadi tenaga pengajar di kelas ekstrakurikuler tersebut. Tujuannya semata-mata untuk  mempermudah proses belajar mengajar.  
Alhamdulillah, sekolah tempat saya mengajar telah memiliki semua fasilitas yang saya ajukan. Saya pun menyetujui permintaan Kepala Sekolah untuk mengajar di sana. Sejak tahun 2010 saya resmi menjadi guru pembimbing kelas ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis di SDIT Thariq Bin Ziyad, Pondok Hijau Permai Bekasi.

Dampak Minimnya Pengetahuan Teknologi Informasi dan Komunikasi
            Bagi murid sekolah dasar, kemampuan dalam menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memang tidak bisa dipukul rata. Disinilah fungsi guru TIK dioptimalkan di sekolah-sekolah. Tidak terkecuali di tempat saya mengajar. Namun sebagai guru ekskul, saya tidak bisa intervensi dalam penetapan mulai dari murid kelas berapa yang sudah layak mengikuti pelajaran TIK tersebut. Sementara di sekolah saya, murid-murid yang sudah berhak memilih beragam ekstrakurikuler dimulai dari kelas 3 sampai kelas 5.
Murid SDIT Thariq Bin Ziyad belajar TIK dengan fun (doc. pribadi)
            Melihat level kelas yang berbeda ini tentu saja tidak semua murid yang cepat tanggap dalam menyerap pelajaran. Kemampuan mereka pun sangat bervariasi. Semua itu tergantung seberapa jauh guru pembimbing TIK mereka memberikan materi.
Beginilah saat murid-murid TBZ PHP belajar TIK (doc. pribadi)
Dari informasi yang saya dengar ternyata pelajaran TIK yang mereka dapatkan dari guru pembimbingnya tidaklah menyeluruh. Mereka hanya diperkenalkan dengan pengetahuan dasar tentang cara mengoperasikan komputer seperti menghidupkannya, mengetik dengan keyboard, dan menyimpan hasil ketikan dari layar komputer ke folder. Itupun ternyata tidak maskimal. Akses internet yang ada di sekolah tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi mereka yang belajar TIK.

 
Saat menyusun daftar pertanyaan untuk bahan wawancara

Untuk memperluas pengetahuan mereka, peran saya sebagai guru ekskul mau tidak mau menjadi bertambah. Saya tidak hanya mengajarkan materi jurnalistik dan menulis saja. Dalam setiap pertemuan seminggu sekali yang menggunakan ruang TIK, saya sekaligus membimbing mereka dalam menggunakan internet secara benar. Mereka saya ajarkan bagaimana melakukan browsing untuk mendapatkan referensi tentang materi terkait yang saya tugaskan kepada mereka.
 
Di ruang TIK (dokpri)
Mengenal pekerjaan Reporter (dokpri)
Saya yang juga aktif di dunia kepenulisan dan kerap bersentuhan dengan dunia maya seperti blog, facebook, serta twitter, setahap demi setahap membagi pengetahuan kepada murid-murid saya agar mereka juga akrab dengan semua itu. Apa yang murid-murid saya dapatkan dari pelajaran TIK pelan-pelan saya lengkapi.

Mengenalkan Blog untuk Mencatat Ragam Kegiatan Ekskul Jurnalistik dan Menulis
            Untuk murid-murid saya angkatan pertama (tahun pelajaran 2010 – 2011), saya mengajak mereka untuk menyimpan semua catatan kegiatan jurnalistik mereka di flashdisk. Saya katakan bahwa nanti semua kegiatan mereka di kelas ekskul akan tercatat di blog. Itulah pertama kali saya mengenalkan blog kepada murid-murid saya. 
Blog tempat catatan kegiatan ekskul jurnalistik (doc.pribadi)
Kendala pertama, mereka belum terampil membuat blog.  Sayalah yang membantu membuatkannya. Di blog yang bernama “Warcil SDIT Thariq Bin Ziyad PHP – Bekasi” itulah catatan-catatan mereka saya simpan. Dan beberapa dari mereka saya berikan nama serta passwordagar bisa mengakses blog tersebut untuk membantu saya meng-updatehasil liputan, wawancara, dan artikel lainnya.
Hasil wawancara disimpan di blog Warcil (dokpri)
Dari sanalah mereka belajar membuat blog sendiri. Satu per satu murid saya dari angkatan pertama akhirnya memiliki blog sendiri. Saya tidak serta-merta melepas mereka untuk mengisi blog pribadinya. Untuk kontennya saya tetap mengingatkan agar tetap berhati-hati dan tidak mengisi blog mereka dengan hal-hal yang melanggar etika di dunia maya.
Hasil wawancara dengan pedagang kelapa muda (dokpri)
Namun setelah angkatan pertama blog “Warcil SDIT Thariq Bin Ziyad PHP – Bekasi” memang jarang di-update lagi. Lagi-lagi terkendala pada kemampuan angkatan setelahnya yang lebih banyak dari murid kelas 3 dan 4.
Catatan kegiatan ekskul jurnalistik di blog saya (dokpri)
Melihat kondisi ini saya tidak ingin patah semangat. Beberapa kegiatan ekskul jurnalistik dan menulis kami tetap saya muat di blog pribadi saya. Murid-murid saya tetap bisa mengakses kisah kegiatan mereka dari blog saya. Selain itu mereka juga bisa melihat cerpen saya yang menang lomba sebagai contoh saat saya minta menulis cerita.

Memanfaatkan Akun Facebook Sebagai Tempat Diskusi
            Di setiap pertemuan tahun pelajaran baru saya selalu menanyakan apakah murid-murid saya sudah memiliki blog. Selain itu saya juga menanykan akun facebookmereka. Tujuannya adalah agar saya lebih mudah memberikan informasi terkait dengan materi yang sedang dibahas di luar jam sekolah.
Lagi-lagi tidak semua murid memiliki blog dan akun facebook. Ketika ditanya alasannya, muncullah beragam jawaban. Ada yang belum diizinkan untuk membuka akun facebook oleh orangtuanya. Ada yang belum paham caranya. Untuk semua alasan itu saya pelan-pelan memberikan pemahaman tentang dampak positif yang akan mereka dapatkan.
Memberi motivasi di grup FB (dokpri)
Sebagai guru pembimbing mereka, saya pelan-pelan mengajak mereka untuk melek teknologi. Selain mahir menggunakan ponsel untuk bertukar kabar, mereka juga harus mampu memanfaatkan aplikasi di gadgetmereka untuk mengakses internet.
Grup FB angkatan 2013 - 2015 (dokpri)
Salah satunya saya gencar menganjurkan agar murid-murid saya memiliki akun facebook. Alhamdulillah, saat ini sudah hampir semua murid saya memiliki akun facebook. Malah salah satu dari mereka mengambil inisiatif untuk menjadi Admin grup di facebook dengan nama grup “Jurnalist Kids” untuk angkatan 2010 – 2012 dan “Jurnalistik 2013 – 2015” untuk angkatan saat ini.

Flashdisk dan PowerPoint Mengurangi Penggunaan Kertas
            Dalam proses belajar dan mengajar saya selalu berusaha untuk meminimalisir peenggunaan kertas. Itu sebabnya di setiap awal tahun pelajaran saya meminta murid-murid saya untuk melengkapi persyaratan mengikuti eksktrakurikuler jurnalistik dan menulis. Setiap murid saya wajibkan memiliki flashdisksebagai penyimpan beragam materi dan tugas-tugasnya.
Meskipun ada penggunaan kertas hanyalah pada saat saya ingin me-review hasil praktik lapangan mereka di jam dan hari yang sama. Untuk tugas yang dibawa pulang, saya tetap meminta murid-murid saya menyimpannya di flashdisk.
Beginilah cara saya menyampaikan materi (dokpri)
Dalam menyampaikan materi pelajaran, saya selalu menggunakan PowerPoint yang ditampilkan di layar menggunakan infocus. Materi akan tersaji dengan rapi disertai ilustrasi yang lebih efektif dalam memaparkan contoh. Murid-murid saya selalu semangat jika saya menyampaikan materi dengan tampilan slide yang disertai gambar-gambar. Mereka jauh lebih cepat mengerti.
Ternyata memang jauh lebih efisien memaparkan materi seperti itu dibandingkan menuliskannya di papan tulis. Di samping itu murid-murid saya juga belajar mengurangi penggunaan kertas sebagai usaha mendukung gerakan go green.

Perlunya Pengetahuan TIK sejak Usia SD
            Informasi di beragam media yang menyebutkan bahwa pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tidak tercantum dalam kurikulum 2013. Saya tidak begitu paham alasan apa yang menyebabkan pelajaran ini tidak lagi masuk dalam mata pelajaran wajib. Saya hanya menyayangkan kalau itu benar. Sebab pelajaran tersebut akan melatih anak-anak untuk mampu memanfaatkan TIK sebagai proses belajar dan kehidupannya sehari-hari.
            Mengingat semakin banyaknya sekolah-sekolah yang membuka kelas ekstrakurikuler terkait dengan pengetahuan Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka mau tidak mau pelajaran TIK hendaknya juga diterapkan mulai dari sekolah dasar. Di samping itu sumber daya manusia, infrastruktur, dan kontennya pun perlu dibekali. Melihat kondisi ini saya berharap kepada pemerintah untuk meninjau ulang keputusannya serta memikirkan solusi terbaik demi kemajuan anak bangsa.
            Akhirnya, sebagai guru ekstrakurikuler jurnalistik dan menulis tingkat sekolah dasar, saya merasa perlu untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan dan pengetahuanyang terkait dengan TIK. Apalagi materi yang saya ajarkan tak bisa lepas dari sentuhan TIK. Pengetahuan itu akan saya tularkan kepada murid-murid saya di sela-sela pemaparan materi tentang ekskul jurnalistik dan menulis. Saya berharap mereka semakin terampil menggunakan komputer, tablet, ponsel serta mengakses internet dengan tetap berpedoman pada etika dan batasan sebagai pengguna yang masih di bawah umur. []

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba "Guru Blogger Inspirattif 2014"

           

Pernikahan Langgeng Harus Pakai Syarat

$
0
0

 
Saya dan suami. Narsiiis... :) (dokpri)

Memiliki pernikahan yang harmonis dan langgeng menjadi impian setiap pasangan. Tak hanya bagi pasangan yang baru menikah, saya yang sudah belasan tahun menjalani pernikahan juga menyimpan impian yang sama. Namun jalan untuk mewujudkan impian itu tak semudah yang dibayangkan. Jangan abaikan syarat-syarat yang bisa jadi pendukung untuk mewujudkannya.
Pertengkaran menjadi salah satu penyebab terkendalanya kelanggengan rumah tangga. Belum lagi persoalan lain yang terkadang bisa memicu “hawa panas” dalam pernikahan. Perselisihan rasanya sulit dielakkan dalam setiap bahtera kehidupan rumah tangga. Lalu, bagaimana menyikapi kondisi ketidakmudahan tadi?  
Sepanjang pernikahan saya berusaha menjadikan perselisihan sebagai momen untuk belajar memahami karakter pasangan. Saya selalu berusaha bijak dan berusaha memahami kondisi emosional pasangan. Meskipun bukanlah hal yang mudah untuk memahami pasangan, namun saya tetap belajar dan berusaha selama komitmen tetap dipegang teguh. Bagaimana dengan Anda?
Kebersamaan di masa perkenalan dan sebelum pernikahan terkadang bukanlah suatu ukuran bahwa kita mampu memahami pasangan. Banyak hal yang membuat kita terkaget-kaget. Yang awalnya dia sangat pendiam dan penyabar, tiba-tiba bisa berubah menjadi banyak bicara dan meledak-ledak. Nah, perubahan sikap sebelum dan sesudah menikah inilah yang terkadang bisa membuat kita sulit menerima. Maka, jika tak pandai mengolah emosi, ini bisa menjadi pemicu pertengkaran yang mengancam keharmonisan pernikahan.
Sebelum semuanya menjadi semakin runyam dan menjauhkan kita dari impian tentang keharmonisan dan kelanggengan pernikahan, sebaiknya mari kita coba belajar melakukan beberapa saran berikut ini; 

Berusaha Memahami
Sebanyak apa pun artikel yang kita baca tentang cara dan tips menjaga keharmonisan pernikahan, jika kita tak legowomemraktikkannya dengan pasangan, ini akan sia-sia. Jadi, berusaha memahami pasangan adalah modal dasar dalam sebuah pernikahan. Rujukan tentang cara dan tips dari berbagi sumber yang kita baca akan semakin mudah kita lakukan jika konsep memahami sudah bisa kita jalankan. Jangan langsung merasa tidak diacuhkan ketika pasangan kita lebih leluasa berbagi dengan temannya ketimbang dengan kita. Justru di sinilah saatnya kita belajar memahaminya agar pasangan kita berbalik merasa nyaman untuk bicara dan berbagi dengan kita. 

Komunikasi
Wanita dan pria memang ditakdirkan dengan karakter dasar yang berbeda. Pria cenderung menyimpan ribuan kata dalam sikap dan gerak-geriknya ketimbang mengumbarnya lewat lisan. Sementara wanita sulit menyimpan sebaris keinginan di balik lidahnya. Maka demi mempertemukan kedua karakter dasar ini, komunikasi  menjadi kunci penting. Bukan ingin memberatkan kaum istri, jika suatu ketika suami Anda tiba-tiba ingin bicara, cobalah diam sejenak dan berusaha menjadi pendengar yang baik. Karena momen itu mungkin tak akan selalu Anda dapatkan dari dirinya. 

Jangan selalu merasa sok tahu
Terkadang kita suka menyepelekan hal-hal pribadi yang disimpan oleh pasangan. Seolah kita merasa sok tahu tentang segalanya. Belajarlah menghargainya dengan menghormati kemampuan berpikirnya. Jika ada yang ingin diluruskan, maka bicarakan dan diskusikan dengan bahasa yang santun tanpa harus mengecilkan kapasitas cara berpikir pasangan kita. Konsep berbagi pikiran akan memudahkan pasangan untuk mentransfer keinginan-keinginannya. Sekali lagi hindari rasa sok tahu itu. 

Memuaskan pasangan secara emosional dan fisik
Wanita butuh cinta untuk melakukan hubungan seks, sementara pria sebaliknya, dia butuh seks untuk cinta. Ya, begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Justru itu, aspek fisik bagi pria menjadi sangat penting. Bukan bermaksud kembali menempatkan wanita pada posisi untuk selalu menjadi pemegang tanggung jawab dalam upaya menjaga keharmonisan rumah tangga. Namun, kodrat dasar menjadikan wanita berperan dalam upaya membuat pasangannya merasa puas dan senang secara fisik dan emosional. Tak bisa dimungkiri, ini kunci penting dalam menjaga hubungan tetap langgeng. 

Saling percaya dan saling mendukung
Pernikahan tak akan bertahan lama jika tidak dilandasi oleh rasa saling percaya. Pasangan akan merasa percaya diri dan nyaman jika kita memposisikan diri sebagai orang pertama yang mendukungnya.

Nah, memiliki pernikahan yang harmonis dan langgeng bukan menjadi impian yang sulit lagi jika kita mampu melakoni beberapa syarat di atas. Yuk, sama-sama mewujudkannya! [Wylvera W./Wiwiek Indra Gunawan]

***

Viewing all 236 articles
Browse latest View live