Quantcast
Channel: Rumah Mayaku
Viewing all 236 articles
Browse latest View live

Rinso Cair Bikin Saya Berani Mengucek Pakaian Kotor

$
0
0

Pekerjaan rumah tangga yang paling saya takuti adalah mencuci pakaian. Dari sebelum menikah pun saya paling ogah melakukannya kecuali terpaksa sekali. Begitu pula ketika sudah menikah hingga punya dua anak. Kalau asisten rumah tangga sakit atau cuti, saya lebih memilih membawa pakaian kotor ke tukang laundry pakaian. Atau membiarkan pakaian kotor itu digilas oleh mesin cuci. Saya tidak peduli hasilnya bersih maksimal atau tidak. Manja ya? Tapi begitulah kenyataannya. Pokoknya saya tidak nyaman kalau disuruh mencuci pakaian.
Lalu, apa sih alasan yang membuat saya takut melakukan pekerjaan mencuci pakaian kotor ini? Telapak tangan saya sensitif sama deterjen. Apalagi kalau kandungan deterjennya tajam ke kulit tangan. Telapak tangan saya langsung meregang dan kasar malah cenderung terkelupas. Tentu saja ini berdampak pada penampilan dong. Enggak enak banget kalau tiba-tiba harus bersalaman dengan seseorang lalu dia mengernyit karena seperti memegang kulit bersisik. Hiii....
Dua varian Rinso Cair pilihan saya (dokpri)

Senang sekali rasanya ketika ketakutan saya akhirnya berakhir juga. Lho, kok bisa berubah drastis ya?  Perubahan itu terjadi karena saya telah menemukan produk istimewa dari Rinso. Nama varian produk yang telah menghilangkan ketakutan saya itu adalah RinsoMolto Ultra Cair dan Rinso Anti NodaCair.
Sejak saat itu jika tidak ada asisten yang biasa saya panggil “Mbak”, maka produk inilah yang menyelamatkan tumpukan pakaian kotor keluarga saya. Saya bergantian memakai kedua produk tersebut. Setiap selesai menggunakan saya langsung merasakan manfaatnya. Karena itu saya pun menyuruh Si Mbak untuk beralih ke Rinso Cair ini. 
Lihat! Telapak tangan saya tetap halus dan mulus. (dokpri)



Awalnya sedikit susah mengajak Si Mbak beralih. Maklumlah, dia sudah terbiasa menggunakan deterjen bubuk selama ini. Alasan utama yang diajukannya adalah kesulitan untuk menakar banyaknya Rinso Cair yang akan dipakai. Lalu yang kedua dia takut kalau busanya tidak sebanyak deterjen bubuk. “Takutnya kurang bersih, Bu,” begitu katanya menunjukkan rasa khawatir.
Kekhawatiran Si Mbak ini bukan tanpa alasan juga sebenarnya. Sebelumnya saya sering mengeluh melihat hasil cuciannya. Terutama pakaian sekolah dan baju kerja suami yang berwarna putih. Warna gelap atau kuning di bagian kerah dan ketiak tidak bisa hilang sempurna. Meskipun Si Mbak sudah memakai pemutih tetap saja tersisa warna yang membedakan dari warna aslinya. Belum lagi sesekali bau apek pada pakaian masih tertinggal samar-samar jika tidak sempurna kering saat dijemur pada musim penghujan.

 
Saya saat mencuci dengan Rinso Cair (dokpri)
 
Tidak semua deterjen mampu menghilangkan noda dan bau yang membandel pada pakian kotor. Setelah menggunakan kedua produk Rinso Cair secara bergantian, saya melihat perubahan nyata pada pakaian yang berwarna putih. Warna gelap dan menguning di bagian kerah dan ketiak tidak lagi terlihat. Bahkan untuk kaus kaki anak-anak saya pun bagian telapak kakinya bisa dibersihkan dengan sempurna.
Setelah disetrika harumnya tetap menyegarkan (dokpri)
Saya pun memberikan petunjuk kepada Si Mbak. Untuk mencuci sekitar 20 pakaian kotor cukup dengan 1 tutup botolnya saja. Bahkan saya juga menjelaskan mengapa saya beralih ke Rinso Cair ini. Selain tidak tajam di telapak tangan, Rinso Cair 800ml bisa digunakan untuk sekitar 20 kali mencuci. Hemat banget ‘kan? Si Mbak pun ikut membuktikannya. “Lebih bersih ya, Bu!” ujarnya akhirnya mengakui.

Keunggulan Rinso Cair
Rinso Cair memang merupakan deterjen cair yang diformulasikan untuk menghilangkan noda dua kali lebih efektif. Ditambah sentuhan keharuman yang menyegarkan dan tahan lama. Tak perlu khawatir kalau sewaktu-waktu lupa memakai parfum ketika bepergian. Serius lho!

Inilah beberapa manfaat yang saya rasakan dari pemakaian kedua varian dari produk Rinso ini:
  1. Lebih hemat dan tentu saja ini menjadi faktor utama yang selalu menjadi perhatian para ibu rumah tangga, termasuk saya dong.
  2. Saat merendam, kandungannya meresap sempurna ke dalam serat kain.
  3. Mampu menghilangkan noda pakaian dua kali lebih efektif dibanding deterjen lain.
  4. Keharuman parfum eksklusifnya membuat pakaian selalu segar setelah kering.
  5. Menjaga warna pakaian tetap cerah dan tidak memudar.
  6. Tidak meninggalkan sisa butir-butir deterjen setelah proses pencucian seperti ketika menggunaka deterjen bubuk.
  7. Yang paling penting buat saya adalah kandungannya terasa lembut di tangan sehingga membuat saya nyaman setelah menggunakannya.
Untuk yang kepengin mencoba dan beralih ke Rinso Cair ini, ada beberapa kemasan yang tersedia. Kemasan isi ulang 400ml, 800ml, dan kemasan sachet 45ml. Sementara untuk kemasan botol ada yang 525ml dan 1000ml. Untuk harga pun relatif terjangkau. Jangan takut kemahalan deh. Untuk ukuran botol yang terbesar saja harganya hanya sekitar Rp.15.000,-. Jadi bisa dikira-kira untuk harga ukuran di bawahnya.
Kesimpulannya, saya sangat puas melihat hasil yang diberikan oleh kedua Rinso Cair ini. Mengucek rendaman pakaian kotor seember pun menjadi jauh lebih nyaman.Tak ada lagi rasa takut kalau-kalau telapak tangan saya jadi kasar dan pecah-pecah sehabis mencuci. [Wylvera W.]

Pelatihan Menulis untuk Persit Kartika Chandra Kirana

$
0
0

 
Saat menyimak pembukaan acara (dokpri)

            Permintaan untuk memberikan pelatihan menulis di inbox facebooksudah beberapa kali saya terima. Tentu saja saat membacanya ada perasaan campur baur antara deg-degan dan senang. Begitu pula ketika menerima permintaan dari Mbak Rianti Budiman, rasa bangga dan senang itu muncul tiba-tiba. Siapakah Mbak Rianti Budiman ini? Mengapa saya bisa mendapat permintaan untuk memberi pelatihan tersebut? Saya perkenalkan terlebih dahulu ya. Hehehe....
Mbak Rianti yang saya kenal dengan panggilan Tita adalah teman suami saya. Mbak Tita dan suami sama-sama bekerja di Bank Indonesia. Saya sudah lama mengenal beliau, tapi belakangn justru saya baru mengetahui bahwa beliau adalah Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Cabang XL Brigif 15 Kujang II PD III/Siliwangi. Suami Mbak Tita adalah Komandan di sana. Wow! Sebuah kehormatan yang membuat saya menjadi benar-benar tersanjung. Begitu cerita singkatnya.
Begitulah, setelah beberapa kali kami melakukan kontak lewat facebook dan whatsappakhirnya kesepakatan diambil. Pelatihan menulis diselenggarakan pada hari Sabtu, 14 Juni 2014 di lokasi Asrama Brigif 15 Kujang II Siliwangi, Cimahi. Saya pun kembali menyiapkan materi dalam format powerpoint yang berisi penjelasan tentang motivasi menulis, berita, artikel, dan tulisan kisah inspiratif. Ini saya susun berdasarkan informasi yang saya terima bahwa ibu-ibu tentara tersebut ingin mendapatkan keterampilan mengemas tulisan nonfiksi untuk bisa ikut dan percaya diri mengisi majalah internal mereka.
Tibalah hari yang telah disepakati. Saya diantar oleh suami menembus udara pagi yang cerah menuju Cimahi. Perjalanan yang lancar mengantarkan kami tepat pada waktu yang dijanjikan, yaitu pukul 09.00 WIB. Kami disambut dengan hangat oleh Bu Dini, salah satu dari anggota Persit yang sebelumnya menjadi penghubung dengan saya untuk kelancaran acara pelatihan.
Kami diantarkan ke ruang tamu yang begitu nyaman. Di meja telah terhidang camilan dan minuman sebagai pelengkap sambutan yang hangat tersebut. Namun, karena ibu-ibu dari Sukabumi belum hadir (tercegat kemacetan), waktu menunggu saya gunakan untuk berbincang dengan Ibu Wakil Ketua. Kesempatan itu saya pakai untuk menanyakan beberapa hal yang bisa melengkapi referensi saya tentang peserta pelatihan agar tidak terjadi kekakuan.
Pembukaan acara (dokpri)
Setelah peserta pelatihan dari masing-masing utusan perwakilan pengurus Persit Ranting 3 Yonif 310 Sukabumi,  Ranting 4 Yonif 312 Subang, dan perwakilan Persit Ranting 1 Denma yang semuanya merupakan perwakilan pengurus telah berkumpul, saya pun diminta memasuki ruang pelatihan. Lagi-lagi saya merasa tersanjung. Kehadiran saya sebagai pemateri di acara pelatihan menulis ini benar-benar mendapat sambutan yang tertata sedemikan rupa. Terlepas dari panitia adalah ibu-ibu tentara yang telah terbiasa mengemas acara, tetap saja saya merasa benar-benar dihargai dan diperlakukan sebagai tamu yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Luar biasa!
Acara pun dibuka oleh Ny. Tanty Ipa Fauzi selaku MC. Dilanjutkan kata sambutan oleh Ny. Tita Fifin Firmansyah selaku Wakil Ketua Persit KCK Cabang XL Brigif 15 Kujang PD II/Siliwangi. Dalam sambutannya beliau menyampaikan permohonan maaf dari Ibu Rianti Budiman yang tidak bisa hadir karena mengurus kelulusan ananda tercintanya. Selepas itu, sesi pelatihan dibuka pula oleh Ny. Jesicca Riza Taufiq selaku Moderator yang membacakan beberapa hal penting dari CV saya. 
Sesi pelatihan menulis pun dimulai. (dokpri)
Usai Moderator membuka sesi pelatihan, saya pun langsung memandu acara. Seperti biasa saya memberi salam dan perkenalan . Saya ingin agar para peserta pelatihan menulis klik dulu dengan pemateri. Pembukaan harus menjadi permulaan yang menyegarkan dan nyaman untuk peserta dan saya. Joke ringan menjadi umpan sederhana yang selalu saya lakukan setiap kali mengisi pelatihan menulis.
Melihat senyum dan tawa kecil dari ibu-ibu tersebut membuat saya enjoy meneruskan materi pelatihan. Satu per satu slide dari powerpoint yang sudah saya kemas sedemikian rupa pun terpampang di layar infokus. Pertama, saya memberikan motivasi tentang menulis. Berikutnya materi tentang berita dengan contoh-contohnya. Setelah itu, saya lanjutkan dengan mengupas tentang artikel dan contohnya.
Karena materi sangat padat, saya tak ingin ibu-ibu merasa jenuh meskipun setiap kali saya bertanya tentang semangat peserta dan jawabannya selalu “masih”, saya harus tetap menjaga kekonsistenan perhatian mereka. Sebelum melanjutkan materi berikutnya, saya selingi pelatihan dengan games. Benar saja, ibu-ibu menjadi semakin bersemangat dan seolah semua ingin menerima tantangan games dari saya. 
Selamat ya, ibu-ibu! (dokpri)
Dua kesempatan yang saya berikan akhirnya dimenangkan oleh dua orang ibu yang memberi jawaban dengan melengkapi alasan yang paling pas dari pertanyaan semacam teka-teki yang saya ajukan. Saya mengatakan bahwa pertanyaan yang saya berikan keduanya sangat erat kaitannya dengan materi yang saya sampaikan. Ibu-ibu dipancing kreativitasnya dalam memberikan jawaban. Semua jawaban sebenarnya tak ada yang salah sebab menulis bukanlah ilmu matematika, namun dua jawaban yang diberikan ternyata jauh lebih kreatif. Maka merekalah yang mendapatkan hadiah pertama dari saya.
Materi berlanjut ke penulisan kisah inspiratif. Sudah saya duga sejak awal kalau materi inilah yang paling mengena dengan ibu-ibu. Saat memaparkan hal-hal penting terkait dengan tulisan inspiratif, saya merasakan keantusiasan peserta semakin meningkat. Kesempatan baik itu saya ambil untuk kembali melempar guyonan-guyonan segar yang mampu membuat mereka tertawa dan sesekali ikut berkomentar.
“Sebagai contoh saja ini ya, Bu. Misalnya, ibu ingin menceritakan bahwa suatu ketika ibu medengar hape bapak berbunyi tengah malam, sementara bapak telah terlelap. Tiba-tiba ibu ingiiin sekali membuka pesan di hape itu. Dengan mengendap-endap dan dibebani rasa bersalah dan benar, antara dorongan ingin membaca dan tidak, namun akhirnya ibu memutuskan untuk membacanya. Dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang ibu membaca sebaris kalimat yang menanyakan, “Mas, sudah tidur ya” di hape bapak, itu menjadi sesuatu ledakan dahsyat yang sulit ditenangkan,” begitu saya memberi contoh yang disambut oleh respon “Geeerrr....” dari peserta.
Dari contoh itu saya dan peserta pun seolah semakin ditautkan oleh semangat kebersamaan. Hahaha... begitulah ibu-ibu pada umumnya. Contoh-contoh yang dekat dengan kehidupan mereka memang menjadi sesuatu yang hangat untuk dibahas. Tapi, materi pelatihan masih terus berlanjut, maka saya sengaja menghentikan contoh bermuatan lelucon yang sudah mampu mengidupkan suasana.
“Maaf, ya ibu-ibu... sampai di sini saja dulu ceritanya. Nanti kita lihat apakah si Wiwin itu benar-benar ada atau tidak,” ujar saya membuat tawa kembali pecah memenuhi ruang pelatihan. Stt, Wiwin yang saya sebutkan adalah nama pengirim pesan di hape si bapak tadi, lho. Hehehe.... 
Sesi praktik (dokpri)
Setelah semua materi telah saya sampaikan, saya masih memberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.  Sesi pelatihan saya akhiri dengan praktik menulis. Saya bebaskan peserta untuk memilih jenis tulisan apa yang ingin mereka kerjakan. Berita, artikel atau kisah inspiratif. Saya berikan waktu setengan jam untuk menyelesaikan tulisan dengan minimal setengah halaman folio. Setelah itu saya meminta waktu sekitar lima belas menit untuk memilih tulisan terbaik. Sambil saya membaca, peserta rehat dan menikmati snacknya.
Inilah enam orang ibu yang tulisannya terpilih sebagai tulisan terbaik. (dokpri)

Tulisan peserta. (dokpri)
Dari 35 tulisan yang terkumpul, terpilihlah 6 tulisan terbaik dengan jenis tulisan yang berbeda. Sejujurnya, semua tulisan yang saya baca bagus-bagus, namun karena hadiah dari saya hanya tersisa 6, terpaksa saya hanya memilih 6 tulisan saja. Setelah pemberian hadiah untuk penulis terbaik ternyata saya juga dapat hadiah dari panitia. Senangnyaaa....
Cinderamata yang cantik. :) (dokpri)
Acara pun ditutup dengan doa dan foto bersama masing-masing wilayah. Tidak sampai di situ, saya juga diberi suguhan makan siang ala prasmanan dengan menu yang serba lezat (duh, nggak sempat ambil fotonya, hehehe).
Foto bersama plus sisipan sesi praktik, hehe. (dokpri)
Akhirnya, menutup semua kebersamaan yang begitu menyenangkan selama kurang lebih tiga jam itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mbak Rianti Budiman, Mbak Dini, dan Ibu Tita (wakil ketua) atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya sebagai pemateri di pelatihan menulis ini. Semoga apa yang sudah saya sampaikan dapat dipraktikkan sesuai kebutuhan menulis yang dimaksud. Terima kasih atas kerjasama yang menyenangkan ini. [Wylvera W.]


Judulnya Jalan-jalan Nekat (part 1)

$
0
0


London Eye yang ngangeni. (dokpri)

              Jalan-jalan bukan di saat liburan sekolah, kok bisa? Bisa dong, sepuluh hari malah. Nekat ya? Yap! Itu sebabnya saya sebut sebagai jalan-jalan nekat judulnya. Mau tau kenapa bisa begitu? Mau tau aja atau mau tau bangeeet? Hihihi....
            Semua bermula dari obrolan santai antara saya dan suami. Kami berdua sudah pernah berkunjung ke London dan beberapa kota lainnya di belahan negara Inggris itu. Tahun 2010 lalu tepatnya. Saat itu kedua anak saya tidak ikut karena harus sekolah. Kebetulan kedua orangtua saya juga sedang ada bersama kami di Bekasi. Jadilah anak-anak dijaga oleh Kakek dan Neneknya selama kami bepergian.
            Entah dari mana mulanya, tiba-tiba si Kakak (sebutan pada anak sulung kami) menggebu-gebu pengin ke London. “Seandainya aku bisa menginjakkan kaki di London ya, wuiiih...senangnya!” begitu ujarnya. Obsesi itu bukan sekali dua kali diucapkannya. Jika habis melihat tayangan di youtube dengan setting London, dia pasti mengungkapkan keinginan itu lagi. Ternyata kata-kata si Kakak direkam oleh suamiku. Inilah awal dari niatnya untuk mengajak kami ke sana.
            “Insya Allah, akhir November aku ada kursus lagi di London,” kata suami saya beberapa minggu sebelum bulan November 2014 lalu.
            “Alhamdulillah, ke sana lagi dong,” balas saya.
            “Iya, mungkin rezekinya memang harus ke sana lagi,” lanjutnya.
            Suami ingin mengajak saya. Tapi rasanya tidak mungkin meninggalkan anak-anak tanpa ada yang menjaga mereka di rumah. Kakek dan Nenek mereka sudah kembali ke Medan. Saya tak terlalu berharap untuk ikut. Maka saya tak menanyakan kelanjutan rencana itu ke suami.
Akhirnya suami memutuskan mengajak kami bertiga. Kembali saya bingung. Tanggal kursus itu bukan masa liburan anak-anak saya. Suami meminta saya untuk menanyakan izin ke sekolah anak-anak. Namun sebelum urusan ke sekolah, saya lebih dulu menanyakan ke anak-anak. Bukan kegalauan yang terdengar, justru senyum sumringah mereka menjadi jawabannya. Mereka siap menyusul ketinggalan pelajaran dan ulangan harian katanya. Okelah kalau begitu.
            Yes! Akhirnya...!” seru si Kakak berjingkrak-jingkrak kegirangan.
            “Asyiiik... nanti ke Old Trafford juga gak?” timpal si Adik tak kalah senang.
           Melihat keantusian kedua buah hati kami, akhirnya saya pun mengurus permohonan izin ke sekolah mereka. Izin pertama adalah saat harus mengurus visa. Salah satu syarat untuk mengurus visa buat anak-anak saya adalah surat keterangan izin dan pernyataan resmi dari Kepala Sekolah mereka. Alhamdulillah... tak ada yang sulit. Semuanya berjalan lancar, hingga permohonan izin untuk tidak mengikuti kegiatan sekolah selama sekitar delapan hari pun diberikan.
            Singkat cerita, setelah visa dan tiket sudah di tangan, kami pun siap untuk berangkat. Hari Kamis, 20 November 2014, perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta terasa mendebarkan bagi kedua anak-anak saya. Banyak rencana yang mereka obrolkan jika mereka nanti tiba di London.

"Ganjal" perut dulu di Citibank Lounge. (dokpri)
Si Kakak serius banget ih. (dokpri)



        Pesawat Singapore Airlines  (SQ) yang akan membawa kami menuju Bandara Internasional Heathrow, London berangkat pukul 18.45 WIB dari Bandara Soekarno Hatta. Kami masih punya sisa waktu sekitar satu setengah jam. Sisa waktu itu kami habiskan di Citibank Lounge
Menunggu di gate. (dokpri)
              Saatnya boarding.
            Sesekali saya lirik ekspresi mata kedua anak saya. Jelas sekali ada binar di sana. Ini adalah perjalanan musim dingin dan kunjungan pertama mereka ke London. Terlebih si Kakak. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum kepuasan. Rasa syukur pun berulang terucap di hati saya. Ini adalah rezeki dari Allah Swt. Tanpa izin-Nya tak mungkin kami bisa menuju ke sana.
Menyempatkan berfoto ria di pesawat sebelum mematikan hape (dokpri)
            Kami pun sudah berada di atas pesawat yang nyaman dan dilengkapi dengan layar tivi di bangku masing-masing. Ini adalah penerbangan kedua anak-anak saya bersama Singapore Airlines sejak tahun 2009 lalu saat kembali dari Amerika. Saya lagi-lagi berterima kasih ke suami. Saya tahu harga tiket pesawat SQ tidak murah. Namun, keputusan suami memilih SQ adalah semata-mata untuk menyenangkan kedua anak-anak kami. Masya Allah....
        Penerbangan yang menghabiskan durasi sekitar tiga belas jam itu akan terasa nyaman bersama pelayanan SQ. 
Transit di Changi (dokpri)
Pesawat SQ yang kami tumpangi transit di Bandara International Changi, Singapore. Sekitar satu setengah jam kemudian pesawat pun kembali terbang menuju London Heathrow Airport. Selama di pesawat sebelum mengantuk, anak-anak saya menggunakan waktu untuk menikmati koleksi film-film baru. Ini yang membuat perjalanan malam menuju London tidak terasa terlalu melelahkan. Hingga akhirnya kami tiba di bandaranya.
Udara mulai terasa dingin. Kami harus siap dengan coat demi menutupi kulit dari sengatan udara dingin itu. 

Setelah pengambilan bagasi, Bandara Heathrow (dokpri)
“Ke hotelnya naik apa?” tanya si Adek seolah tak sabar ingin melihat kota London yang klasik.
“Naik tube,” jawab suami saya sambil menjelaskan seperti apa alat transportasi yang akan membawa kami menuju penginapan.
“Siap membawa koper ya. Soalnya naik tubeitu bakal turun naik tangga lho,” ujar saya menyemangati anak-anak kami.
“Oke...no problemo,” balas si Kakak yakin.
Setelah mengambil bagasi, suami saya bergegas membeli tiket kereta. Tiket yang dibeli suami saya adalah paket untuk delapan hari kami berada di London. Tiket kereta sudah di tangan. Tibalah saatnya kami menuju stasiun bawah tanah (underground) untuk mencapai tube dengan rute tempat kami menginap selama di London.
Lumayan rasanya naik turun tangga dengan dua koper besar setelah tiga belas jam mengudara. Tapi rasa lelah itu tak tergambar di wajah kedua anak saya. Mereka malah tersenyum-senyum saja. Tak sampai sepuluh menit, kereta (tube) yang kami tunggu pun tiba. Kami bergegas menaikkan koper. Perjalanan menuju Camden Town (lokasi tempat kami menginap) pun dimulai. 
Kereta belum begitu padat di pagi hari (dokpri)

Exciting! Itu yang terbaca di mata kedua anak saya. Sesekali mereka menatap rute yang tertera di dinding tube. Sementara di dalam tube, tak ada yang bisa dilihat karena kereta ini lebih banyak bergerak di bawah tanah. Hanya wajah-wajah Eropa yang lumayan buat cuci mata. Hehehe....
Tak jauh dari stasiun bawah tanah inilah kami menginap (dokpri)
Sekitar 45 menit setelah itu, kami pun tiba di Camden Town, Underground Station. [To be continued]

Judulnya Jalan-jalan Nekat (part 2)

$
0
0
Mengunjungi Beberapa Landmark dan Ikon Kota London
            Dari Heathrow kami pindah tube di Leichester Square Station menuju Camden Town. Jarak yang sebenarnya jauh ini hanya ditempuh dalam hitungan waktu tak sampai sejam. Inilah kelebihan dari jalur tarnsportasi Inggris. Efisiensi kereta bawah tanahnya sangat khas. Meskipun tak bisa melihat pemandangan dari balik kaca jendela, anak-anak saya sangat menikmati perjalanan dengan kereta ini.
Kami tiba di Camden Town Station sekitar jam sembilan pagi. Tidak banyak yang berubah dari stasiun bawah tanah Camden Town ini. Masih mirip dengan empat tahun lalu ketika saya dan suami ke sini. Distrik ini (begitu saya menyebutnya) adalah sebuah kawasan di London yang menjadi pusat berbelanja.
Sebelumnya saya sempat kaget ketika mendengar suami memutuskan untuk menginap di Camden Town. Sudah terbayang di benak saya betapa ramai dan riuhnya nanti. Apakah akan nyaman bagi saya dan anak-anak?  Mengingat di situ pula tempatnya hangout anak-anak muda London, bahkan sampai menjelang pagi. Wajarlah kalau ada rasa khawatir di hati saya. Namun karena suami yakin kalau kami akan aman-aman saja, saya pun menurut.

Camden Town Station di pagi hari belum terlalu sibuk (dokpri)
Camden Townadalah salah satu titik dari kota London yang ramai karena di sini berdiri beragam toko dan tempat makan. Camden Town ini seperti Cihampelas di Bandung. Satu blok berjajar toko-toko yang menampung puluhan pedagang. Yang paling banyak dijual adalah cindera mata (suvenir), sepatu, pakaian, dan vinyl atau piringan hitam/plat.
Untuk ukuran kantong menengah belanja di sini lumayan pas. Beda harganya dengan belanja di kawasan Oxford Street.Tapi, itu kalau niatnya mencampurkan target travelingdan belanja-belanji, lho. Sayangnya, suami saya tidak begitu nyaman jika diajak blusukan dari toko ke toko. Jadilah kami sekadar menikmati pemandangan dengan ragam pedagang setiap kali pergi dan pulang dari dan menuju ke penginapan. Dan, saya pun terlewat memotret keramaian suasana Camden Town saat ramai-ramainya. Hehehe...ini menutupi rasa ngiler sih sebenarnya. Uhuk...!
Ups! Jangan dibahas lagi ya. Mari kembali ke cerita berikutnya. Hahaha....
Udara musim dingin sudah mencapi 4 derajat Celcius saat kami ke luar dari stasiun. Kami kembali menarik dua koper besar dan satu koper ukuran kabin pesawat menuju hotel yang sudah dipesan oleh suami saya. Karena belum saatnya jam check in kami pun tak bisa masuk ke kamar lebih awal. Untung pemilik hotel orangnya ramah, begitu kesan yang saya tangkap di awal perkenalan.
Pemilik hotel mengizinkan kami menitipkan koper di dapurnya. Dia bilang koper kami akan aman-aman saja karena hanya dia yang memegang kunci dapur itu. Sebelum meninggalkan hotel, saya minta izin untuk ke kamar mandi yang disediakan di luar kamar. Kami pun masing-masing merapikan tampilan wajah yang mulai kusut karena tidak sempat mandi selama sehari semalam. “Jangan buang-buang waktu, cukup cuci muka dan gosok gigi saja,” kata suami saya mengingatkan. Tak apalah. Udara dingin di luar sana akan menyamarkan aroma tubuh kami. Hahaha....
Sebelum memulai meng-exlpore kota London di hari pertama tiba, suami saya mengajak kami mengisi perut terlebih dahulu. Karena masih pagi, belum banyak restoran yang buka. Sandwich tuna dan udang menjadi pilihan yang lumayan aman. Ditambah dengan teh panas ukuran cup yang sedang sebagai penghangat perut.
Mencari pengganjal perut yang aman (dokpri)
Meskipun udara dingin namun kami tetap perlu cairan. Suami selalu mengingatkan membeli masing-masing sebotol air mineral untuk menemani perjalanan. “Supaya tidak dehidrasi,” ujarnya memberi alasan yang kuat.
Perjalanan pun dimulai. Untuk mencari variasi transportasi, suami saya menawarkan naik bus kepada anak-anak. Mereka langsung setuju. Tujuan pertama kami adalah Trafalgar Square. Kami mencari halte untuk melihat map dan jalur bus yang akan dipilih. Tidak berapa lama double deckerbus (bus bertingkat) yang menuju Trafalgar Square pun datang. Anak-anak memilih duduk di atas. Kami hanya mengikuti keinginan mereka saja, yang penting mereka senang. 


Menikmati kota dari atas double deckerbus (dokpri)

Si Kakak mulai sibuk menggunakan kamera Canonnya. Heran juga. Sejak berangkat dari Jakarta, anak-anak saya belum istirahat dengan sempurna. Tapi mereka seolah tak merasakan kelelahan itu. Udara dingin pun tak menjadi penghalang bagi mereka. Selama bus berjalan, mereka benar-benar menikmati pemandangan gedung-gedung klasik berpadu bangunan modern yang menjadi ciri khas kota London. 
Sebelum mencapai Trafalgar Square, suami ingat kalau hape kami belum diisi kartu baru. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di St. Pancras International Station untuk menemukan toko yang menjual kartu telepon. Sebelum masuk ke lokasi ini, kami sempatkan berfoto-ria. Setelah membeli kartu telepon kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Trafalgar Square.
Biar adil empat-empatnya harus fotoan. Tongsis belum keluar nih :) (dokpri)

Yaiii...! Kami pun tiba di Trafalgar Square, salah satu landmark yang terletak di sebelah Tenggara pusat kota London. Tempat ini katanya merupakan lokasi favorit untuk berkumpulnya masyarakat Inggris dan para turis. Trafalgar Squaremerupakan tempat yang memiliki nilai sejarah. Monumen dan patung-patung yang indah menjadi objek yang memancing si Kakak memaksimalkan fungsi kameranya.
Si Kakak dengan gaya memotretnya (dokpri)
Nelson's Column (dokpri)
Si Kakak dan Adek di depan patung singa (dokpri)

Di lokasi Trafalgar Square ini terdapat kolam air mancur dan patung Sir Charles James Napier, Sir Henry Havelock, dan Raja George IV. Selain itu ada juga sebuah monumen yang tinggi di tengah alun-alun. Monumen itu bernama Nelson’s Columnyang dikelilingi oleh empat patung singa. Monumen ini didirikan untuk menghormati Admiral Horaito Nelson, pahlawan Inggris yang gugur dalam perang Trafalgar tahun 1805. Lokasi Trafalgar Square yang strategis menjadi sering digunakan sebagai tempat untuk menggelar ragam festival seni dan budaya. Yang pasti, landmarkLondon ini selalu ramai dikunjungi para turis seperti kami.
Pakai tongsis kami pun berhasil berfoto dengan latar The National Gallery (dokpri)
Selain itu, di area ini juga terdapat gedung The National Gallery, London. Tak perlu membayar untuk masuk ke dalamnya. Di sini tersimpan ribuan lukisan karya seniman-seniman ternama Eropa, mulai dari Picasso, Leonardo da Vinci, Van Gogh hingga Rembrandt. Sayangnya, tidak boleh memotret di dalamnya. Jika melanggar aturan, siap-siaplah untuk didatangi petugas yang akan meminta kita menghapus foto-foto yang terlanjur diambil. Si Kakak pun menahan diri untuk mengaktifkan kameranya.
Setelah puas berfoto-foto di Trafalgar Square, kami melanjutkan berjalan kaki menuju Big Ben. Gerimis mulai turun. Untung saya sudah siap dengan payung lebar. Walau sedikit mengurangi kenyamanan, namun setidaknya kami bisa terhindar dari basah.
Payung ini lumayan melindungi dari gerimis (dokpri)
Berfoto bersama salah satu ikon London (dokpri)
Sebelum benar-benar sampai di lokasi Big Ben, kami tidak melewatkan tempat-tempat yang layak untuk diabadikan. Jarak yang lumayan jauh untuk ukuran berjalan kaki menjadi sedikit terabaikan karena beberapa objek yang menarik perhatian untuk difoto.
Berpose bersama kuda Inggris dan Monumen Women of War II (dokpri)
Setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit, kami pun sampai di sisi gedung House of Parliement (Big Ben). Anak-anak saya berdecak kagum memandang kemegahan bangunan tersebut. Sungguh kurang lengkap jika sampai di London tapi tidak mampir ke Westminster Palace yang lebih dikenal dengan House of Parliement ini
Big Ben yang tak pernah sepi dari bidikan kamera turis (dokpri)
 
Lagi-lagi pakai tongsis untuk foto berempat (dokpri)
Big Benmenjadikan gedung markas parlemen Inggris ini tersohor hingga ke seluruh dunia. Meskipun ada dua menara (tower) lainnya yang terdapat di gedung ini yaitu Victoria Tower dan Central Tower, namun Clock Tower yang lebih populer dengan sebutan Big Ben inilah yang paling terkenal. Jam ini sudah berdetak sejak tanggal 31 Mei 1859. Wow! Sudah tua ya?
Tanpa terasa waktu cepat sekali bergeraknya. Musim dingin menjadikan hari lebih cepat gelap. Walaupun udara bertambah dingin menusuk kulit, kami tetap menyempatkan untuk berfoto. Kalau tahun 2010 lalu hanya saya dan suami yang bisa menikmati dan berfoto berdua di sini, sekarang akhirnya kami bisa membawa anak-anak. Ah! Lengkap sekali rasanya. Alhamdulillah....
            Selanjutnya dari Westminster Bridge ini juga kami bisa melihat satu ikon London yang juga cukup beken. Yap! London Eye, wahana berbentuk kincir raksasa setinggi 135 meter dan terletak tepat di pinggir Sungai Thames.
Kamera hp tak mampu menangkap London Eye di kejauhan sana (dokpri)
Sebelum berangkat, kami sebenarnya berniat ingin menaiki salah satu dari 32 kapsul kaca itu. Karena tak kuat berjalan dan mengantri di udara dingin, lagi-lagi saya dan suami merelakan membatalkan niat tersebut. Untunglah anak-anak tidak kecewa. Cukup berfoto saja, kata mereka sudah menyenangkan. Syukurlah....
            “Gimana? Masih sanggup meneruskan penjelajahan?” tantang suami saya kepada anak-anak.
          That’senough for today! Gak kuat nih, mulai dingin banget,” sahut si Kakak antara pengin dan ragu sebenarnya.
            “Balik aja dulu yuk, aku juga mulai ngantuk,” tambah si Adek sambil menguap.
            Kasihan melihat mereka, saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan. Kali ini untuk menuju penginapan agar lebih cepat sampainya, kami memutuskan untuk naik tube kembali. Selama di dalam tube,anak-anak saya tak lagi banyak bicara. Mata mereka mulai merah menahan ngantuk. Aaah...kasian banget melihatnya. Ya, begitulah... sejak tiba di bandara paginya, kami lagi-lagi nekat untuk langsung menjelajah kota London. Hahaha... sesuailah dengan judul catatan ini, ‘kan? 
Kakak - Adik ini tepar dan sukses bobok dengan cantik. Hahaha.... (dokpri)
            Sampai di Camden Town Station, kami bergegas menuju Marisa House, tempat kami menginap. Alhamdulillah, koper-koper kami sudah diletakkan di kamar yang segar dan rapi. Setelah mengganti pakaian, menunaikan sholat, dan makan sekadarnya, anak-anak langsung naik ke tempat tidur dan menarik selimutnya masing-masing. Tanpa menunggu lama, mereka pun terlelap. [To be continued...lagi]

Note: Yang belum sempat baca awalnya, monggo diklik aja di sini
          

Tahun 2014 yang Penuh Dinamika

$
0
0

Serasa seleb kalau lihat ini. (capture dari fb)

Catatan perjalanan saya di tahun 2014 diawali dengan “sport jantung”. Jangankan berpikir untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Untuk duduk menulis dengan tenang saja saya terasa sulit saat itu. Namun saya tetap berusaha sekuat hati untuk tetap melangkah dan mohon petunjuk-Nya.
Sebagai pemimpin redaksi, saya tetap berusaha mengkoordinir terbitnya majalah internal para istri pegawai Bank Indonesia. Majalah Insani pun tetap bisa terbit dan terdistribusi di bulan Desember 2013. Dan, saya tetap mengajar kelas ekskul jurnalistik di SDIT Thariq Bin Ziyad. Alhamdulillah....
Lalu mengapa saya sport jantung? Semua bermula dari vonis dokter atas penyakit yang diderita anak sulung saya, Mira. Selama 2013 pikiran dan perhatian saya sudah terkuras padanya. Hingga di penghujung tahun kekhawatiran itu belum juga reda. Ini yang membuat saya tak pernah berpikir bagaimana cara mengawali tahun 2014 dengan list pencapaian sesuai dengan profesi saya sebagai penulis. Hingga puncak ketegangan itu mencapai klimaks di pertengahan Januari 2014. Mira akhirnya harus menjalani operasi pengangkatan kantung empedu di Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. 
Mira pasca operasi (dokpri)
Sudah redakah kepanikan saya setelah itu? Belum!
Jantung saya kembali berdegup kencang. Ujian itu belum usai. Awal Februari, Mira kembali masuk rumah sakit dan memasuki tahap yang ternyata jauh lebih mencemaskan bagi saya. Pendarahan lambung pasca operasi mengharuskannya dirawat di ruang Intermediate Care (IMC) Rumah Sakit Awal Bros, Bekasi.
Sungguh Allah selalu memberi batas kepada kesanggupan hamba-Nya. Rasa syukur tak pernah henti saya desahkan dalam qalbu. Kekuatan doa dari para sahabat, teman, dan keluarga tak pernah lepas mendukung kami. Dan saya yakin Allah mendengar semua doa itu. Saya tidak akan pernah melupakannya. Semoga Allah memberi balasan yang sepadan buat mereka. Aamiin.
Lagi-lagi saya selalu meyakini bahwa Allah Swt. sungguh Maha Tahu batas kekuatan hamba-Nya. Dia kembali menuntun hati saya untuk bangkit. Alhamdulillah, Mira berangsur-angsur pulih dan bisa menjalani studinya kembali. Saya pun mulai bisa menata ulang hari-hari saya. Tak ada target. Tak ada resolusi untuk melanjutkan bulan-bulan di tahun 2014. Semua saya pasrahkan mengalir sesuai kehendak-Nya. Jujur, trauma itu tetap ada terselip di sudut hati terdalam. Namun saya harus bisa memacu semangat kembali.
Kecewakah saya? Tidak!
Saya justru bersyukur karena Allah Swt. memilih saya, Mira, dan keluarga untuk menjalani ujian itu. Saya menyikapi semua itu sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada kami agar selalu ingat dan tidak terlanjur terlena dengan kenikmatan dunia. Semoga kami termasuk hamba yang bisa melewati ujian-Nya. Aamiin.
Pelan-pelan saya bangkit dan memompa kembali semangat yang nyaris padam terutama di dunia menulis. Saya yakin sekali bahwa Allah selalu mencintai saya. Pertengahan bulan Februari 2014 saya berusaha hadir di acara launching buku kumpulan cerita karya murid-murid saya yang berjudul "Reporter Cilik". Acara itu digelar di event Thariq Bin Ziyad Exhibition 2014. 

Launching Buku Kumpulan Cerita karya murid-murid saya (dokpri)
         Saat naik ke atas panggung bersama murid-murid saya yang ikut menyumbang karya tulisnya di buku itu, satu kejutan nyaris membuat saya meneteskan air mata. Ibu Kepala Sekolah memberikan sebuah penghargaan yang tidak saya sangka-sangka. Ya Allah, rasa syukur itu kian menggunung memenuhi hati saya. Sementara saat itu, Mira masih dalam masa pemulihan pasca operasi. Ini menjadi penyemnagat yang luar biasa buat saya dalam mendampingi kesembuhan anak saya. Alhamdulillah....

Piagam Penghargaan dari Kepala Sekolah SDIT Thariq Bin Ziyah PHP, Bekasi (dokpri)
           Bentuk cinta dan balasan nikmat lainnya yang diberikan Allah Swt. adalah kesempatan untuk memberangkatkan Mama saya umroh di 21 Maret 2014 dengan uang yang sengaja saya kumpulkan dari hasil kegiatan menulis selama ini. Bukan ingin membuka apa yang sudah saya berikan, tapi ini hanya sekadar mengingat kebesaran dan kasih sayang Allah semata agar saya selalu ingat dan tidak lalai kapan pun di mana pun saya berada.  
Saat melepas Mama umroh di Bandara Soeta (dokpri)
Satu lagi bentuk cinta itu terbukti saat saya kembali diberi kepercayaan untuk menjadi narasumber. Tanggal 22 Maret 2014 Kepala Sekolah Global Kids School meminta saya untuk menjadi motivator dalam seminar parenting yang mereka gelar.
Kepercayaan diri saya lagi-lagi kembali meningkat ketika Majalah Annisa meminta saya menjadi narasumber di event Office to Office mereka. Tanggal 28 Maret 2014 saya menjadi pembicara di Bank Syari’ah Mandiri, Jakarta.
Saya kembali mengisi hari dengan menulis. Dua dongeng saya pun dimuat di Nusantara Bertutur Kompas Klasika. Saya juga memenangkan dua lomba menulis di blog. Artikel dan cerpen saya kembali mengisi rubrik cerpen di Majalah Annisa dan Majalah Noor. Cerpen saya terpilih dalam proyek buku antologi bersama teman-teman yang tergabung di Fiksiana Community. Antologi itu pun terbit dalam buku bacaan anak berjudul Alien Terakhiryang diterbitkan oleh DAR! Mizan.
Tanggal 5 April 2014, Haya Aliya Zaki mengajak saya untuk mengisi pelatihan menulis di SDIT Aulady Serpong bersama Benny Rhamdani. Ini menjadikan saya benar-benar merasa bangkit dan kembali percaya diri sebagai penulis. Terima kasih, Haya.
            Salah satu momen berkesan yang saya rasakan pasca kegamangan adalah kesempatan untuk bertemu dengan siswa-siswi Sekolah Dasar di Sabang. Ya, tanggal 19 April 2014 saya bersama tiga teman lainnya berkesempatan berkunjung ke sana. Dan, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya ingin perjalanan saya ke Aceh tetap membawa kenangan di bidang kepenulisan. Niat baik saya pun disambut dengan sangat baik oleh pihak SD Negeri 1 Sabang. Saya berbagi pengalaman menulis kepada 50 siswa di sekolah itu.

https://www.youtube.com/watch?v=rBWQTBbWiaU&feature=youtu.be
Foto-foto kegiatan saya (silakan diklik) - dokpri
            Sambil tetap mengisi hari dengan kegiatan menulis, mengajar, dan mengurus Majalah Insani, saya kembali menyempatkan diri melepas rasa rindu. Kerinduan untuk kembali berbagi ilmu dan pengalaman menulis di PKBM AL-Falah, sekolah anak-anak pemulung Bantargebang terpenuhi di bulan Mei 2014. Lalu, saya bisa kembali bertemu dengan anak-anak Lapas Tangerang untuk membimbing mereka menulis kisah-kisah pengalamannya. Alhamdulillah....
            Sebagai penulis, saya sesungguhnya mulai merasakan bahwa passion saya adalah mengajar. Itu sebabnya saya selalu senang jika ada permintaan untuk menjadi narasumber di event pelatihan menulis, seminar parenting, dan sejenisnya. Ketika permintaan untuk menjadi pemateri di workshop menulis untuk ibu-ibu Persit Kartika Chandra Kirana Cabang XL Brigif 15 Kujang II PD III/Siliwangi datang menghampiri, saya menyambutnya dengan antusias. Pertengahan bulan Juni 2014 saya pun mengisi acara tersebut.
            Di bulan September 2014 saya sangat bersyukur karena berhasil mendapat juara harapan 1 Lomba Menulis Cerpen oleh guru yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional.Di bulan-bulan berikutnya saya kembali dipenuhi semangat. Buku duet saya dengan Dian Kristiani berjudul Ke Tanah Suci, Yuk! pun menyusul terbit. Disusul oleh satu lagi karya saya terbit bersama para penulis komik muda Kecil-Kecil Punya Karya dalam judul buku Hantu Tak Berwajah.
            Catatan-catatan saya di blog tentang beragam event yang saya isi ternyata sedikit banyak dilirik oleh pembaca. Dari sana pula mereka mengenal saya dan akhirnya meminta untuk mengisi pelatihan serupa yang mereka gelar. Pengalaman saya menjadi narasumber kembali dipercaya. Ini bagian manfaat dari ngeblog tentunya.
Pada 27 Oktober 2014, saya diminta oleh Majalah Kartini untuk menjadi pembicara di seminar yang mereka gelar atas kerjasama dengan Ibu-ibu PIA Ardhya Garini Mabes TNI AU di Cilangkap. Materi yang saya sampaikan semua tidak jauh-jauh dari seputar profesi saya sebagai penulis.
            Rasa syukur itu takkan pernah berhenti saya rasakan. Mira anak saya pun kembali fokus pada hobinya menulis. Novel barunya berjudul Roseanne (terbit September 2014) membuat saya benar-benar merasa terharu. Mira menyelesaikan naskah novel itu beberapa hari setelah dia menjalani operasi. Saya pikir naskah itu takkan pernah selesai, namun Allah punya janji lain untuk anak saya. Mira berhasil menuntaskannya setelah keterpurukannya sekali lagi pasca operasi pengangkatan kantung empedu itu. Allahu Akbar!


Silakan diklik (Mira's Movie)

            Puncak kebahagiaan yang saya rasakan adalah ketika Allah Swt. memberi kami rezeki dan nikmat sehat yang tiara tara. Tanggal 20 – 29 November 2014 saya dan keluarga diberi kesempatan untuk mengunjungi bumi-Nya yang lain di Inggris Raya sana. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Alhamdulillah....           
         Sebagai penutup, di pertengahan Desember 2014 saya masih diberi kepercayaan dan kesempatan untuk kembali berbagi pengalaman. Saya menjadi salah satu pembicara di seminar parenting yang digelar oleh Gerakan Peduli Remaja. Lagi-lagi materi yang saya sampaikan tetap seputar dunia kepenulisan dan anak.
            Inilah catatan perjalanan saya di tahun 2014. Saya benar-benar merasakan dinamika selama setahun kemarin. Dan hingga di hari pertama di tahun 2015 ini saya belum berani memasang target, terutama di dunia menulis yang menjadi kecintaan saya. Biarkanlah semua mengalir menurut kehendak-Nya. Yang terpenting saya akan tetap terus menulis kecuali Allah menghentikannya.
Saya hanya memohon agar Allah selalu melimpahkan kesehatan, kekuatan, semangat, keberkahan serta ridhonya untuk saya. Begitu pula untuk suami dan kedua anak saya. Tanpa ridho-Nya, saya takkan mampu melangkah.
Mari melanjutkan langkah di tahun 2015. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk-Nya. Aamiin. [Wylvera W.]


Judulnya Jalan-Jalan Nekat (Part 3)

$
0
0


Mampir ke Markas MU dan Arsenal
Khalid dengan wajah sumringahnya (dokpri)

            Sebelumnya saya minta maaf ya. Terlalu lama menyambung lanjutan cerita perjalanan kami selama di UK kemarin. Maklumlah, lagi banyak deadline yang harus saya dahulukan (siapa yang nanya...hahaha). Baiklah, mari kita lanjutkan.
            Hari kedua kami merencanakan akan mengunjungi kota Manchester. Kota ini merupakan kota terbesar kedua yang ada di Inggris setelah London. Bagi penggemar sepak bola, nama Manchester pasti tidak asing lagi. Nama Manchester dikaitkan dengan dua klub sepak bola terbesar di dunia, Manchester United dan Manchester City. Dua klub utama yang berlaga di Liga Primer itu punya andil besar dalam mempromosikan kota ini ke kancah dunia. Kesimpulannya, Manchester dan Bola sulit untuk dipisahkan.
            Manchester ternyata tidak hanya memiliki klub sepak bola. Kota ini juga pas untuk dijadikan destinasi hiburan. Mulai dari musik, belanja, musium, galeri sampai gedung-gedung yang berlatar belakang sejarah bisa dijumpai di kota ini. Awalnya saya mengira kami punya cukup waktu untuk mengelilingi kota yang selalu dikunjungi oleh para wisatawan dari berbagai negara di Eropa dan Asia ini. Sayang, waktu kami tidak cukup untuk menjelajah ke sudut-sudut kotanya. Kami hanya punya waktu sehari. Musim dingin membatasi matahari untuk lebih lama bersinar. Itu pun akan terpotong dengan cepatnya gelap yang menyelemuti hari serta durasi perjalanan London - Menchester - London.
Silakan diklik rekaman Si Kakak yang super singkat ini :) (dokpri)
            Tujuan utama kami ke sana adalah mengunjungi markas Manchester United (MU) di Old Trafford, Greater Manchester, Inggris. Pukul 05.00 waktu London kami sudah bersiap-siap di penginapan. Setelah sholat subuh dan merapikan perlengkapan yang akan dibawa, kami pun bergegas menuju Camden Town Station. Sambung-menyambung naik kereta dalam kota London akhirnya membawa kami tiba di Euston Station.
Suami saya sudah memesan tiket London – Manchester return online dari Indonesia beberapa hari jelang keberangkatan kami ke London. Selain jauh lebih murah dibeli online kami juga tidak perlu khawatir tidak mendapat seat. Begitu keretanya ada, kami pun bergegas naik. 
Di kereta menuju Manchester (dokpri)
Perjalanan dari Euston Station, London menuju Manchester Piccadilly menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih. Kami tidak merasa bosan samasekali. Meskipun cuaca sedikit mendung di luar sana, pemandangan pedesaan khas Eropa tetap bisa kami nikmati. Si Kakak sibuk merekam perjalanan dengan kameranya. Sementara si Adik sibuk membahas oleh-oleh apa saja yang akan dia beli saat tiba di sana nanti.
Kami pun tiba di Manchester Piccadilly, nama stasiunnya. Untuk mencapai markas Manchester United kami harus naik bus lagi menuju Old Trafford Stadium. Tiba di lokasi, kami langsung berfoto-ria. Saya perhatikan ekspresi wajah anak laki-laki saya. Ada kepuasan terpancar di sana. Dia memang penggemar MU sejati. 

(dokpri)

Namun lagi-lagi sayang karena kami tidak ikut tour  mengelilingi indoor stadionnya yang berkapasitas hampir 76 ribu orang itu. Semua karena terbatas waktu dan biaya. Walau tarifnya tidak terlalu mahal tapi kalau buat berempat lumayanlah totalnya. Hehehe.... Tak apalah. Kami puaskan berfoto-foto di luar stadion saja. Bisa sampai di Old Trafford saja sudah membuat kebanggaan tersendiri bagi kedua anak saya. Sementara saya dan suami sebenarnya sudah pernah berkunjung ke sini beberapa tahun silam. Jadi kesempatan kali ini khusus untuk anak-anak kami.
Mira dengan ekspresinya yang aduhai :) (dokpri)

 
Selesai memuaskan diri berfoto-foto di udara yang semakin dingin, kami pun mampir ke MU Store. Beberapa merchandise berlabel MU sudah masuk keranjang dan siap dibayar. Kalau mengintip harganya, weeew... jangan ditanya. Penginnya membeli semua tapi kami harus selektif demi budget yang sudah diperkirakan. Yang penting anak-anak saya sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan terkait dengan MU ini.
Setelah selesai memilih-milih dan membayar di kasir, kami memutuskan untuk kembali ke stasiun kereta. Tak ada waktu lagi untuk mengeksplore kota Manchester. Sayang ya? Tapi tak mengapa, yang penting tujuan utama ke kota ini sudah tercapai dan anak-anak saya puas.
Tertangkap kamera saat di bus (dokpri)
Kami menunggu bus yang akan membawa kami kembali ke Manchester Piccadilly Station. Sebelum naik ke kereta kami sempatkan membeli bekal makanan. Dua jam perjalanan dengan udara yang dingin begitu cepat membuat perut lapar. Untuk itu saya dan suami tidak mau mengambil risiko melihat anak-anak kami kelaparan. Sandwich, minuman, cokelat, dan salad buah menjadi pelengkap perjalanan kami menuju kembali ke London.
Musim dingin membuat jarak pagi ke malam lebih pendek dari musim panas. Jarak dan sempitnya waktu memang sangat membatasi kami. Untunglah saat tiba di London hari masih terang. Kami sempatkan menambah perjalanan menuju Emirates Stadium.  
(dokpri)
Bagi pencinta Liga Primer Inggris nama stadion ini tentu tak asing lagi. Stadion ini kebanggaan klub papan atas Inggris, Arsenal. Emirates Stadium berlokasi di Islington, Holloway, London Utara, Inggris. Kesan mewah stadion ini tergambar dari ornamen yang terbuat dari kaca dan baja. Sementara Emirates Stadium berkapasitas 60.361 kursi untuk penonton. Sedikit lebih kecil dari Old Trafford.

(dokpri)
Karena hari mulai gelap, kami tak sempat puas berfoto di sini. Hanya ada beberapa foto saja. Namun di part berikutnya saya akan menyajikan lebih banyak foto-fota kami di Emirates Stadium ini karena kami mengulang ke sana di hari lainnya. Sebelum benar-benar gelap, kami pun kembali ke stasiun untuk menuju penginapan. Rasa lelah sudah sempurna menguasai. Setelah tiba di penginapan dan bebersih diri serta sholat, kami pun terlelap dengan sukses hingga esok harinya.
Sampai di sini, saya belum bisa berjanji untuk melanjutkan catatan perjalanan selama di Inggris ini ya. Masih banyak deadlineyang kembali harus saya tuntaskan. Semoga nanti belum terlalu basi untuk melanjutkannya kalau ada waktu. See you! (part sebelumnya bisa dilihat di sini dan di sini). [Wylvera W.]


Judulnya Jalan-Jalan Nekat (Part 4)

$
0
0


Gerimis di Oxford
           
            Meskipun terasa sudah basi, tapi saya tetap ingin melanjutkan catatan perjalan kami selama di Inggris. Paling tidak, ini bisa menjadi kenang-kenangan juga selain simpanan foto-fotonya. Yuk, mariii ....
            Di hari ketiga, kami kembali terbangun sebelum waktu subuh. Tujuannya supaya scheduleyang sudah ditetapkan tidak berantakan. Apalagi kamar mandi di dalam kamar penginapan cuma satu. Gak lucu ‘kan kalau telat bangun kami harus heboh rebutan buat mandi, lalu terlambat untuk sholat subuh.
Kami pun membuat kesepakatan. Hari pertama siapa yang pertama mandi, sholat dan siap lebih dulu. Begitu seterusnya, kecuali saya. Curang ya? Lha iya dong. Saya kan ibunya, jadi harus menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anak dulu. Meskipun hanya segelas teh untuk suami dan segelas susu buat anak-anak, tetap harus saya yang siapkan. Makanya, saya tidak pernah mendapat giliran pertama mandi. Hihihi ....
Suasana pagi di Camden Town (dokpri)
Menuju stasiun Camden Town. Masih gelap dan dingiiin .... (dokpri) 
        Singkat cerita, kami pun sudah selesai sekitar jam setengah tujuh pagi. Jalanan masih sepi. Pertokoan di Camden Town pun masih tutup. Hanya segelintir orang yang sesekali melintas. Toko makanan pun hanya satu dua yang sudah buka. Anak-anak saya sangat menikmati suasana ini. Sesekali Mira melepaskan udara dari mulutnya. "Jadi ingat Adek dulu suka kayak gini pas di Urbana," komentar Mira teringat kenangan saat kami tinggal di Urbana Illinois. Lalu dia mengulang lagi melakukanya seraya tersenyum melihat udara seperti asap yang baru saja keluar dari celah bibirnya.  
Toko-tokonya masih tutup (dokpri)


Menyempatkan fotoan di depan stasiun
Udara yang dingin menusuk kulit itu tidak terlalu kami rasakan. Sambil berjalan kaki, kami sesekali bercanda hingga akhirnya sampai di stasiun kereta (Camden Town Station). Tujuan kami di hari ketiga adalah Oxford, sebuah kota di Inggris dengan perguruan tinggi kelas dunia berstandar pendidikan yang super tinggi. 
Menunggu kereta di stasiun Camden Town (dokpri)
Selain itu, universitas tertua di Inggris adalah Oxford yang didirikan sejak tahun 1096. Oleh sebab itu, Oxford menjadi kota pelajar paling terkenal di Inggris. Oxford juga terkenal dengan bangunan-bangunan bergaya gotik dan victoria klasik. Gedung Christ Church Cathedral yang megah di Oxford pernah dipakai untuk lokasi syuting film Harry Potter. Itu yang membuat saya dan suami ingin kembali ke sana membawa kedua anak kami.
            Ada beberapa transportasi yang bisa dipakai untuk mencapai Oxford. Dengan kendaraan pribadi, bus atau dengan kereta. Kami tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan kereta dari London. Lagipula tiketnya sudah dipesan sejak sebelum berangkat ke London. Selain itu, pilihan naik kereta adalah alternatif paling efektif bagi pelancong seperti kami. Hemat biaya dan waktu.
Rekaman Mira selama di bus
Hasil rekaman Mira selama di dalam bus (dokpri)
            Lama perjalanan dari London menuju Oxford sekitar satu jam. Seperti hari-hari sebelumnya, kami tidak menyia-nyiakan pemandangan di luar jendela. Ini salah satu alasan mengapa suami dan saya lebih senang naik kereta menuju kota-kota di luar London. Pemandangan di luar jendela itu sangat menyejukkan mata. Walaupun udara mendung dan mulai gerimis, namun keindahan hamparan rumput hijau yang mulai kecokletan (warna khas musim dingin), mampu memberi ketenangan yang mungkin sulit kami temukan di Jakarta.

Memanfaat gerimis yang terhenti sejenak (dokpri)
Satu jam perjalanan bersama anak-anak tentu saja kerap diisi dengan canda dan tawa. Tidak ada yang rela untuk melanjutkan waktu tidur. Kami lebih memilih menikmati sarapan pagi dengan setangkup sandwich dan beberapa camilan ringan yang kami beli di stasiun sebelumnya. Begitulah cara kami agar tetap terjaga dari rasa lapar di tengah udara dingin. 
Setelah sejam menikmati perjalanan dengan kereta, akhirnya kami pun tiba di stasiun kereta Oxford. Setibanya di sana, hujan sudah sempurna turun. Kecewa mulai menyelinap di hati saya. Awalnya saya ingin menunjukkan kepada anak-anak saya tempat-tempat menarik di Oxford, seperti gedung-gedung universitasnya. Sayang sungguh sayang, saya tak bisa mengulang kenangan saat pertama kali saya mengunjungi kota ini bersama suami. 
Foto ini dari koleksi album lama saya saat pertama kali ke Oxford (dokpri)
           Bukan hanya hujan, udara di luar pun sangat dingin. Payung dan sarung tangan tidak cukup membantu untuk berjalan kaki menembus udara yang menusuk di kulit. Maka dengan berat hati, akhirnya kami memutuskan menaiki bus untuk mengelilingi sudut-sudut kota Oxford. Saya lagi-lagi menekan rasa kecewa karena tidak bisa melakukan walking tour bersama anak-anak saya. Jadilah kami hanya bisa menikmati pemandangan bangunan-bangunan klasik dan bersejarah dari balik jendela bus yang basah. Saya berusaha menyimpan rasa kecewa di hati. Tidak enak rasanya kalau anak-anak melihat ekspresi muka saya yang kecut. Hikks .... 
Lupa, bangunan di belakang itu apa ya? :) (dokpri)
Karena tidak bisa masuk, berfoto di luar sajalah (dokpri)
            Selama berkeliling di atas bus, saya melihat Mira tetap berusaha memotret apa yang bisa tertangkap oleh kameranya. Di putaran pertama, kami tetap bertahan di dalam bus sambil berusaha menikmati pemandangan dari balik jendela. Ketika hujannya sedikit reda, kami mencoba turun dari bus. Namun tidak banyak gedung yang bisa kami singgahi. Yaaah, minimal ada beberapa foto yang bisa kami ambil. 
Di depan The Museum of the History of Science (dokpri)
Hanya ini foto yang bisa kami ambil. :( (dokpri)
             Karena cuaca yang kurang bersahabat, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke London. Saat tiba di London, hari sudah mulai gelap. Ditambah udara yang dinginnya luar biasa, membuat kami tidak bisa lagi berimprovisasi meneruskan destinasi lainnya di London. 
Di stasiun kereta, tak kuat menahan dingin (dokpri)
Satu-satunya keputusan yang harus diambil di cuaca dingin berbaur hujan itu adalah kembali ke penginapan. Saya juga tidak ingin anak-anak jatuh sakit karena bolak-balik terkena hujan. Jadi, perjalaanan di hari ketiga (Minggu, 23 November 2014) ini kami hanya bisa mengunjungi Oxford.
            Baiklah, tunggu catatan hari berikutnya ya. ;) [Wylvera W.]

Note: part lainnya ada di sini, sini, dan sini ya. :)

Judulnya Jalan-Jalan Nekat (Part 5)

$
0
0
Menuju Cambridge dan Kembali ke Emirates


Catatan perjalanan saya di Inggris bersama keluarga belum berakhir. Bagi yang masih setia mengikuti, inilah lanjutannya. Kalau sudah bosan tapi terlanjur mampir, sayang lho kalau tidak diselesaikan bacanya. Hahaha ....

Baiklah, mari kita lanjutkan. Tujuan kami di hari keempat adalah Cambridge, kota yang terkenal dengan kekayaan sejarah, pendidikan, serta budayanya. Ratu Elizabeth saja sampai memberi gelar kepada Pangeran William dan Kate Middleton sebagai Duke and Duchess of Cambridge. Gelar ini katanya adalah gelar bangsawan Kerajaan Inggris yang tertinggi dibanding gelar bangsawan lainnya.

Lalu, mengapa Cambridge, bukan Wales yang menjadi tempat tinggal Pangeran William selama ini? Hmm, ternyata Cambridge adalah kota favorit Ratu Elizabeth untuk dikunjungi. Jadi, beruntung sekali rasanya saya dan keluarga bisa ke sini. Apalagi untuk saya dan suami, ini adalah kunjungan kedua setelah tahun 2010 lalu. Tulisan saya tentang Cambridge sebenarnya sudah pernah dimuat di Majalah Annisa, silakan jika ingin membacanya di sini. Agar tidak mengulang catatan, untuk kota Cambridge, silakan dibaca di link postingan saya itu, ya. Hehe ....

Mari kita teruskan.
Seperti di pagi-pagi sebelumnya, kami tetap terbangun sebelum waktu subuh. Segera bersiap dan tetap bersemangat melanjutkan rencana kunjungan berikutnya. Udara masih tetap sama. Lumayan dingin, tapi kami tetap bertahan berjalan kaki menuju Camden Town Underground Station. Dari stasiun ini kami memilih London King’s Cross Station. Stasiun kereta ini pernah dipakai sebagai salah satu lokasi pembuatan film Harry Potter. Di sinilah letak Platform 9 3/4 tempat Harry Potter mengejar kereta menuju Hogwarts. Tiba di King's Cross Station, Khalid menyempatkan diri berpose di Platform 9 3/4 itu.

Kembaran Harry Potter. Hahaha ....(dokpri)
Berpose sebelum naik ke kereta (dokpri)
Dari sini kami akan menaiki kereta cepat menuju stasiun Cambridge. Setelah selesai berfoto-foto, kami langsung melihat jadwal keberangkatan yang terpampang di layar monitor berukuran besar. Masih ada sekitar 45 menit lagi waktu keberangkatan kereta menuju Cambridge. Suami saya memutuskan untuk membeli bekal makanan dan minuman. Lagi-lagi tidak ada pilihan makanan yang nyaman selain sandwich udang dan tuna dari roti gandum, salad buah, cokelat, serta beberapa wafer dan air mineral. Inilah yang paling praktis dan aman untuk menemani kami selama di kereta. Lumayanlah untuk mengganjal perut hingga ke jam makan siang.
Rekaman Mira selama di kereta menuju Cambridge
Perjalanan menuju Cambridge memakan waktu sekitar 45 menit. Tidak ada yang terasa membosankan setiap kali menaiki kereta antar kota ini. Seperti yang saya gambarkan sebelumnya, suguhan pemandangan di luar jendela selalu menjadi teman yang menyenangkan. Dan, Mira tak pernah abai untuk mengabadikan dalam rekaman video di kameranya.

Tanpa terasa, kami pun tiba di stasiun Cambridge. Pendapat saya tentang kota Cambridge belum berubah. Menurut saya, kota ini tetap menjadi salah satu kota terindah di United Kingdom. Selain itu, Cambridge juga terkenal karena Cambridge Unversity. Persyaratan masuk ke universitas ini sangat ketat. Banyak ilmuwan juga berasal dari Cambridge University. Dua diantaranya adalah Charles Darwin yang populer dengan teori evolusinya dan Isaac Newton si penemu kalkulus.
Itulah salah satu alasan mengapa saya kembali memilih kota ini di kunjungan kami ke Inggris kemarin. Mungkin karena saya belum melihat kota-kota lainnya ya? Hahaha ....

Sebenarnya sebelum memesan tiket lewat online, suami saya mengajukan alternatif kota lain. Saya bertahan memilih Cambridge. Saya ingin anak-anak saya juga ikut melihat apa yang pernah kami lihat dan rasakan di sini. Satu hal lagi, biar sama dong dengan Ratu Elizabeth, yang menjadikan Cambridge sebagai salah satu kota favoritnya untuk dikunjungi. Uhuk!

Menyusuri jalanan di udara dingin (dokpri)

Namun, apa yang kami nikmati saat berkunjung ke kota ini beberapa tahun silam, ternyata tidak bisa sepenuhnya dinikmati oleh kedua anak saya. Alasan pertama, musimnya tidak terlalu pas untuk mengeksplor sudut kota dengan berjalan kaki. Baru sepertiga perjalanan, kaki kami sudah terasa kaku karena menahan dingin. Bahkan suami saya sempat mengatakan, kalau ternyata staminanya di udara dingin tidak sekuat dulu lagi.
Brosur HoHo Bus (dokpri)
Di dalam HoHo Bus (dokpri)
Tidak ada pilihan lain. Kami terpaksa kembali memilih City Sightseeing Tour (Hop on Hop off atau disingkat dengan HoHo Bus). HoHo bus yang kami naiki akan berhenti di halte bertanda khusus. Ada sekitar 19 pemberhentian. Jika kita turun pada satu halte dan ingin melanjutkan dengan berjalan kaki, kita bisa kembali menaiki bus di halte lainnya. Yang penting ada tanda khusus pemberhentian Hoho Bus ini. Harga tiket Hoho Bus untuk family adalah 35 Poundsterling. Hoho Bus yang kami naiki mulai bergerak dan melewati jalan-jalan yang akan melewati beberapa bangunan bersejarah, gedung-gedung Universitas, dan College.
Ini rute yang akan dilewati oleh HoHo Bus (dokpri)
Saat di atas bus, ada insiden yang hampir membuat mood kami kacau. Kamera Mira mendadak tidak bisa diklik. Banyak momen yang terlewat dan tidak bisa terekam oleh kamera. Suami saya sempat menyesal tidak membawa dua kamera. Apa boleh buat, kami harus tetap meneruskan perjalanan. Kami pun hanya bisa mengabadikan beberapa diantaranya saja. Foto-foto selanjutnya hanya menggunakan kamera hape.
Salah satu yang tertangkap kamera dari bus (dokpri)
Setelah menelusuri beberapa jalan, kami ingin mencoba kembali menyambung perjalanan dengan berjalan kaki. Kami turun di salah satu pemberhentian Hoho Bus. Buzzz...! Udara dingin kembali menampar kulit. Sambil menahan rasa dingin, kami terus mencoba berjalan kaki menyusuri jalan yang diapit oleh gedung-gedung klasik.

Di depan King's College Chapel (dokpri)
Tukang foto difoto, beginilah jadinya:p (dokpri)
Hingga akhirnya kami tidak kuat lagi dan memutuskan untuk masuk ke salah satu toko suvenir. Untung pemilik dan penjualnya sangat ramah. Perempuan muda bermata biru itu menyambut kami dengan hangat.

Awalnya tidak ada niat untuk membeli. Kami hanya sekadar ingin melihat-lihat dan menghangatkan badan. Namun setelah melihat koleksi benda-benda duplikat yang dipakai oleh para tokoh dalam film Harry Potter, niat pun berubah drastis. Mira mulai sibuk memilih beberapa suvenir dan memindahkannya ke keranjang belanja. Sementara saya sibuk berpose dengan tongkat sihir Harry Potter. Tak pakai kamera canggih, hape pun jadi. Hahaha ... teuteup!

"Expecto patronum!" Hahaha  (dokpri)
Saat kami berdua sibuk melihat-lihat di toko suvenir itu, suami saya mengajak Khalid mencari minuman hangat di luar toko. Setelah kami puas memilah-milih dan berfoto, Khalid dan Bapaknya kembali dengan empat cup teh hangat. Kami pun segera membayar di kasir dan mengucapkan terima kasih. Duh! Senyum kasirnya maniiis sekali. Mungkin dia geli melihat saya (a.k.a emak-emak) yang sejak tadi sibuk dengan tongkat sihir, tapi tidak jadi membelinya. Mahal Bo’... hahaha.

Baiklah, perjalanan kembali dilanjutkan. Dari awal saya sudah ingin sekali mengajak anak-anak untuk menyusuri Sungai Cam (River Cam) dengan berperahu atau punting. Lagi-lagi sayang, ternyata acara punting ditutup pada musim dingin. Sebenarnya ada yang menawarkan pada kami saat itu. Mereka adalah para mahasiswa yang sedang libur kuliah. Tapi, suami saya orangnya sangat taat pada peraturan. Ia menganggap itu tidak legal, karena sejak awal sopir HoHo Bus sudah tegas mengatakan, bahwa tidak ada kegiatan punting di musim dingin.

Kegiatan puntingnya ditutup. Sedih :(  (dokpri)

Sepi di musim dingin (dokpri)
Anak-anak gak bisa berpunting seperti saya dulu (dokpri dari foto lama)
Sebelum menolak tawaran anak-anak mahasiswa itu, suami saya meminta waktu untuk berdiskusi bersama saya dan anak-anak. Jujur saja, dalam hati saya masih berharap agar suami sedikit nekat untuk kali ini saja. Tapi, ternyata bukan suami saya namanya kalau suka mencoba-coba hal yang menurutnya tidak legal. Meskipun ada beberapa rombongan turis yang menerima tawaran itu, samasekali tidak membuat suami saya goyah pada penolakannya.
Hanya bisa berfoto saja. :(  (dokpri)
Diam-diam saya kembali merasakan kekecewaan seperti saat di Oxford. Obsesi saya ingin ber-punting bersama suami dan anak-anak gagal total. Susah rasanya mengusir rasa kecewa itu.

“Kenapa? Kecewa?” tanya suami setengah berbisik. Mungkin dia membaca ekspresi wajah saya yang dingin. Jujur saya mengangguk pelan tanpa terlihat oleh anak-anak kami.
“Kalau ada rezeki nanti kita ke sini lagi,” ujarnya membuat kedua kelopak mata saya membesar. Bukan marah lho, tapi senangnya bukan main. Aamiin ....

Lalu, melihat kedua anak saya tetap enjoy saja, akhirnya saya benar-benar melupakan keinginan itu. Dan, untungnya kamera Mira bisa berfungsi kembali setelah dikotak-katik oleh suami saya. Saya pun sibuk mengambil foto Mira dan Khalid dengan latar belakang River Cam.
Tetap ceria walau batal berpunting :) (dokpri)
Setelah berfoto-foto di tepi River Cam, kami sudah tak kuat lagi untuk berjalan kaki. Kami memutuskan untuk kembali menaiki HoHo Bus sampai ke stasiun Cambridge. Perjalanan menuju kembali ke penginapan tiba-tiba berubah haluan. Mira dan Khalid ingin kembali ke Emirates. Mereka ingin membeli beberapa merchandise, untuk teman-temannya yang nge-fans sama klub sepak bola Arsenal. Waktu kemarin mereka tak sempat melihat-lihat tokonya karena keburu gelap.

Supporter MU belajar sportif, hahaha (dokpri)
Di situ tokonya! (dokpri)
Demi menyenangkan anak-anak, kami pun mengikuti keinginan mereka. Sisa hari yang masih terang, kami lanjutkan untuk kembali ke kandang Arsenal itu. Sebelum memasuki toko tempat menjual segala benda yang berlabel Arsenal, Mira dan Khalid kembali berfoto-ria.
“Biar nggak ngefans yang penting sudah pernah fotoan di sini!” seru Mira dengan mimik mukanya yang lucu.
"Aku sudah ke sini!" ;) (dokpri)

"Aku juga!" (dokpri)
Akhirnya kunjungan kedua ke Emirates berakhir dengan membeli beberapa merchandise-nya. Setelah itu kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Lelahnya baru terasa ketika tiba di stasiun kereta Camden Town. Perut pun ikutan lapar.

Sebelum sampai di penginapan, kami mampir di KFC bertanda halal yang terdekat. Lokasinya masih berdekatan dengan tempat penginapan kami. Suami saya membeli paket ayam yang berisi 8 potong ayam berukuran sedang. Begitu selesai membayar, box berisi ayam goreng hangat itu pindah ke tangan saya. Hmm ... aromanya sudah sangat menggoda. Membuat perut semakin berbunyi pengin segera diisi. Kami pun buru-buru mencapai penginapan. Setelah bersih-bersih dan sholat, ayam KFC pun siap disantap habis. Hmm, kenyaaang. Bobo’ dulu ya. Nanti pasti dilanjutkan lagi ceritanya. Cu! [Wylvera W.]

Note: Catatan perjalanan sebelumnya ada di sini, sini, sini juga, dan sini lagi. :)

Jalan-Jalan Nekat (part 6)

$
0
0


Dari Tower Bridge, Sherlock Holmes Museum, sampai ke Buckingham Palace

Di hari ke-5 (25 November 2014) kami tetap berusaha bangun sebelum subuh. Sedikit berbeda dari empat hari sebelumnya. Suami saya tidak bisa ikut menemani kami mengeksplor kota London. Mulai tanggal 25 – 27 November 2014 beliau harus mengikuti kursus Macro Prudential (gabungan makro dan mikro ekonomi) di Bank of England.
Walaupun kurang seru tanpa si Bapak, saya dan anak-anak tidak mau juga kalau hanya diam di penginapan. Kami bertiga harus siap melakukan penjelajahan. Tidak masalah, yang penting pegang map, punya tujuan, punya tiket kereta dan bis, dan sedikit mahir berbahasa Inggris tentunya, biar tidak tersesat di London.
Mampir ke Tower Bridge 
Kami berangkat sedikit lebih siang dari hari sebelumnya. Sekitar jam 7 pagi waktu London. Perjalanan kami tetap dimulai dari stasiun bawah tanah Camden Town. Kali ini kami menaiki tube  dengan rute menuju Bank Station. Kami ikut si Bapak sampai ke lokasi Bank of England yang tidak jauh dari stasiun itu. 
Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Gerbong kereta dipadati oleh mayoritas penumpang yang akan berangkat kerja. Aroma parfum pun menyeruak. Wanginya berganti-ganti. Perjalanan singkat menuju Bank Station itu membuat saya sibuk menebak-nebak merek parfum yang dipakai bule-bule di dekat saya. Hahaha ... iseng. Iya dong, wanginya nggak ada yang standar. Semuanya terkesan berkelas di penciuman saya. Halaaah ...!

Di situ pintu masuk Underground Bank Stationnya (dokpri)
Tak berapa lama, kami pun sampai di Bank Station. Sebelum mencapai pintu keluar, kami harus berjalan bersama sebagian penumpang tube yang juga turun di situ. Mira, anak sulung saya sempat berkomentar.
“Kebayang enaknya kalau aku bisa kuliah di sini deh, Bu. Aku suka melihat rutinitas pagi dan sore di London ini. Meski terjadwal begitu setiap harinya, tetap ada kesan nyeninya. Aku suka banget style bule-bule ini,” ujarnya sambil terus berjalan menyamai langkahku di lorong stasiun menuju pintu keluar.
“Iya, makanya kalau memang pengin bisa nerusin studydi sini, ya harus punya planningjauh-jauh hari, Kak. Gak bisa di situ mau di situ dapat. Kalau nggak bisa dapat beasiswa ya agak susahlah. Biaya hidup di sini tinggi banget,” balasku membuka realita agar Mira paham, bahwa mencapai mimpi besar itu harus punya perencanaan yang matang. Apalagi mimpi itu harus diraih dari negeri sekelas United Kingdom. Aku tidak mau Mira bermimpi dan seterusnya meletakkan mimpi itu sepenuhnya di pundak Bapaknya. Dia harus mampu menatanya dengan usaha yang maksimal dan tidak semata-mata bergantung pada uang Bapaknya.
Baidewey, silakan berangan-angan, Nak. Lambungkanlah mimpimu, tapi jangan lupa menyertakannya dengan realita, agar kau paham bagaimana proses untuk mencapainya, bisikku dalam hati. Setelah itu, kami kembali diam menikmati irama langkah kaki-kaki jenjang yang bergegas mencapai tempat kerja mereka masing-masing.
Tidak berapa lama, kami pun sudah berada di mulut pintu masuk Underground Bank Station. Masih ada waktu sekitar 45 menit lagi menuju jadwal kursus suami saya. Karena belum sempat sarapan di penginapan, kami pun memutuskan untuk mampir ke semacam kafe terdekat. Kami memesan teh manis hangat dan kue-kue yang rasanya manis bukan main. Sebenarnya saya tidak begitu suka, tapi demi mengganjal perut, okelah.
Selesai menghabiskan minuman dan sepotong kue, suami pun pamit dan meninggalkan kami bertiga. Saya dan anak-anak langsung menuju Tower Bridge yang lokasinya masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. Lumayan capek memang, apalagi udara tidak terlalu mendukung. Seperti itulah, udara dingin ternyata lebih cepat membuat sendi-sendi terasa lelah. Namun, semangat tetap memancar dari mata Mira dan Khalid. Meskipun selalu sedikit tertinggal di belakang, saya harus tetap semangat menyamakan langkah dengan mereka.

Berfoto dengan latar Tower Bridge. Minus si Bapak. (dokpri)
Kalau ini namanya Tower Bridge (dokpri)
Sekitar 20 menit berjalan kaki, kami pun tiba di lokasi Tower Bridge. Sebelumnya saya dan anak-anak sempat terkecoh dengan lokasi Tower Bridge dan London Bridge. Letak London Bridge tidak jauh dari Tower Bridge dan keduanya sama-sama berada di atas River Thames.

Nah, ini baru London Bridge (dokpri)
Tower Bridge adalah salah satu jembatan yang cukup terkenal di dunia. Jembatan ini bisa diangkat jika ada kapal besar yang akan lewat di bawahnya. Kabarnya, pembangunan jembatan ini menghabiskan waktu sekitar 8 tahun (1886 – 1894). Wow! Lama juga ya?

Mira, saya, dan Roseanne - (dokpri)

Karena masih di jam kerja, maka area di sekitar jembatan yang populer di London itu keliatan sepi. Kami pun sibuk mengambil foto. Mira juga tak mau ketinggalan berpose bersama novel terbarunya. Sayangnya saya justru lupa membawa buku-buku karya saya. Mira pun meminta saya ikut berpose dengan novelnya. Klik! Saya dan “Roseanne” pun foto bersama dengan latar belakang Tower Bridge yang megah.
Mampir ke rumah Sherlock Holmes
Setelah puas berfoto-foto, saya dan anak-anak kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan berikutnya adalah Sherlock Holmes Museum. Saat ke London lima tahun lalu, saya terlewat menyinggahinya. Kali ini tidak boleh lagi. Apalagi anak-anak saya sudah menjadwalkannya di list perjalanan kami.
Dari stasiun terdekat di sekitar Tower Bridge kami harus mengambil rute yang menuju Baker Street Station. Museum Sherlock Holmes yang berbentuk rumah itu ada di 221B Baker Street. Museum ini sudah ada sejak tahun 1990. Lokasinya pun sesuai dengan alamat yang tertera di novelnya. 

Di depan pintu masuk museum (dokpri)
Mengisi buku daftar pengunjung museum (dokpri)
Yaaay! Ada nama kami di situ! (dokpri)
Sebagai penggemar karya dr. Sir Arthur Conan Doyle (penulis dari Skotlandia) ini, tentu saja museum Sherlock Holmes menjadi salah satu tujuan saya. Sherlock Holmes adalah seorang detektif (fiktif sebenarnya) yang cerdik, unik, serta mampu mengadopsi hampir semua penyamaran dalam kasus-kasus yang diselidikinya. Bagi penggemar novel-novel Sherlock Holmes, pasti bisa lebih rinci menggambarkan sosok pria yang belakangan akrab dengan cangklong di bibirnya.

Itu salah satu fotonya (dokpri)
Lagi serius banget membaca sejarah Sherlock Holmes (dokpri)
Begitu tiba di depan museum, kami melihat antrian pengunjung yang tidak begitu ramai. Mungkin karena bukan hari libur. Tapi, jangan coba-coba datang di siang hari saat hari libur. Apalagi saat musim dingin. Antrian yang panjang akan membuat kita terlanjur lelah sebelum masuk. Oh iya, museum ini selalu buka setiap hari mulai jam 9 sampai 6 sore. 

Kamar Sherlock Holmes (dokpri)
Setelah berfoto bersama penjaga pintu museum, kami pun masuk ke toko merchandise yang menjual segala suvenir dan buku-buku Sherlock Holmes. Di toko itulah tempat penjualan tiket masuk ke museumnya. Harga tiketnya £8 untuk dewasa, £5 untuk anak-anak (di bawah 16 tahun). Setelah membeli tiket masuk, kami pun kembali keluar. Letak museum bersebelahan dengan toko merchandisetersebut.
Koleksi novel Sherlock Holmes yang boleh dibeli (dokpri)
Begitu naik ke lantai satu, mata kami langsung fokus pada isi museum. Penggambaran dan tata letak isi museum seolah mengisyaratkan bahwa tokoh fiktif Sherlock Holmes ini benar-benar ada dan hidup di zamannya. Di novelnya, Sherlock Holmes tidak tinggal sendiri. Dia tinggal di rumah itu bersama sahabat dekatnya, dokter John H Watson. Maka barang-barang Watson juga ada di museum ini. Karena saking excitednya, kami tidak merasa bahwa anak tangga yang kami naiki sejak tadi sudah mencapai empat lantai. Luar biasa! Itu kesimpulan saya.
Kamar dr. Watson (dokpri)
Puas sudah mata melihat dan mengabadikan isi museum Sherlock Holmes dalam kamera. Kami pun keluar dengan membawa catatan yang berjejal di kepala. Tiba di luar, cuaca lumayan cerah. Saya melirik jam tangan. Masih jam dua belas siang. Melihat cuaca yang cerah, anak-anak saya requestuntuk mengembalikan dua payung kami ke penginapan. Alasan mereka, berat dan ribet membawa-bawa dua payung di cuaca cerah.
Sebenarnya dalam hati saya ingin menolak. Hujan tidak bisa ditebak kapan turunnya selama di London ini. Tapi Mira dan Khalid sepakat meminta saya kembali ke penginapan sebelum melanjutkan perjalanan. Baiklah, saya menuruti mereka. Setidaknya kami bisa makan siang dan menjamak waktu sholat.
Gerimis di Buckingham Palace
Selesai makan dan sholat, kami kembali bergegas menuju stasiun untuk melanjutkan destinasi berkikutnya. Tujuan terakhir di hari kelima ini adalah Buckingham Palace. Tiba di Green Park Station, kami harus berjalan kaki lagi menyusuri taman yang memilik nama sama dengan stasiunnya.
Istana ini adalah tempat kediaman resmi Ratu Elizabeth II dan menjadi kantor adiministrasi kerajaan Inggris. Bangunan aslinya didirikan pada tahun 1850, lalu didesain ulang pada 1913. Menurut sejarahnya, Buckingham Palace ini dipersembahkan oleh Duke of Buckingham kepada istrinya. Raja George IV meresmikan istana ini pada tahun 1826. Dari sinilah nama Istana Buckingham diambil. Saat Ratu Victoria bertahta, istana ini resmi dijadikan sebagai kantor administrasi kerajaan Inggris (1837).
Green Park yang mulai kecokelatan (dokpri)
Musim dingin mengubah warna Green Park menjadi abu-abu (dokpri)
Tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke London tanpa mampir ke Bukcingham Palace. Sama seperti kami, turis dari berbagai negara pun menjadikan istana ini sebagai salah satu lokasi wisata favorit. Itu sebabnya, area istana ini tidak pernah sepi oleh turis. Sayangnya, Istana Buckingham tidak dibuka untuk umum setiap hari. Sudah ada jadwal khusus yang diberlakukan oleh pihak istana, yaitu di musim panas (bulan Juli – September). Kedatangan kami di musim dingin, maka kami harus puas dengan menikmati dan mengagumi keindahan istana dari luar saja.

Mira dan Khalid di depan Buckingham Palace (dokpri)

Tidak jauh dari Istana Buckingham, ada taman yang sangat terkenal di London. St. James Park namanya. Taman ini milik kerajaan yang terbuka untuk umum. Kami pun bergegas menuju ke sana. Saya ingin sekali memperlihatkan kepada anak-anak saya keindahan taman itu. Namun, saat semangat-semangatnya ingin menelusuri St. James Park, tiba-tiba gerimis turun. Saya tersenyum melihat ekspresi wajah Mira dan Khalid. Keputusan mereka untuk mengembalikan dua payung yang biasa kami bawa kemanapun selama di UK itu, ternyata salah. 
St. James Park di tengah gerimis (dokpri)
Foto saat saya pertama kali ke sini (dokpri)
Kalau hujan tidak turun dan cuaca tidak berubah mendung, di taman ini kita bisa menikmati pemandangan yang indah. Bangku-bangku yang disediakan di sepanjang jalan taman itu,  seharusnya bisa dipakai untuk besantai sambil memandangi bebek-bebek yang berenang di kolamnya. Bahkan beragam jenis burung serta tupai biasanya berlarian di sekitar taman. Apa boleh buat, kami harus mengurungkan niat untuk itu. Keputusan akhir adalah segera kembali ke stasiun dan pulang ke penginapan hingga menunggu si Bapak kembali dari kursus.
Sampai di sini, masih sabarkah menunggu lanjutannya? Tunggu ya! [Wylvera W.]

Note: Catatan part sebelumnya (part 5) ada di sini

Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan UU ITE

$
0
0
Saat membaca undangan di grup Learning Forever, saya langsung tertarik. Apa itu Learning Forever? Grup ini adalah tempat para blogger yang pernah ikut di Workshop "Fun Bloging" dengan pemateri tiga perempuan cantik; Ani Berta, Haya Aliya Zaki, dan Shinta Ries.
 
Kembali ke undangan yang di-share di grup tersebut. Isinya adalah tentang“Dialog Kemerdekaan Berekspresi di Media Sosial Indonesia” yang digelar oleh Forum Demokrasi Digital (fdd). Sebagai pengguna media sosial yang hampir tidak pernah absen setiap harinya, saya juga ingin tahu apa yang perlu dipahami. Namun, mengingat akan ada pembahasan undang-undang di situ, saya yakin topik yang akan dibahas cukup berat. Namun, saya berharap akan banyak pengetahuan baru yang bisa saya dapatkan di acara itu, terutama yang terkait dengan penggunaan media sosial.

Ini undangannya (foto dari LF)
Untuk alasan itu, di hari Selasa, 3 Februari 2015, pagi-pagi sekali saya sudah bersiap untuk berangkat. Saya sengaja ikut dengan suami yang tempat kerjanya searah dengan lokasi acara (Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta Pusat). Di undangan terjadwal acara akan dimulai pada pukul 08.30 WIB. Jadi, saya pikir sudah paslah jika saya ikut sekalian dengan suami.

Setelah mengantar suami ke kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, saya pun langsung meluncur ke lokasi acara. Saat tiba depan ruangan acara, suasana masih terlihat sepi. Di meja penerima tamu saya bertemu dengan Mas Eddy Prasetyo a.k.a Mataharitimoer. Kepada beliaulah saya mendaftar sebagai peserta undangan beberapa hari sebelumnya. Setelah berbincang sebentar saya akhirnya masuk ke ruangan.
Belum ada pesertanya:) (dokpri)
Ternyata ada yang lebih pagi datangnya dari saya. Setelah saling berkenalan, saya akhirnya tahu kalau mereka adalah pasangan suami istri yang akan berbagi di acara dialog itu. Bagi yang tidak pernah absen memantau perkembangan berita, pasti tahu nama Ervani Emi Handayani. Dialah salah satu korban UU ITE yang belakangan santer jadi objek berita di media. Ervani datang dari Jogjakarta bersama suami.
Saya dan Ervani (dokpri)
Wah! Saya senang sekali bisa berkenalan dan berbincang lebih dulu dengan mereka. Tanpa sungkan Ervani bercerita tentang kasus yang telah menimpanya kepada saya. Gara-gara memasang status di akun facebook, terkait ketidakpuasan dan kritik terhadap perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja (ini salah satu link beritanya), Ervani dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dari pengalaman pahit beliau, saya bisa memetik pelajaran penting dalam adab dan etika bersosial media.
Mas Banyumurti sebagai moderator acara (dokpri)



Setelah menunggu sekitar satu jam lebih, acara pun dibuka oleh Moderator, Indriyanto Banyumurti (Relawan TIK). Pada kata pembuka yang disampaikan, Mas Banyu menginformasikan bahwa acara dialog bersifat diskusi cair dan santai. Semua yang hadir diperbolehkan mengajukan pertanyaan, pendapat, serta masukan sesuai dengan topik yang akan dibahas.

Mas Ipul Gassing (dokpri)
Serius menyimak (dokpri)
Selanjutnya, paparan pertama disampaikan oleh Ipul Gassing, mewakili SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara. Ipul memaparkan beberapa kasus pelanggaran kebebasan berinternet di Indonesia yang tercatat oleh SAFENET sejak tahun 2008 – 2014. Sejak tahun 2008, UU ITE telah melahirkan 74 kasus dan tersebar di dunia maya dan dicatat oleh SAFENET.

“Kami percaya, masih banyak lagi kasus di luar itu yang tidak sempat tercatat oleh SAFENET,” ujar Ipul.

Dalam lanjutan paparannya, Ipul menyebutkan bahwa ada 53% kasus (30% dengan rata-rata 4 kasus perbulannya) terjadi di tahun 2014 terkait dengan status di internet. Sebarannya terjadi mulai dari Aceh sampai ke Sulawesi Selatan (Makasar). Sebanyak 92% kasus yang dilaporkan adalah tindakan pencemaran nama baik, baik di akun facebook, SMS, twitter, bahkan di ranah yang dianggap tertutup, seperti line group. Namun, menurut catatan SAFENET, kasus serupa belum pernah terjadi di Timur karena kesulitan berinternet di sana.

Sementara, 71% dari kasus tersebut dibawa ke pengadilan dan 13% dinyatakan bersalah serta menerima hukuman di bawah 1 tahun penjara. Sisanya selesai begitu saja tanpa kejelasan. Lalu, 37% dari 74 kasus tadi, dilaporkan oleh pejabat publik. Pejabat publik ini melaporkan warganya yang telah mencemarkan nama baik lewat media sosial.

Ipul memaparkan contoh terkait dengan pencemaran nama baik tersebut. Salah satunya adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan yang melibatkan Muhammad Arsad sebagai pelakukanya. Arsad mengkritik kebijakan pejabat Selayar melalui status BB-nya. Status itu membuat Arsad dilaporkan telah mencemarkan nama baik. Tidak hanya dipenjara, Arsad juga dicopot dari jabatannya.

Sesi berikutnya diselingi dengan acara launching buku rangkaian seri “Internet untuk Semua”, hasil penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Buku diserahkan secara simbolis oleh Wahyudi Djafar (wakil dari ELSAM) kepada Ervani Emi Handayani (salah satu korban UU ITE). Ada empat rangkaian seri buku yang di-launching pada acara tersebut.

Penyerahan buku ELSAM secara simbolis (dokpri)
Di dalam buku berjudul “Membelenggu Ekspresi” yang disusun oleh ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) itu dikatakan, bahwa meningkatnya penggunaan internet telah berdampak pada terjadinya peningkatan jumlah kasus dan jenis kejahatan dunia maya. Berangkat dari sana, maka dibuatlah sejumlah kebijakan yang dimaksudkan bisa mengontrol dan mengawasi penggunaan internet, yang dibarengi dengan ancaman pemidanaan.

Kebijakan ini khususnya yang terkait dengan konten internet itu sendiri. Ada dua isu penting terkait dengan pengaturan konten internet, yaitu isu mengenai pembatasan dan penyaringan konten, serta pemidanaan terhadap pengguna akibat konten yang disebarluaskan. Ini pula yang menjadi bagian pembahasan dalam dialog.

Acara berikutnya adalah sharing pengalaman pahit yang telah menimpa para korban implementasi UU ITE. Sharing pertama disampaikan oleh Wisniyetti, salah satu korban UU ITE asal Bandung. Wisniyetti terjerat Pasal 27 ayat 1 terkait dengan isi chat-nya di inbox facebook dengan salah satu temannya. Karena kasusnya masih berjalan, maka saya tidak bisa menuangkan secara rinci di catatan ini.

Sharing berikutnya disampaikan oleh Ervani Emi Handayani. Dia menyampaikan kronoligis kejadian yang telah menyeretnya ke ranah hukum. Seperti yang telah disampaikan Ervani kepada saya sebelumnya, kasusnya bermula dari status yang dia buat di akun facebooknya. Dalam status tersebut Ervani menyampaikan ketidakpuasan dirinya dan suami atas perlakuan perusahaan tempat suaminya bekerja. Ervani dituduh mencermarkan nama baik dan saat ini sudah dinyatakan bebas.
Ervani menyampaikan kasusnya di forum dialog (dokpri)
Berikutnya, Muhammad Arsad yang terjerat pasal 27 ayat (3) karena menulis hal yang dianggap melecehkan salah satu pejabat di Makasar di status Bbm-nya. Kata-kata yang dituliskannya akhirnya menyeretnya hingga ke penjara selama 100 hari.

“Kebanyakan orang-orang yang terjerat Pasal 27 ini adalah karena mereka melakukan kritik terhadap apa yang dianggapnya tidak benar, namun akhirnya membahayakan diri mereka sendiri,” ujar Arsad.

Ketiga korban pada prinsipnya meminta dukungan para pengambil kebijakan terkait dengan hukum dan masalah yang telah dan sedang mereka hadapi di ranah maya (media elektronik). Semuanya itu merujuk pada UU ITE Pasal 27.

Lalu, ada apa sih dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE ini? Dalam buku Problem Pasal Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya, disebutkan bahwa dalam UU ITE pada Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dilihat dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan bahwa secara umum elemen-elemen kejahatan dalam pasal ini melibatkan:

1. Setiap orang
2. Dengan sengaja dan tanpa hak
- mendistrribusikan
- dan/atau mentransmisikan
- dan/atau membuat dapat diaksesnya
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
4. Yang memiliki muatan
- penghinaan dan/atau
- pencemaran nama baik

Sementara dari apa yang saya pahami (sebagai masyarakat awam yang suka nge-blog, punya akun facebook, twitter, dan suka juga chattingan), dari implementasi UU ITE ini, khususnya Pasal 27 ayat (3), ternyata cakupannya cukup luas dan multitafsir. Kekuatannya tidak hanya pada orang yang membuat muatan internet secara bebas, tetapi juga moderator serta pengguna lain yang ikut meneruskan muatan tersebut.

Untuk itu, banyak pihak berharap agar pasal-pasal dalam UU ITE itu dirumuskan ulang. Sebagai pengguna media sosial, saya dan kita semua menginginkan agar UU ITE terkait pasal-pasal yang sifatnya multitafsir tadi, direvisi menjadi ketentuan yang tidak mengekang kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi.

Selanjutnya mengapa Forum Demokrasi Digital (ffd) memfasilitasi untuk menggelar diskusi terkait dengan Undang Undang ITE? Dari kasus-kasus yang telah terjadi, dikhawatirkan bahwa UU ITE akan menjadi alat baru yang bisa digunakan oleh penguasa untuk membungkam para pengkritiknya.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu juga dirasakan bisa sangat merugikan para pengguna media sosial. Rumusan pada pasalnya bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, karena sangat rentan pada penafsiran apakah suatu protes serta pernyataan pendapat/pikiran dapat dikategorikan sebagai penghinaan.

Atas semua kekhawatiran yang sedemikian memuncak itulah, dialog digelar. Dialog ini bertujuan membahas usulan revisi atau bahkan penghapusan terhadap Pasal 27 Junto pasal 45 ayat 1 di UU ITE, yang mengatur tentang hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ini diharapkan menjadi prioritas Legislasi pertama komisi I DPR RI di tahun 2015 ini.
Bapak Rudiantara menyampaikan tanggapannya (dokpri)
Bapak Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informatika RI) yang hadir di acara dialog tersebut, memberikan pendapatnya. Pada dasarnya beliau akan terus berupaya melakukan upaya peninjauan ulang terhadap UU ITE Pasal 27 ayat (3) tersebut. Menurut Rudiantara, sebenarnya UU ITE yang telah berjalan selama ini sudah memberikan keuntungan kepada semua pihak pengguna Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurutnya lagi, sebenarnya yang menjadi dasar permasalahan bukan pada pasalnya, tapi lebih pada penerapan Pasal 27 ayat (3) tersebut.

“Kalau aparat hukum mau menerapkan Pasal 27 ayat (3) itu dengan sanksi hukum di atas 5 tahun, pertama harus berhati-hati, kedua harus mempunyai kapasitas yang memadai,” tambah Rudiantara.
Ibu Meutya Hafid (Anggota Komisi I DPR RI)
Apa yang disampaikan oleh Menkominfo, sejalan dengan paparan Meutya Hafid (Anggota Komisi 1 DPR). Pada prinsipnya usulan dan masukan revisi terhadap Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (3) akan tetap diakomodir. Menkominfo juga berjanji akan mengawal revisi UU ITE pada Program Legislasi Nasional 2015. Namun tetap harus mengikuti proses terkait yang semua bermuara pada proses politik di DPR. 
 
Foto bersama (Sumber foto: Mataharitimoer Mt)
Saya dan Menkominfo (dokpri)


Acara berakhir pada pukul 13.30 WIB dan ditutup dengan makan siang bersama. Dengan berakhirnya acara tersebut, hasil dialog yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan (mewakili para pengambil kebijakan), para korban, pemerhati internet/demokrasi digital, civil society organization, dan para blogger ini diharapkan akan memberikan masukan yang konstruktif terhadap usulan revisi UU ITE Pasal 27 ayat (3). [Wylvera W.]

Dari Stamford Bridge Kembali ke The National Gallery

$
0
0
#Jalan-Jalan Nekat (Part 7)

            Di hari ke-6, saya dan anak-anak kembali menyusuri kota London tanpa si Bapak. Kali ini kami akan mengunjungi markas klub sepakbola Chelsea dan beberapa museum.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, di hari ke-6 ini, kami memilih berangkat belakangan dari jadwal kursus suami saya. Setelah suami saya berangkat menuju tempat kursusnya, baru kami bersiap-siap. Tidak ada sarapan pagi di penginapan. Saya hanya menyiapkan masing-masing segelas susu kambing untuk Mira dan Khalid.
  
Foto dan Oleh-oleh dari Stamford Bridge Stadium
Sampai di stasiun, Mira dan Khalid langsung cekatan melihat rute tube menuju Stamford Bridge Stadium. Stamford Bridge itu lokasinya di Fulham Road, London SW6 1 HS. Tidak terlalu susah untuk melihat jalur-jalur kereta bawah tanah ini. Semua sudah terpampang jelas di dinding-dinding peron dan pintu lorong menuju peron. Tinggal baca dan kita langsung menemukan arah yang tepat. 
Jalur tube menuju Fulham Broadway
Jalur tube terhubung dengan beberapa line hingga menjangkau banyak tempat di London. Dengan memiliki Oyster Card, kartu yang bisa digunakan untuk naik tube dan bus, kita sudah bisa berkeliling kota London. Tinggal sesuaikan saja tarifnya. Mau untuk seharian atau beberapa hari bahkan untuk seminggu. Semua bisa dibeli di Travel Information Centers yang ada di stasiun.
Kembali ke tujuan awal, Stamford Bridge. Setelah yakin akan naik tube ke arah stasiun yang dituju, kami pun menunggu kereta bawah tanah itu di jalurnya. Sekitar delapan menit menunggu tube pun tiba. Kami bergegas naik. Tidak terlalu lama berada di dalam kereta, kami pun tiba di stasiun Fulham Broadway. Dari sini hanya sekitar lima menit berjalan kaki menuju Stamford Bridge Stadium.
Begitu keluar dari stasiun, Mira yang sudah siap ingin merekam perjalanan, terpaksa mematikan kameranya. Hujan kembali turun.
Look! Hujannya bersalju!” seru Mira menengadahkan kedua telapak tangannya.
“Bukan! Itu karena terlalu dingin, jadi terasa kayak salju,” sela Khalid tidak yakin.
Saya membiarkan Mira dan Khalid sibuk merasakan air hujan yang memang sedikit berbeda. Seperti ada butiran sangat halus yang dijatuhkan dari langit. Apapun itu, saya buru-buru membuka payung dan kami kembali berjalan. 
Kami tiba di kandang Chelsea (dokpri)
Masuk yuuuk! (dokpri)
Markas Chelsea tampak depan (dokpri)
Akhirnya kami tiba di markas Chelsea berkapasitas 42 ribu kursi penonton yang didominasi oleh warna biru itu. Stamford Bridge adalah stadion sepakbola yang menjadi kandang klub sepakbola Chelsea. Stadion ini dipopulerkan dengan sebutan “The Bridge” oleh penggemarnya. 
Supporter MU foto bareng team Chelsea :) (dokpri)
Mira dan Khalid segera mengambil foto di bawah gerimis. Setelah sesi foto-foto selesai, mereka mengajak saya untuk membeli beberapa merchandise berlabel Chelsea untuk memenuhi pesanan teman-temannya. Selesai belanja-belanji, kami kembali ke stasiun untuk meneruskan destinasi berikutnya.

Natural History Museum, London
            Tujuan kami berikutnya adalah Natural History Museum yang merupakan salah satu museum sejarah alam terbesar di dunia. Lokasi museum ini berada di Cromwell Road. Kami pun memilih stasiun terdekat, South Kensington Station. Begitu keluar dari stasiun, kami langsung menuju lorong yang juga menunjukkan arah menuju Science Museum dan Victoria and Albert Museum.
Lorong ini jalur menuju museumnya (dokpri)
Museum yang memamerkan 70 juta specimen dari 5 koleksi utama (tumbuhan, serangga, mineral, fosil hewan dan tumbuhan, hewan) ini tidak memungut bayaran untuk para pengunjungnya. Saya membayangkan kalau Mira dan Khalid akan bosan. Ternyata begitu melihat bangunan museum yang bergaya arsitektur Romanesque dengan dinding batu bata di bagian eksterior dan interiornya itu, anak-anak saya langsung memandang takjub. Hampir saja saya gagal meminta mereka berpose di depan gedung megah itu gara-gara tak sabar ingin segera melihat isinya. 

Untung ingat berfoto di depannya (dokpri)
foto: dokpri
Setelah berada di dalam, kami baru mengetahui bahwa sebenarnya ada dua pintu masuk, Cromwell Road dan Exhibition Road. Bagi para pengunjung yang menggunakan stroller, dianjurkan masuk melalui Exhibition Road karena di situ disediakanlift untuk memudahkan mereka menuju lantai atas. 
Lihat! Ada apa di belakang?! (dokpri)
Kerangka Dinosaurus (dokpri)
Pengunjung yang masuk lewat pintu itu juga akan bisa melihat langsung berbagai patung manusia purba serta ragam bebatuan yang dipajang di etalase dindingnya. Sementara kami yang memilih masuk dari Cromwell Road, langsung disuguhi kerangka Dippy (Diplodocus) atau dinosaurus herbivora yang berukran sangat besar, diletakkan di Central Hall museum. Inilah yang menjadi daya tarik terbesar dari museum.
Sumpah! Ini bukan sodara saya! Wkwkwk (dokpri)

Gedung museum yang indah banget dalamnya (dokpri)
Selebihnya pengunjung bisa melihat Mamals Hall, yang memajang model blue whale (ikan paus) raksasa, gajah, dan mamalia besar lainnya. Selain itu terdapat juga galeri-galeri bertemakan geologi dengan gambar bumi, simulasi gempa bumi, letusan gunung berapi serta koleksi batu dan mineral. Salah satu yang membuat kami sempat berlama-lama adalah ruang pameran Darwin Center. Tempat itu digunakan untuk menyimpan puluhan juta specimen yang diawetkan. Lalu kami sempat terpana melihat batang kayu raksasa yang dipajang di lantai dua. Namanya Giant Sequoia.
Mr. Charles Darwin (dokpri)
Replika batang Giant Sequoia (dokpri)

Jika tak ingat pada tujuan tempat berikutnya, anak-anak saya ingin berlama-lama di dalam museum itu. Namun mengingat keterbatasan waktu, kami pun segera meninggalkan museum untuk menuju museum berikutnya.

The Science Museum London
            Dari Natural History Museum kami sedikit bingung menentukan pilihan. Mau ke Victoria and Albert Museum atau Science Museum. Sebelum berlama-lama menghabiskan waktu, akhirnya saya yang mengambil keputusan. Science Museum yang saya pilih. Mira dan Khalid akhirnya mengikuti keputusan Ibunya. Hehehe ....
Gedung Science Museum tampak depan (dokpri)
            Lokasi Science Museum ada di Exhibition Road. Kami tinggal berjalan kaki sebentar menuju pintu masuknya. Begitu masuk ke museum, nuansa berbau teknologi langsung terlihat. Bagi penyuka science, museum ini akan menjadi tepat favorit mereka. Gedung Science Museum terdiri dari tujuh lantai. Dan jujur saja, selama berada di dalam museum itu, kami tidak beranjak dari lantai dasar. Alasannya untuk menghemat waktu. Tapi, jangan khawatir, setiap lantainya tetap disediakan lift untuk memudahkan mengeksplor lantai lainnya.




            Salah satu galeri yang dipamerkan di Science Museum London ini adalah Exploring Space Gallery. Letaknya masih di lantai dasar. Di sini tersimpan beragam teknologi luar angkasa. Pengunjung akan merasakan seolah benar-benar berada di ruang angkasa karena settingannya yang rada remang-remang. Di galeri ini ada Planet Science, replika Cassini-Huygens (misi kerjasama NASA/Amerika), ESA (Eropa), dan ASI (Italia). Ada juga model Hubble Space Telescope, Black Arrow (roket pembawa satelit), dan lainnya.

Mau beli oleh-oleh museum juga bisa di sini (dokpri)

            Sstt, jangan lupa! Masuk ke Science Museum juga gratis. Jadi silakan berkeliling jika punya waktu cukup. Kami tidak bisa memuaskan mata dan meraup ragam pengetahuan tentangnya, karena lagi-lagi dibatasi oleh waktu. Apalagi perut sudah memanggil-manggil untuk segera diisi. Dari Science Museum akhirnya kami memilih mencari makan siang yang ringan. 


Hmm, yummmy ...! (dokpri)
Atas rekomendasi dari teman, saya mengajak anak-anak untuk mencoba menikmati crepes di Crémerie Crêperie. Lokasinya masih di seputaran Exhibition Road, South Kensington. Hanya keluar ke arah kanan dari stasiun. Di sanalah kami puaskan selera dengan menikmati crepesnya yang gurih dan lezat.

Kembali ke The National Gallery
            Selesai makan sudah jam dua. Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Setelah menjamak waktu sholat, kami kembali bergegas menuju Trafalgar. Mengapa kembali ke sana? Saya ingat kalau belum menunaikan janji kepada Winda Krisnadefa(ngetopnya Emak Gaoel). Mak Winda ingin sekali suatu hari bisa berkunjung ke London. Sebagai awal untuk memotivasi keinginan dan angan-angan itu, saya ingin menuliskan sesuatu untuknya dengan berdiri di depan salah satu landmark kota London. 

            Begitu tiba di Trafalgar, saya langsung tampil narsis di depan gedung The National Gallery. Semoga apa yang saya tulis di kertas itu menjadi penyemangat buat Mak Winda untuk mewujudkannya. Aamiin.
Wow! Ada Master Yoda! (dokpri)
            Mumpung kembali lagi ke area Trafalgar, Mira kembali memuaskan diri mengambil beberapa foto. Salah satu yang tertangkap bidikan kamera Mira adalah Master Yoda (Sang Master Jedi dari film Star Wars). Tampilan ini mirip-mirip street performers gitu. Anak-anak saya excitedbanget tapi malu-malu disuruh foto bareng. Hahaha .... (masih to be continued ya ....J) [Wylvera W.]
             

PIPEBI dan Kepedulian Sosial

$
0
0


Oleh Ny. Wiwiek Indra Gunawan

Aku bagian dari ini (dokpri)
            Siapa bilang perempuan Indonesia masa kini hanya pandai berbelanja dan peduli dengan kecantikan serta keindahan penampilan semata? Siapa bilang mereka hanya mementingkan diri dan keluarganya saja serta tidak peduli pada lingkungannya?
            Eitt ... tunggu dulu. Kini sudah banyak perempuan Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah sosial yang terjadi di sekelilingnya. Kita tidak perlu menelusuri satu per satu seperti apa bentuknya. Beritanya banyak yang sudah dimuat di media sosial. Kita tinggal membaca dan melihat ragam kegiatan yang mereka lakukan untuk mengaplikasikan makna dari kepedulian sosial ini.
Kepedulian berasal dari kata “peduli” yang diartikan sebagai memperhatikan atau menghiraukan. Maka kepedulian bermakna sebagai sikap atau cara kita memperhatian sesuatu. Dengan demikian kepedulian sosial berarti memperhatikan atau menghiraukan orang lain. Kalau ditelusuri lebih jauh, makna dari kata kepedulian sosial sangatlah luas. Namun kita simpulkan saja bahwa kepedulian sosial adalah kegiatan yang mengandung unsur perbuatan baik kepada sesama manusia.
Ragam komunitas perempuan Indonesia yang fokus pada masalah-masalah kemiskinan serta peningkatan ekonomi pun telah menjamur. Tidak terkecuali pada komunitas ibu-ibu istri pegawai di instansi-instansi pemerintah dan swasta. Di samping membentuk komunitas sesama istri pegawai, mereka juga terjun ke masyarakat bawah yang membutuhkan bantuan.
Kita mengenal sebutan Dharma Wanita bagi para istri Pegawai Negeri Sipil di negeri tercinta ini misalnya. Dharma Wanita memiliki tugas pokok yaitu, “Membina anggota, memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan, meningkatkan kemampuan dan pengetahuan, menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai pihak, serta meningkatkan kepedulian sosial dan melakukan pembinaan mental dan spiritual anggota agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian serta berbudi pekerti luhur”. (sumber: Wikipedia)

Lalu apa hubungannya dengan PIPEBI?
            Seperti Dharma Wanita, di Bank Indonesia kita juga memiliki komunitas yang terdiri dari para istri pegawai dengan nama Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI).  Tugas pokok yang tercantum dalam Dharma Wanita juga dimuat dalam tujuan dibentuknya komunitas Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia. Maka PIPEBI berdiri tidak semata-mata untuk merangkul para istri pegawai tanpa visi dan misi yang jelas.
Sebagai anggota PIPEBI kita semua tahu bahwa komunitas ini dibentuk agar para istri pegawai mampu mengembangkan kreativitas serta terus belajar bersosialisai dalam ragam kegiatannya. Salah satu contoh adalah kegiatan yang bersentuhan dengan kepedulian sosial. Hal ini juga menjadi bagian mendasar yang tercantum di program kerja PIPEBI.
Di berbagai ragam program kerjanya PIPEBI telah mengambil bagian kepedulian terhadap permasalahan sosial dan lingkungan, meningkatkan kapasitas diri, membangun serta membina sisterhooddi antara para anggotanya. Di setiap program kerja tahunannya PIPEBI selalu memuat kegiatan-kegiatan yang merupakan bentuk kepedulian sosial.
Beberapa contoh bentuk kepedulian sosial itu seperti; menyantuni anak yatim di bulan Ramadan, mengunjungi dan memberikan bantuan kepada PAUD secara berkala, memberikan santunan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, menjadi pendonor darah, serta ikut terlibat memberi sumbangan pada korban bencana alam.
Sebagai makhluk sosial, kita tidak mampu untuk hidup sendiri. Kita pasti membutuhkan orang lain walaupun hanya dalam kapasitas kecil. Untuk itu kita terkadang perlu bergabung dalam suatu organisasi atau wadah kebersamaan. Kita bisa belajar membuang sifat egois dan materialistis sehingga kita bisa mengembangkan rasa kepedulian sosial itu kepada objek yang lebih luas lagi. Tidak hanya terhadap sesama anggota dan lingkungan terdekat.
PIPEBI adalah wadah yang sudah dibentuk untuk pengaplikasian rasa kepedulian sosial sesama anggotanya. Tinggal kitalah yang memilih seperti apa bentuk aplikasi itu, baik ke dalam maupun ke luar. [Majalah Insani PIPEBI, Rubrik Sketsa, edisi Januari 2015]


Tower of London di antara Belanja-Belanji

$
0
0
#Jalan-jalan Nekat (part 8)

            Di hari ke-7, kami hanya ingin mengunjungi Tower of London. Lokasinya tidak jauh dari Bank of England, tempat suami saya kursus. Awalnya suami mengajak berangkat bareng, tapi anak-anak ingin belanja souvenir. Mereka khawatir kami akan kehabisan momen untuk membeli oleh-oleh. Sementara tempat kami menginap lokasinya dikepung belasan toko penjual cinderamata. Akhirnya kami putuskan untuk menyempatkan berbelanja oleh-oleh.

Suasana Camden Town Market (foto lama sy)
            Karena tidak harus berburu waktu, kami pun lebih santai pagi itu. Hampir jam sembilan pagi waktu London. Suami saya sudah berangkat dua jam yang lalu. Sementara saya dan anak-anak menunggu toko-toko buka. Biasanya pukul 09.30 waktu London, sudah ada beberapa toko yang mulai beroperasi. Sambil menunggu, kami tetap keluar dari penginapan dan mencari sarapan. Setangkup sandwichtelur jagung dan teh manis hangat pun kembali menjadi pilihan. Kami sengaja menikmati sarapan pagi (yang sedikit kesiangan sebenarnya, hehe) di kafe yang menjual beberapa jenis makanan siap saji itu. Teh manis hangat melengkapi makan pagi saya dan anak-anak. Lumayan kenyang.
            Begitu keluar dari kafe, toko-toko souvenir pun sudah banyak yang buka. Saya melirik daftar catatan oleh-oleh yang sudah disiapkan suami sejak malam sebelumnya. Kami mampir ke beberapa toko dan melihat-lihat apa saja yang bisa kami beli. Selain jenis, saya juga mencocokkannya denganbujet. Kami juga tidak langsung membeli di satu toko sebelum membanding-bandingkan harganya. 

Ragam barang yang dijual di toko-toko itu
Akhirnya jodoh pun jatuh pada toko souvenir yang letaknya persis di depan penginapan kami (saya lupa nama tokonya dan sayangnya tidak difoto pula, hikks.). Yang saya ingat, penjualnya orang India, sangat ramah. Walaupun sempat terjadi tawar-menawar, saya akhirnya memberi kesimpulan kalau ia tidak pelit. Selain  tambahan diskon ia juga memberikan bonus kepada anak-anak saya untuk mengambil masing-masing satu barang lagi seharga £3. Lumayanlah.
            Mira dan Khalid sibuk memilih magnet kulkas, pulpen, snowball, dan lainnya. Saya geli melihat mereka sibuk menyocokkan jumlah oleh-oleh yang mau dibeli dengan nama-nama teman dekat mereka. Padahal catatan sudah ada, tapi tetap saja ada tambahan mendadak. Tidak apa, yang penting duitnya cukup. Hehehe ....
Akhirnya sesi belanja-belanji souvenir pun selesai untuk pagi itu. Kami bergegas menaruh semua belanjaan ke penginapan. Sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya, kami sempatkan untuk makan siang dan sholat.

Menuju Tower of London
            Hari sudah semakin siang ketika kami memulai perjalanan dari Camden Town Underground Station. Kami kembali menaiki tube dengan rute menuju Morden Station sebagai perhentian akhir untuk turun di Bank Station. Dari situ kami harus berjalan kaki di lorong-lorong stasiun bawah tanah untuk mencapai pintu keluar melalui Tower Hill Station. Sebenarnya letak Tower of London ini berdekatan dengan Tower Bridge, namun pada saat kami mampir ke Tower Bridge, tidak cukup waktu untuk sekaligus mampir ke situ. Di hari ketujuh itulah kami baru punya kesempatan.   

Kembali memberdayakan tongsis agar bisa foto dgn latar ToL (dokpri)
Cuaca lumayan cerah ketika kami tiba di area Tower of London. Namun udara tetap saja dingin seperti hari sebelumnya. Sebelum mendekat ke bangunan bersejarah itu, kami sempatkan berfoto dengan latar belakangnya. Awalnya kami ingin sekali masuk ke Tower of London. Begitu melihat tarifnya sebesar £20 per orang, saya memberi pilihan kepada anak-anak.  
“Mau masuk?” tanya saya kepada Mira dan Khalid.
“Enggak usah masuk, ah. Mahal. Lagian, kita kan sekalian nunggu Bapak. Nanti kelamaan di dalam, kasian Bapak. Katanya mau huntingke Oxford Street lagi,” ujar Khalid cepat memutuskan. Saya tersenyum mendengar alasan Khalid. Tapi syukurlah, anak-anak saya tidak terlalu tergoda untuk mengeksplor bangunan tua bersejarah itu. Itu artinya kami bisa menghemat £60. Hahaha ... Emak pelit! 
Kami puas walau hanya bisa berfoto di luarnya saja :) (dokpri)
Walaupun sebenarnya sayang, karena di dalam bangunan yang usianya lebih 1.000 tahun itu, anak-anak dan saya pasti bisa mendengar sejarahnya. Namun, karena kami harus cerdas membagi anggaran, akhirnya cukuplah membacanya di situs resmi Tower of London saja. Anak-anak saya yakin, mereka akan menemukan penjelasan yang akan sama persis dengan guide di dalam bangunan kuno itu. Baiklah.
Ini bisa dibaca di dekat pintu masuk antrian panjang menuju bangunan (dokpri)
Dari sejarah dan catatan yang saya temukan, banyak kisah hantu yang menjadi daya tarik pengunjung bangunan tua berbentuk benteng itu. Salah satu yang paling terkenal adalah hantu Anne Boleyn tanpa kepala. Ratu Anne Boylen (Queen of England, 1507 – 1536) ini mati dipenggal. Beliau adalah istri kedua Raja Henry VIII. Anne Boleyn dieksekusi di Salt Tower (sekarang disebut sebagai Bloody Tower atau menara berdarah) karena dituduh berselingkuh. Konon, katanya hantu Anne Boylen masih suka terlihat di komplek kastil itu. Wallahua’lam.... 
Kastil bermenara itu selalu tampak misterius bagi pengunjungnya (dokpri)

Saat Perang Dunia I dan II, lokasi Tower of London dijadikan lokasi eksekusi dan penjara. Itu sebabnya bangunan ini terkenal sebagai penjara elit saat itu. Selain itu, Tower of London dijadikan sebagai benteng pertahanan, tempat raja-raja Inggris bertemu dan berinteraksi dengan para bangsawan, serta dijadikan simbol kekuatan kerajaan Inggris. 
 
Saya senang melihat burung-burung itu (dokpri)
Kembali melihat Tower Bridge (dokpri)
Jika ingin memasuki bangunan mirip benteng itu, pastikan untuk siap berdiri di antrian yang lumayan panjang. Sementara waktu untuk mengitarinya bisa menghabiskan setengah hari berjalan kaki. Kami memilih menikmatinya dari luar saja sambil duduk-duduk di tepi sungai Thames. Sambil menunggu suami saya menjemput, kami asyik memandangi orang yang lalu lalang serta burung-burung yang ramai berkeliaran di sekitar lokasi itu. Kami juga bisa kembali memuaskan pandangan pada Tower Bridge yang letaknya bersebelahan dengan area Tower of London.

Singgah di Primark London
Hari itu, jadwal kursus suami saya hanya sampai jam tiga sore. Kami sudah sepakat untuk bertemu di lokasi Tower of London. Setelah puas menikmati bangunan Tower of London, suami saya pun tiba. Melihat waktu yang masih panjang menuju malam hari, kami memutuskan untuk melanjutkan huntingke Oxford Street. Mira juga sudah punya rencana untuk mampir di Primark, tempat belanja murah-meriah. Toko itu berlokasi di main shopping road yang bergengsi, Oxford Street.
Primark di kanan itu, kalau ke sinian lagi, sampai di Oxford Street (dokpri)
Primark yang tak pernah sepi (dokpri)
Semua barang yang dijual di Primark terbilang murah. Harga dimulai dari yang terendah yaitu £1. Tapi, suami saya sudah wanti-wanti untuk tidak kalap dengan alasan tidak ada jaminan untuk kualitas. Berbeda jika kita masuk ke toko-toko yang memang sudah punya brand, seperti Debenhams, John Lewis, Cath Kidston, Harrods, dan Mark and Spencer. Kami hanya memilih yang paling kami butuhkan dan beberapa untuk oleh-oleh juga.
Tanpa terasa malam pun tiba dan kami harus segera kembali ke penginapan. Esoknya masih ada satu hari lagi untuk menjelajah dua kota di luar London. Ke manakah itu? Tunggu lanjutannya yaaa .... [Wylvera W.]

Note: Dua part sebelumnya ada di sini dan sini juga

Dari Bristol Menuju Bath Spa

$
0
0


#Jalan-jalan Nekat (part 9)

Di hari ke-8, suami saya bisa menemani kami lagi karena jadwal kursusnya sudah selesai. Di sisa-sisa hari ini, kami masih ingin menyempatkan untuk mampir ke Bristol dan Bath Spa. Waktu ke UK pertama kali dulu, saya dan suami belum sempat mampir ke Bristol, jadi kami memasukkan kota itu di daftar kunjungan kali ini. Sementara Bath Spa, ini adalah kunjungan kedua saya dan suami.
Kembali seperti hari-hari sebelumnya, jika ingin bepergian keluar dari London, kami harus bangun lebih pagi. Setelah rapi, kami pun bergegas keluar dari penginapan.
Buuuz...! Udara semakin dingin saja, namun kami harus tetap berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah Camden Town. 

Masih sempat fotoan pagi-pagi dengan mata yg masih sembab (dokpri)

Dari Camden Underground Station kami mencari jalur kereta menuju Paddington Station. Jadwal keberangkatan lagi-lagi memberi sisa waktu buat membeli sarapan. Setelah membeli sandwich roti gandum dan minuman untuk disantap di perjalanan, kami pun bergegas menaiki kereta menuju Bristol.

Sejenak di Bristol
Perjalanan dari Paddington Station menuju Bristol menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Selama di kereta, kami melupakan kebiasaan yang selalu kami lakukan seperti hari-hari sebelumnya. Kami tidak mengambil gambar lagi dari balik kaca jendela kereta. Mungkin sudah mulai lelah atau mengantuk, karena energi sudah terkuras beberapa hari sebelumnya. Kami memanfaatkan waktu dua jam itu hanya untuk sarapan dan memejamkan mata. Mengumpulkan tenaga untuk kembali menantang hawa dingin di Bristol.

Wajah-wajah lelah dan kedinginan (dokpri)
Akhirnya kami pun tiba di kota nomor delapan terpadat di Inggris itu. Bristol yang berlokasi di Barat Daya Inggris itu sebenarnya adalah kota yang memiliki pusat kebudayaan terbesar di wilayah South West England. Itu salah satu alasan mengapa saya agak ngotot mengajak suami dan anak-anak untuk menyempatkan mampir ke kota ini.

My Boy sih tetap segar ^-^ (dokpri)


Penginnya nyewa taksi itu buat halan-halan, tapi mihil bingits :( (dokpri)
Awalnya saya ingin sekali menjelajahi kota ini dengan berjalan kaki. Tapi apa boleh buat, saat sampai di sana, tiba-tiba Mira merasa kakinya agak kaku untuk digerakkan.  Mungkin staminanya sudah menurun, karena selama seminggu sebelumnya kami terus-menerus melakukan perjalanan. Ditambah udara dingin menusuk kulit, ternyata perlahan mengurangi tenaga kami. 

Menunggu bus di sini(dokpri)
Namun, karena sudah tiba di Bristol, Mira merasa sayang juga untuk melewatkan momen. Akhirnya kami kembali memilih berkeliling menaiki bus, supaya Mira bisa beristirahat dan menghangatkan badannya. Tidak banyak gambar yang bisa terekam oleh kami. Kami hanya menikmati sudut-sudut kota dan merekamnya dalam ingatan saja.

Hanya ini yang terekam

Menuju Bath Spa
Setelah puas berkeliling dengan bus, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan naik kereta menuju Bath Spa yang lokasinya tidak jauh dari Bristol. Hanya sekitar 20 menit kami sudah sampai di kota yang anggun dan tenang itu. 
Tiba di stasiun Bath (dokpri)
Stasiun Bath Spa yang tenang dan tertata rapi (dokpri)

Tetap tersenyum walau mulai lelah (dokpri)
Bath Spa merupakan kota tua satu-satunya di Inggris yang memiliki sumber air panas. Sumber air panas yang diabadikan di museum Roman Bath ini merupakan peninggalan kerajaan Roma 2000 tahun lalu. Kembali disayangkan, kami tidak sempat menikmati sensasi air panas di Thermae Bath Spa yang letaknya tak jauh dari museum Roman Bath. Jadi tidak banyak informasi yang bisa saya bagi di catatan kali ini. Maaf ya ....

Suasana kota yang agak ramai karena ada semacam pasar kaget (dokpri)
Beberapa bangunan artistik sempat terbidik kamera (dokpri)
dokpri
Anak saya, Mira, sudah sedikit segar. Kami kembali mencoba untuk berjalan kaki menyusuri kota Bath Spa. Kota ini dilengkapi oleh taman yang cantik dan bersih, trotoar bebatuan, sungai dengan air yang mengalir tenang, kastil artistik, jembatan tua, serta bangunan-bangunan penuh sejarah. Keanggunan kota tua Bath membuat kami bertahan sejenak dari udara dingin. 

Taman yang terawat cantik (dokpri)
Pemandangan dari atas jembatan dokpri
Tidak semua keindahan Bath Spa bisa kami nikmati. Kondisi anak saya (Mira) dan saya sendiri pun kembali menurun. Kaki terasa mulai kaku untuk dilangkahkan. Akhirnya suami saya menyarankan kembali naik bus untuk melanjutkan eksplorasi. Setelah puas memanjakan mata dari balik kaca jendela bus, kami kembali ke stasiun.
Hangatnya tempat tidur, bantal, dan guling di kamar penginapan serasa memanggil-manggil. Tidak ada improvisasi selain memutuskan untuk kembali ke penginapan. Lagipula, kami harus menyiapkan stamina juga, karena esok harinya harus menempuh perjalanan panjang untuk kembali ke tanah air.
Sampai jumpa di part terakhir ya. [Wylvera W.]



Pulang

$
0
0


#Jalan-jalan Nekat (part 10)

            Hari ke-9.
Kali ini saya tidak mau berlama-lama melanjutkan postingan catatan jalan-jalan nekat ini. Di part ke-10 ini tidak banyak yang ingin saya ceritakan. Hanya ingin membuat semacam penutup dari rangkaian postingan terkait sebelumnya.
Mariii ....
            Pagi itu kami bangun lebih awal lagi dari biasanya.  Jadwal penerbangan menuju bandara Internasional Changi Singapura yang dipilih suami adalah pagi hari (pukul 10.05 waktu London). Mengingat jarak dari Camden Town menuju Heathrow lumayan jauh, suami saya tidak ingin kami ketinggalan pesawat.
Koper dan segala perlengkapan sudah siap untuk dibawa pulang. Malam-malam sebelumnya, suami saya sudah menyicil beberes. Begitulah kebiasaannya. Dia tidak bisa menunda-nunda waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang memang harus dikerjakan lebih awal. Sementara kami tertidur pulas, suami saya ternyata sibuk packing sendiri. Aaah ... jadi malu dan merasa bersalah, karena saya tidak banyak membantu.
Paginya, sedikit terjadi kehebohan di kamar penginapan. Suami saya kembali khawatir. Beliau menguber anak-anak untuk segera mandi dan bersiap-siap. Seperti sedang dikejar-kejar waktu, anak-anak saling berebutan kamar mandi dan ingin siap lebih dulu. Hahaha ... seru!
Untung saya sudah menyiapkan pakaian, sepatu, dan perlengkapan yang akan mereka pakai saat pulang. Selain itu, segelas susu untuk Mira dan Khalid pun sudah saya sediakan. Teh manis hangat untuk suami tidak ketinggalan. Sisa ayam goreng halal dari KFC melengkapi sarapan pagi kami. Kloplah!
            Sekitar jam tujuh pagi, kami pun keluar dari penginapan setelah menyerahkan kunci kamar kepada pemiliknya. Dengan menarik 2 koper ukuran bagasi, 2 koper kecil untuk dibawa ke kabin pesawat, kami bergegas menuju Camden Underground Station untuk yang terakhir kalinya.
Tidak sampai sepuluh menit, tube (kereta bawah tanah) yang menuju ke Heathrow pun tiba. Dua koper besar yang beratnya tentu bertambah dari saat berangkat, sedikit menyulitkan kami untuk menaikkannya ke atas kereta. Tapi, tak apa, itu bagian dari seni travelling bersama keluarga. *ngeleees ... qiqiqi*
            Perjalanan menuju Heathrow begitu hening. Sesekali saya memandangi wajah anak-anak saya. Mencoba mereka-reka apa yang ada di dalam benak mereka. Saya melihat mereka seolah tengelam dalam lamunannya masing-masing. Diam-diam saya berharap, semoga kesempatan travellingkali ini mampu meninggalkan kesan indah di memori Mira dan Khalid. Aamiin ....

Menunggu Ibu shopping lagi :p (dokpri)

            Sejam kemudian, kami pun tiba di Heathrow Terminal 4 railway station. Dari sini kami naik train lagi (Heathrow Express Shuttle) menuju bandara. Hanya sekitar lima menit saja kami sudah tiba di area bandara. Setelah check in, masih tersisa sekitar satu jam untuk boarding.
Waktu yang tersisa itu kami sempatkan untuk melihat-lihat toko tas Cath Kidston London, merek yang terkenal di UK itu. Ciri khas produk Cath Kidston ini terletak pada motif kain yang digunakan khusus untuk produk-produknya. Temanya yang klasik, memasukkan unsur motif bunga-bunga bernuansa nostalgia dengan desain unik dan vintage, menghasilkan produk bergaya kontemporer. 
Gara-gara sudah punya yang ini, jadi gak tega beli lagi ;) (dokpri)
Saya tidak membeli karena sudah punya koleksinya, walau sudah tidak baru lagi. Hanya “cuci mata” saja (harganya mihil-mihil sih... hiks). Aaah ... mengapa jadi promosiin merek ini ya? 

Gak bisa nolak deh ketika diajak suami ke sini :p (dokpri)
Setelah itu, suami mengajak saya ke toko Harrods. Saya ingat, kalau belum sempat mampir ke Harrods waktu hunting di Oxford Street. Naaah ... di sini saya mulai ragu dan galau. Tas Harrods milik saya yang dibeli lima tahun lalu tulisannya sudah memudar.
“Mau beli nggak?” tanya suami saya begitu menggoda. Saya masih ragu melihat harganya yang sangat mahal jika dirupiahkan. Pfiuuuh...!
“Sudah ambil aja. Nanti nyesal,” paksanya lagi. *maksa ni yeee ... hahaha*
Melihat saya masih ragu-ragu, suami saya akhirnya memilihkan 1 tas sandang berwarna hitam dan menyuruh saya memilih dua tas jinjing plastik lagi yang harganya jauh lebih murah dari model tas sandang itu. Duh! Senangnyaaa ... makin cinta aja deeeh. Uhuk! *matreee*

Menunggu boarding (dokpri)
Welfie di pesawat, sebelum take off  ^_^ (dokpri)
Hahaha, tatapan si Kakak gak banget
Begitulah, akhirnya kami harus meninggalkan London, singgah sejenak di bandara Changi Singapura, dan tiba di bandara Soekarno Hatta, lalu pulang ke Bekasi. Baidewey, rangkaian catatan dan foto-foto di blog saya ini menjadi kenangan yang tak mudah untuk dilupakan. Semoga kami masih diberi kesempatan untuk kembali ke sana. Aamiin. 

Klik ya ... lagunya enyaaak ;)
Terima kasih kepada teman-teman (pembaca) yang sudah setia mengikuti catatan perjalanan saya dan keluarga mulai dari bagian 1 hingga 10 ini. Sampai jumpa di catatan perjalanan lainnya.
See you ...!
THE END

Note: 
Yang belum sempat baca part lainnya, monggo bisa diklik ini ya:
Part 1, Part 2,Part 3 , Part 4 , Part 5 , Part 6 , Part 7 , Part 8 , Part 9
           

Bukan Setrika

$
0
0


#CerpenKuliner #TTG4

dokrpi
             Undangan makan siang itu sangat mengejutkan Intan. Ini adalah pertemuan pertama Intan dengan kedua orangtua Bahrum. Sejak setengah jam lalu, Intan sibuk memilih baju yang pantas. Sudah beberapa model baju yang dikeluarkannya dari lemari pakaian, Intan belum juga menemukan yang cocok untuk dipakai.
            “Duh! Pakai baju yang mana ya? Yang ini terlalu resmi. Yang itu seperti warna berkabung. Yang di atas tempat tidur itu sudah pernah aku pakai di ulangtahun Bang Bahrum,” ujar Intan panik karena jarum jam terus bergerak. Intan hanya punya sisa waktu setengah jam untuk memutuskan.
            “Aha! Ini dia!” seru Intan girang memilih baju terusan warna cokelat muda dengan aksen kedut tipis di bagian pinggang dan ujung lengannya.
            Lima belas menit kemudian, Bahrum pun tiba di rumah Intan.
            “Sudah siap?” tanya Bahrum melihat Intan berdiri di depan pintu rumahnya.
            “Sudah,” balas Intan singkat menutupi rasa groginya.
Intan masuk ke mobil Bahrum. Sesekali ia melirik Bahrum. Intan berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
            “Nanti santai aja ya, Tan. Emak dan Ayahku itu orangnya friendly,” ujar Bahrum.
            Intan diam, tidak merespon. Perjalanan berikutnya mereka saling diam. Hanya suara musik dari tape recorder mobil Bahrum yang terdengar.
            Setengah jam kemudian.
            “Nah, sampai kita, Tan,” ujar Bahrum.
            “Ya ampun, gemetar aku Bang,” kata Intan meremas jemarinya sendiri.
            “Santai sajalah,” balas Bahrum menguatkan semangat gadis pujaan hatinya.
            Intan pun berdiri di depan pintu rumah Bahrum. Matanya memandang ke sekitar.
            “Assalamu’alaikum. Mak, Ayah ... ini tamunya sudah datang!” seru Bahrum memanggil kedua orangtuanya.
            Emak Bahrum menyambut Intan.
            “Hoiii ...! Cantiknya calon menantuku ini,” pujinya sambil menarik lengan Intan langsung menuju ruang makan.
           Pipi Intan memerah. Rasa canggung menyergapnya. Setelah itu, matanya setengah terbelalak melihat hidangan di meja makan. Di antara ragam hidangan itu, ada sambal teri kacang, makanan khas kota Medan yang sangat populer. Intan salah satu penggemar sambal teri kacang. Tapi kalau ditanya bagaimana cara membuatnya, Intan pasti menyerah. Ia tidak pernah memasaknya.
            “Ayolah duduk. Kita makan siang dulu ya. Sehabis itu nanti, barulah kita bercakap-cakap,” ujar ayah Bahrum pula tak kalah ramah.
            “Ini semua hasil masakan Emakku, Tan. Emakku ini jagoan masak,” pamer Bahrum tiba-tiba menciutkan nyali Intan.
             Intan berusaha tersenyum. Ia mulai khawatir mendengar Emak Bahrum mahir memasak. Selama ini Bahrum tidak pernah bercerita. Lagi pula, sebelum jadi mahasiswi dan hijrah dari Medan ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya, Intan bukan perempuan yang rajin turun ke dapur. Ia lebih senang jadi tukang bersih-bersih rumah ketimbang memraktikkan resep masakan. Bahkan sambal teri kacang kegemarannya sekalipun. Ia hanya penikmat hasil masakan mamanya.
            Setelah menyelesaikan kuliahnya, Intan kembali ke Medan dan kenal dengan Bahrum. Kebersamaan mereka sudah terjalin selama hampir lima bulan. Intan merasa bahwa Bahrumlah yang pas menjadi calon suaminya. Tapi, ketika Bahrum mengejutkannya dengan undangan makan siang ini, justru Intan mendadak panik dan gugup.
            “Hei, anak gadis tak bolehlah banyak melamun. Pantang kata orang-orang tua dulu,” ujar Emak Bahrum dengan logat Medan yang khas.
            “Eh, maaf Tante. Saya terkesan sama sambal teri kacangnya. Sepertinya gurih dan lezat,” balas Intan buru-buru menutupi kegugupannya.
            “Oh, sambal teri kacang ini masakan andalan Tante. Sudah banyak yang memuji kelezatan dan kegurihannya. Banyak pula yang minta resepnya lalu mencoba memraktikkan. Tapi entah kenapa, tetap tak pernah bisa menyamai masakan strika Tante,” timpal Emak Bahrum.
            “Setrika? Kok namanya kayak gosokan kain?” tanya Intan heran.
            “Bukan setrika, tapi strika. Itu singkatan dari Sambal Teri dan Kacang,” jawab Emak Bahrum tersenyum mendengar komentar Intan.
            Beberapa saat kemudian, acara makan siang bersama pun selesai. Intan membantu membersihkan meja dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Melihat keakraban Intan dan Emaknya, Bahrum mengedipkan sebelah mata ke Intan.
Selepas itu, Tante Imah, Emak Bahrum, mengajak Intan duduk di tepi kolam ikan. Intan kembali diam. Hatinya masih bertanya-tanya, apa yang akan diperbincangkan.
            “Eh, kau kan sudah selesai ya kuliahnya? Si Bahrum pun sudah bekerja. Jadi kalian mau menunggu apa lagi?” Tiba-tiba Tante Imah membuka obrolan dengan pertanyaan rencana pernikahan. Intan terkesima dan masih diam, tidak bisa menjawab.
            “Tante mau pensiun jadi tukang masaknya si Bahrum. Nanti kaulah yang menggantikannya,” tambah Tante Imah lagi semakin menciutkan nyali Intan.
            “Si Bahrum itu juga sangat suka makan strika. Jadi, nanti kau harus sering-sering memasakkan si strika itu untuknya. Jangan lupa, kawannya si strika itu gulai daun ubi tumbuk,” tambah Tante Imah membuat Intan terbayang pada gulai daun singkong buatan mamanya.
Intan semakin terpaku. Jangankan gulai daun singkong tumbuk, sambal teri kacang saja Intan tak pernah mengerti cara membuatnya.
       “Wah, melamun lagi? Intan, jangan dibiasakan banyak melamun, apalagi kalau sudah dekat-dekat hari pernikahan nanti. Pantang itu,” ujar Tante Imah membuat Intan sempurna gugup.
            “Eh, i ... iya Tante. Maaf,’ ucap Intan pelan.
        “Baiklah kalau begitu. Tante sudah utarakan maksud kami mengundangmu makan siang bersama ini. Bilang sama orangtuamu kalau dalam waktu dekat Tante dan Om akan datang melamarmu. Syaratnya gampang kok, cuma ujian memasak strika saja. Hahaha....” ujar Tante Imah lagi bergurau.
Intan mengangguk pelan. Di kepalanya hanya ada gambaran sepiring strika alias sambal teri kacang. Intan harus belajar membuat strika itu dengan mamanya. Intan sangat takut. Kalau hanya gara-gara gagal memasak strika, hubungannya dengan Bahrum jadi berantakan, Intan tidak bisa membayangkannya.
            Dua minggu kemudian, Tante Imah kembali mengundang Intan untuk datang di acara arisan keluarga. Intan diminta membawa sambal teri kacang hasil bikinannya sendiri. Intan uring-uringan memikirkan sambal teri kacangnya. Sudah dua kali dia mencoba resep mamanya, namun tetap saja rasanya tak sama dengan buatan Tante Imah.
Intan sudah memraktikkan semua cara yang diberikan Mama. Ikan terinya disiram dan ditiriskan di saringan kelapa, sampai benar-benar kering. Kacang tanahnya digoreng dengan minyak yang tidak terlalu panas. Intan juga sudah menggiling cabe merah dan bawang merah sampai halus, lalu mencampurkannya dengan satu sendok makan air rendaman asam jawa.
            “Apalagi yang salah ya, Ma? Ikan terinya sudah Intan goreng sampai garing, kacang tanahnya juga sudah dimasak dengan sempurna. Sambalnya sudah dimasak di atas wajan dengan api kecil,” gerutu Intan kesal melihat hasil masakannya.
         “Coba diingat-ingat, pasti ada langkah-langkah yang tidak kau turuti,” ujar Mama menenangkan.
            “Sudah kok, Ma,” kata Intan merasa yakin.
            “Trus, bagaimana jadinya? Apa perlu Mama yang membuatnya? Kalau terinya seperti karet begini, macam mana kau nanti?” tanya Mama membuat Intan galau.
Belum sempat Intan menjawab pertanyaan Mama, Bahrum sudah menjemputnya.
            “Bang Bahrum sudah datang. Macam mana ini?” keluh Intan semakin panik.
            “Sudahlah, kau berterus terang saja ke Emaknya si Bahrum. Bilang saja kalau sebenarnya kau tak biasa memasak, tapi kalau untuk beberes dan merapikan rumah kaulah jagonya,” jawab Mama memberi solusi.
Intan berpikir sejenak. Dengan terpaksa ia tetap memasukkan sambal teri kacang buatannya ke dalam wadah plastik untuk dibawa ke rumah Bahrum.
            “Bismillah sajalah,” bisik Mama menyemangati Intan.
            “Iya, Ma. Doakan ya,” pinta Intan memelas. Mama mengangguk.
            “Yuk, Bang!” ujar Intan mendekati Bahrum.
            “Permisi dulu ya Tante. Salam dari Emak dan Ayah,” ujar Bahrum ke Mama Intan.
            “Iya, sampaikan salam Tante kembali ya,” balas mama Intan. Bahrum mengangguk.
            Intan dan Bahrum pun sudah berada di mobil. Intan merasakan perjalanan dari rumahnya menuju rumah Bahrum begitu cepat dan mendebarkan. Padahal hatinya menginginkan waktu berputar lebih lambat. Intan belum siap menerima kritikan calon ibu mertuanya pada sambal teri kacang buatannya.
            Intan masih memikirkan usul Mama untuk berterus-terang. Ia tak mau pulang dari rumah Bahrum dengan menelan rasa malu. Kalau tidak jadi menantu karena mungkin tak berjodoh, Intan bisa menerima. Tapi, kalau ditolak jadi calon menantu hanya gara-gara pura-pura mengaku pandai memasak sambal teri kacang, Intan tidak bisa memaafkan dirinya.
            “Kita sudah sampai, Tan. Ayo kasi ke Emakku strika buatanmu itu. Hitung-hitung itu pemikat hatinya,” gurau Bahrum samasekali tidak lucu di telinga Intan.
            “Naaah ... ini dia calon menantuku. Si Bahrum pintar cari calon istri. Sengaja dicarinya istri yang pandai memasak strika, supaya Emaknya bisa pensiun memasakkan makanan kesukaannya itu,” ujar Tante Imah menyambut kehadiran Intan.
Sepupu-sepupu Bahrum yang sudah hadir di acara arisan itu ikut tersenyum melihat kehadiran Intan. Semua tampak bergembira, kecuali Intan.
            “Ayo, tunjukkan sama Tante strika buatanmu itu!” seru Tante Imah lagi membuat lutut Intan mendadak gemetar. Intan memberikan sambal teri kacang buatannya.
            “Maaf, Tante ... saya memang suka sekali makan strika, tapi saya tak pandai cara memasaknya,” Intan melepas kata-katanya begitu saja. Ia buru-buru menundukkan wajahnya dalam-dalam. Intan yakin saat ini pasti semua mata tertuju padanya.
            “Ya ampun, Intan! Janganlah khawatir begitu. Tante yang akan mengajarimu memasaknya nanti,” ujar Tante Imah mengejutkan Intan.
            “Ayo, mari sini. Kita praktikkan bersama, supaya si Bahrum nanti tak mencari strika ke perempuan lain,” kembali Tante Imah bergurau.
Intan merasa lega. Akhirnya ia berhasil berterus-terang dan sekaligus mengetahui resep sambal teri kacang buatan calon ibu mertuanya.
            “Supaya tak lengket dan terinya bisa garing, saat mengaduknya ... kau matikan dulu api kompornya. Lalu, kau aduklah teri dan kacangnya dengan rata ke sambal yang sudah matang ini,” ujar Tante Imah.
Intan mengangguk-angguk dan berusaha mengingat rahasia terakhir yang bisa membuat sambal teri kacang buatan Tante Imah begitu gurih, lezat, dan renyah. [Wylvera W.]

Aura Mistis Patung Sigale-gale

$
0
0











#LatePost
Tulisan sy di Koran Pikiran Rakyat edisi Sabtu, 3 Mei '14

 

Berwisata ke Danau Toba, Sumatera Utara rasanya kurang lengkap jika tidak mengunjungi pulau Samosir. Pulau vulkanik yang menawan ini terletak di tengah Danau Toba, danau terluas di Asia Tenggara. Ada tiga jalur perairan melalui Danau Toba menuju ke pulau ini. Pertama, melalui Pelabuhan Ajibata ke Pelabuhan Tomok. Kedua, dari Muara menuju Nainggolan. Ketiga, melalui Tigaras menuju Simanindo. Kami memilih menumpang kapal ferry dari Ajibata menuju Tomok dengan membayar Rp91.500 (sudah termasuk mobil). Rasanya uang sejumlah itu terbayar dengan suguhan pemandangan danau yang indah dan menakjubkan selama lebih kurang satu jam waktu tempuh menuju lokasi.
Tiba di Samosir, kami menuju Tomok untuk melihat lokasi patung Sigale-gale yang menjadi landmark pulau tersebut. Pertama kali saya memandang patung itu, terasa aura mistis melekat di sana. Mungkin karena patung Sigale-gale sendiri berwujud laki-laki jangkung dengan bola mata melotot memancarkan tatapan yang bagi saya agak menyeramkan. Dengan atasan jas abu-abu, topi yang terbuat dari kain menutupi sebagian kepalanya, bawahan sarung serta ulos yang diselempangkan di bahu hingga pinggangnya, patung Sigale-gale seolah digambarkan seperti manusia bernyawa.
Patung Sigale-gale diletakkan di depan sebuah rumah adat Samosir. Patung ini bisa bergoyang-goyang menirukan gerakan tortor dengan iringan gondang sabangunan (gondang Batak). Jika memperhatikan strukturnya, patung yang diukir menyerupai laki-laki dewasa itu menggunakan tali yang cukup kuat sebagai pengikat di bagian-bagian persendiannya. Mulai dari leher, lengan, lutut, jari-jemari, hingga ke persendian kakinya. Tali itu pula yang disambungkan kepada beberapa orang yang dalam pewayangan disebut dalang untuk menggerakkannya. Tarif untuk melihat pertunjukan tarian patung ini hanya Rp5.000.
Anak-anak saya begitu terkesan dengan patung ini. Mata mereka nyaris tak berpaling memandangi gerakan patung itu. Sementara saya sibuk mencari alasan tentang aura mistis yang terpancar dari patung itu. Mungkin hanya saya yang merasakannya. Dari kesan itu saya mencoba menelusuri sejarah keberadaan patung Sigale-gale ini.
Banyak versi yang tersebar tentang asal-usulnya. Salah satu versi yang saya baca, konon katanya di zaman dahulu ada seorang raja yang sangat bijaksana tinggal di wilayah Toba. Raja itu bernama Rahat. Raja Rahat sangat terkenal dengan kekayaannya. Dia hanya memiliki satu putra yang menjadi putra mahkota dari kerajaannya.
Raja Rahat sangat menyayangi putranya, hingga pada suatu hari kesedihan melanda hatinya. Putranya yang bernama Manggale terjangkit penyakit aneh yang tak seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Manggale menghembuskan napasnya, menghadap Sang Pencipta. Raja Rahat sangat berduka atas kematian putra semata wayangnya.  Raja rahat meminta para pengawalnya untuk mencari para tukang ukir kayu yang mumpuni ke seluruh penjuru kampung. Dari sekian banyak tukang ukir kayu yang ditemui, akhirnya Raja Rahat meminta salah satu yang paling terkenal dari mereka. Nama tukang ukir kayu itu adalah Rahat Bulu atau dikenal dengan gelar Datu Manggeleng.
Datu Manggeleng pun menyanggupi permintaan Raja Rahat untuk menyelesaikan patung kayu yang menyerupai sosok Manggale dalam tiga hari. Datu Manggeleng menuju hutan dan menemukan pohon dengan kayu berkualitas memiliki tinggi yang sama dengan almarhum putra Raja Rahat. Lalu, tukang ukir kayu itu pun menebang pohon tersebut dan mulai mengukirnya menyerupai wujud Manggale.
Betapa gembiranya hati Raja Rahat melihat hasil kerja Datu Manggeleng. Patung berwujud Manggale pun diabadikan setelah Raja Rahat berpesan kepada penduduk di sana bahwa patung itu adalah sebagai pengganti putranya yang telah tiada. Raja Rahat pun memberi nama patung itu dengan sebutan Sigale-gale.
Raja Rahat akhirnya meninggal dunia beberapa tahun kemudian. Punahlah keturunannya. Namun, penduduk memenuhi permintaan Raja Rahat untuk melaksanakan acara adat pemakaman seperti yang dipesankan Raja. Sigale-gale pun dibuat menari oleh tukang ukir kayu. Selepas acara adat, mayat Raja Rahat pun diantarkan bersama Sigale-gale ke pemakaman.
Kabarnya, pertunjukan Sigale-gale awalnya dilakukan hanya untuk raja-raja yang kehilangan keturunannya. Tetapi, kemudian kebiasaan itu diperuntukkan bagi setiap penduduk yang tak memiliki keturunan. Setiap orang yang sengaja memesan pembuatan patung Sigale-gale untuk alasan papurpur sapata (menaburkan janji). Lalu, Sigale-gale dengan gerakan tariannya menjadi semacam obat bagi impian mereka yang kandas untuk memperoleh keturunan sampai upacara kematiannya tiba.
            Menurut kepercayaan di masyarakat Batak bahwa pembuat patung Sigale-gale harus rela menyerahkan jiwanya pada patung buatannnya itu agar patung itu bisa bergerak dan hidup seperti manusia.
            Terlepas dari aura mistis yang saya rasakan, pertunjukan tarian patung Sigale-gale yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan itu menjadi hiburan yang menarik bagi saya dan keluarga. [Wylvera W.]

Berbagi Kebahagiaan Lewat Welfie

$
0
0


Foto welfie bersma anak-anak lapas (dokpri)

Welfie bersama anak-anak lapas? Pantaskah? Pantas saja, kenapa nggak?
Bukankah mereka juga butuh sedikit kegembiraan untuk sejenak melepas rasa resah, terkungkung, tertekan, kesepian, serta penyesalan yang membelenggu mereka di balik jeruji, akibat perbuatan yang terlanjur mereka lakukan? Tak ada yang salah bukan?

Baidewei ... sebenarnya, tidak pernah terpikir oleh saya untuk menyajikan kisah di balik gambar yang satu ini. Kalau bukan gara-gara membaca event di blog Emak Winda Krisnadefa, takkan pernah foto ini terpajang di blog saya.

Yap! Betul. Event dengan judul “Lomba Selfie Story Bersama Smartfren Berhadiah Windows Phone” yang digelar Emak Gaoel (begitu sebutan populernya), bikin saya tergugah untuk akhirnya ikut at the last minute waktu lomba yang ditetapkan.

Inilah kisah di balik sebuah foto yang saya pajang pada postingan kali ini.
Kalau dilihat selintas, tidak ada kesan istimewa yang tertangkap di balik momen dalam foto welfie bersama anak-anak Lapas Tangerang ini. Malah, cenderung kesan seru-seruan saja. Yaaa, namanya juga foto welfie. Apa sih yang pertama ingin ditampilkan kalau bukan momen seru?

Tapi, percayalah ... sesungguhnya ada beberapa cerita yang mendahuluinya.
Saya sudah beberapa kali berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria, Tangerang. Bukan sekadar berkunjung dan berfoto-foto tujuan utama saya. Ada hal yang lebih penting ingin saya bagi untuk mereka.

Profesi saya adalah penulis. Walaupun mungkin ilmu menulis yang saya miliki tidaklah sehebat dan sebanyak para penulis tenar lainnya, tapi saya merasa perlu membagi yang sedikit itu. Ketika saya diberi tawaran oleh komunitas Gerakan Peduli Remaja (GPR) yang sudah lebih dulu memiliki jadwal kunjungan tetap ke lapas anak pria ini, saya spontan mengiyakan.

Sejak itu, obsesi saya pun mencuat. Saya ingin anak-anak lapas itu juga mampu menulis. Tapi, saya tidak memaksa mereka untuk kelak menjadi penulis seperti saya setelah keluar dari penjara nanti. Saya hanya ingin mereka mau membagi kisah, keresahan, keinginan, angan-angan, cita-cita, serta harapan yang mungkin belum sempat terungkapkan dan lama terpendam di lubuk hati mereka.

Bersama teman-teman GPR, saya pun ikut menyusun dan membagi jadwal. Mereka mengisi sesi konsultasi (belajar mengaji dan sharing uneg-uneg), sementara saya memberi materi dasar tentang menulis. Begitulah kami melakukannya secara berkala. Hingga akhirnya anak-anak lapas itu berhasil menuliskan ceritanya. Memang tidak semua yang mampu menuliskannya sesuai arahan yang saya berikan. Namun, dari yang sedikit itu saja hati saya sudah bergetar membacanya.

Salah satu dari mereka ada yang menuliskan, “Kalau aku bisa mengulang waktu, aku tidak akan mau melakukan kejahatan ini. Kasihan orangtuaku, apalagi ibuku. Pastilah sekarang hatinya hancur karena menahan malu punya anak seperti aku.”

Oh my God! Tidakkah hati ini terguncang membacanya? Ya, begitulah ... saya tak bisa bohong kalau mata saya basah ketika menyelami kalimatnya itu.

Baiklah, kembali dengan foto welfie yang menjadi tema postingan saya ini.
Setiap mengisi pelatihan menulis untuk anak-anak lapas waktu itu, saya memang suka meminta diambilkan foto pada teman-teman GPR. Bukan untuk gagah-gagahan ... bukan. Foto-foto itu hanya untuk pelengkap catatan saya tentang kegiatan berbagi pengalaman menulis di sana (beberapa di antaranya sudah tercatat di blog saya ini). Beberapa foto yang diambil itu, tak satu pun yang bentuknya selfieatau welfie, sebab momen diambil saat saya memberi materi.

Lalu, mengapa tiba-tiba ada foto welfie seperti yang terpajang di postingan ini?
Entah kapan tepatnya, saya tiba-tiba ingin sekali punya tongsis. Melihat beberapa teman yang memamerkan foto-foto selfie yang mereka ambil dengan bantuan tongsis, saya jadi pengin juga. Jadilah saya membeli dan punya tongsis.

Nah, di kunjungan ke lapas berikutnya, diam-diam saya bawa tongsis itu. Saya ingin berfoto bersama anak-anak lapas dengan menggunakan smartphone dan tongsis. Pasti akan berbeda kesannya, pikir saya waktu itu.

Betul saja!
Begitu tongkat narsis itu saya keluarkan, anak-anak lapas spontan melirik. Padahal waktu itu sesi pelatihan sudah berakhir dan mereka bersiap untuk sholat zuhur. Mungkin beberapa di antara mereka belum paham kegunaan tongsis itu untuk apa.

Tidak menyia-nyiakan waktu, saya pun menyiapkan hape dan menyematkannya pada tongsis. Saya mengajak anak-anak lapas mendekat agar bisa tertangkap oleh layar kamera smartphone saya. Tidak semua yang mau diajak berfoto secara terang-terangan seperti itu. Namun, beberapa dari mereka (walau terkesan malu-malu), mau juga mendekat.

Kehebohan pun terjadi sesaat dan itu lepas begitu saja. Mereka tersenyum, senang, dan benar-benar merasakan keakraban bersama kami.

“Wah! Bunda narsis juga ya ternyata!” celetuk salah satu dari mereka membuat wajah saya sedikit berubah warna.

“Narsis juga ya ternyata.”
Kalimat spontan yang terucap itu membuat saya seolah tidak berjarak dengan mereka. Bahagia sekali rasanya.

Inilah kisah dibalik foto welfie saya bersama anak-anak lapas dan teman-teman Gerakan Peduli Remaja. Semoga momen bahagia ini selalu membekas di hati mereka, apalagi saya. Pasti itu. [Wylvera W.]

Smartfren


Surga itu Ada di Rumah Kita

$
0
0


             

              Kamis, 2 April 2015 lalu, saya mengajak murid-murid saya dari kelas ekstrakurikuler Jurnalistik dan Menulis SDIT Thariq Bin Ziyad Pondok Hijau Permai Bekasi, untuk menonton film “Ada Surga di Rumahmu”. Nonton bareng ini sebenarnya sudah sejak dua minggu sebelumnya kami rencanakan.
            Saya mengajukan usulan nobar ini kepada Ibu Kepala Sekolah. Tanpa saya duga, ternyata beliau juga berniat ikut bersama kami. Saya yang diminta mengkoordinir pembelian tiket. Tentu saja saya tidak keberatan. Saya malah senang karena anak-anak akan semakin nyaman jika guru-guru mereka yang lainnya juga ikut mendampingi.
            Dari rencana 20 guru yang akan ikut nobar, akhirnya berkurang menjadi 10 orang. Banyak kendala yang menyebabkan semua guru dan karyawan sekolah tidak bisa ikut. Sementara itu, nonton bareng ini sudah menjadi kegiatan rutin setiap tahun dari kelas ekskul Jurnalistik dan Menulis yang saya gawangi. Anak-anak tidak hanya sekadar nobar, tapi setelahnya mereka akan membuat catatan (review) dari film yang mereka tonton untuk pengambilan nilai akhir.
Singkat cerita, tibalah hari “H”. Saya sudah membeli tiket untuk 29 seat. Saya memilihkan jam tayang pada pukul 16.45 WIB di bioskop XXI Bekasi Square. Kami berangkat 10 menit dari jam 4, sore itu. Ada rasa khawatir. Saya takut anak-anak tidak akan sempat melihat filmnya dari awal. Kalau terlambat, mereka pasti kecewa, karena tidak akan bisa menuliskan review lengkap seperti yang saya minta.
            Apa boleh buat, akhirnya kami memang sedikit terlambat. Film sudah dimulai sekitar 10 menit. Saya mencoba menenangkan anak-anak. Kami pun masuk dengan tertib, disusul oleh beberapa guru yang sejak tadi ikut bersama kami.
            Apa yang saya khawatirkan pun terjadi.
            Belum apa-apa, adegan film “Ada Surga di Rumahmu” (ASDR) karya Aditya Gumay itu sudah mulai “mengganggu” perasaan saya. Saat kami masuk, adegan sudah berpindah pada saat Ramadhan kecil (diperankan oleh Raihan Khan) sedang berkelahi dengan temannya. Setelah perkelahian itu, Ramadhan akhirnya dikirim oleh orangtuanya ke sebuah pesantren milik Ustad Athar (diperankan oleh Ustad Ahmad Alhabsyi). 
Sesaat sebelum Ramadhan berangkat menuju pesantren
            Pelepasan Ramadhan menuju pesantren mulai memancing keharuan. Tidak hanya bagi saya, tapi juga murid-murid saya. Terutama Nasywa dan Raisa Nazhifa, salah satu murid yang duduk di deretan bangku sebelah kiri saya saat itu. Tarikan nafas mereka menjadi sinyal kalau mereka mulai sibuk mengatur emosinya. Untunglah jilbab mereka terbuat dari bahan katun, jadi nggak perlu repot mencari tisu.
Abuya (Ayah Ramadhan) mengantarkannya ke pesantren
            Kembali ke adegan berikutnya. Dikirim ke pesantren, tidak lantas membuat Ramadhan berubah drastis. Ia tetap menjadi anak laki-laki yang banyak akal dan terkesan pembangkang. Bahkan Ramadhan sempat dihukum bersama dua orang sahabatnya. Mereka diminta untuk berceramah di sebuah pemakaman pada malam hari. Adegan ketakutan yang diperlihatkan membuat rasa haru berbaur kelucuan. Isi ceramah salah satu sahabat Ramadhan memancing tawa penonton. Mau tahu isi ceramahnya apa? Nanti ditonton saja ya. 
Adegan menjalankan hukuman di area kuburan
            Ramadhan juga pernah dihukum dengan cara berceramah di pasar. Bakat terampil berceramah di diri Ramadhan sangat membantunya. Ia tidak terlalu sulit menjalankan hukuman itu.
            Satu adegan yang membuat saya sibuk mencari tisu, saat Ustad Athar salah memberi hukuman. Ustad Athar memukul tangan Ramadhan dan kedua sahabatnya dengan penggaris dari kayu. Mereka kesakitan dan menangis. Ustad Athar mengira Ramadhan telah bersekongkol mengajak teman-temannya berbohong. Ramadhan diduga keluar dari kamar pada malam hari secara sembunyi-sembunyi bersama teman-temannya hanya untuk nonton film. Ternyata, Ramadhan mengajak kedua sahabatnya untuk menonton acara ceramah ustad-ustad terkenal yang rutin ditayangkan di tivi.
Adegan saat Ramadhan dan kedua sahabatnya dihukum pukulan mistar
Adegan saat Ustad Athar menyadari kekeliruannya dan begitu berjiwa besar meminta maaf kepada Ramadhan, membuat saya sulit mengatur emosi untuk tidak menangis.
“Ramadhan, ambil mistar ini, Nak. Pegang dengan tanganmu, Nak. Kau pegang kuat-kuat mistar ini, Nak. Kau pukul Abuya, Nak. Kau balas balik, Nak. Lakukan, Nak ... seperti apa yang Abuya lakukan padamu tadi, Nak. Pukul sekuat-kuatnya. Abuya nggak mau nanti Allah murka pada Abuya, gara-gara salah ngasi hukuman sama kau, Nak. Sekarang, Nak ... lakukan, Nak. Balas balik, Nak ....”
“Tidak, Abuya ... tidak Abuya.”
“Maafkan Abuya, Nak. Abuya sudah salah ngasi hukuman sama kau, Nak. Kau ikhlas kan, Nak?”
“Iya, Abuya ... Ramadhan ridho, Abuya ....” sambil terus menangis sesenggukan.
Saya tidak kuat menahan haru. Saat itulah, murid saya spontan berkomentar, “Ibu nangis ya?” Dan, saya ... hening ... sambil pelan-pelan menarik nafas.
            Begitulah adegan demi adegan terus bergulir. Akhirnya, Ramadhan kecil pun tumbuh menjadi pemuda tampan (diperankan oleh Husein Alatas). Perubahan settingwaktu itu mulai memasukkan unsur percintaan. Alur cerita akhirnya bergulir pada konflik cinta segitiga antara Ramadhan, Nayla (diperankan oleh Nina Septiani) teman masa kecil Ramadhan, dan Kirana (Zee Zee Shahab), artis yang sempat bertemu Ramadhan saat syuting di lokasi pesantren tempat Ramadhan menimba ilmu agama.
            Film yang terinspirasi dari buku “Ada Surga di Rumahmu” karya Ustad Alhabsyi ini memang sarat dengan dialog-dialog yang mampu mengguncang perasaan. Salah satu contoh yang saya ingat adalah kutipan dialog (yang menjadi pesan utama) dalam film itu, “Surga itu begitu dekat, tapi mengapa kita sibuk mengejar yang jauh?”
            Banyak adegan-adegan yang sulit membuat mata saya berpaling. Seperti pertemuan dengan Kirana yang membuncahkan angan-angan masa kecil Ramadhan, yaitu ingin masuk televisi. Desakan dari keinginannya itu sangat mengusik hati Ramadhan. Hingga pada suatu kesempatan Ramadhan berdialog dengan Ustad Athar. Dialog ini juga sangat menancap di kepala saya.
"Abuya pernah mengatakan, kita harus mengutamakan kepentingan orangtua dan permohonannya. Permohonan yang seperti apa, Abuya?"tanya Ramadhan pada Ustad Athar, guru yang sangat dihormatinya itu.
"Permohonan yang bisa membuat engkau lebih dekat dengan Allah, Nak. Ingat! Ridhonya Allah ada pada ridho orangtua. Kalau engkau sudah dapat kata ridho yang keluar dari lisannya, maka seolah-olah langit itu akan terbuka, Nak. Arasy itu bergoncang, Malaikat mengaminkan do'amu, dan Allah akan meridhai semua keinginanmu,"jawab Ustad Athar begitu menggetarkan hati saya.
AllahuAkbar ...! Sebegitu hebatnya Allah menempatkan kedua orangtua kita pada kedudukan yang paling mulia di muka bumi ini, sehingga ridho mereka menjadi syarat penentu bagi anak-anaknya untuk bisa masuk ke surga-Nya.
Dalam usaha ingin mewujudkan mimpinya, Ramadhan akhirnya meninggalkan Palembang (kota kelahiran Ramadhan yang menjadi setting tempat paling utama  di film ini) menuju Jakarta. Tidak segampang itu mewujudkan mimpi. Ramadhan yang ditemani kedua sahabat karibnya semasa di pesantren akhirnya harus bermalam di salah satu masjid di ibukota.
Masuk pada adegan ketika Ramadhan tanpa sengaja mendengar seorang remaja laki-laki sedang menangis. Ramadhan mengintip dan menyimak tangisan itu dari dinding masjid yang dedesain berlubang-lubang. Bahu remaja laki-laki itu berguncang memanjatkan permohonan ampun. Akhirnya Ramadhan menghampiri dan bertanya apa yang menyebabkannya menangis. Ternyata anak itu sedang menyesali perbuatannya. Kedua orangtuanya sudah meninggal. Ia ingin Allah menghidupkan mereka agar ia  bisa mengubah sikap dan memohon ampunan.
Adegan saat Ramadhan mendengar curhatan remaja laki-laki yg menangis itu
Mendengar curhatan remaja laki-laki itu, Ramadhan sontak teringat ibunya. Mereka saling berpelukan dan Ramadhan tak kuat menahan tangisnya. Kejadian inilah yang membuat Ramadhan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Adegan berikutnya kembali mengaduk-aduk emosi. Air mata saya tak bisa lagi dibendung saat Ummi Ramadhan (diperankan oleh Elma Theana) sakit akibat menahan kerinduan pada anaknya. 
Salah satu adegan yang juga bikin gak kuat menahan air mata
         Pesan utama dari film ini juga sukses tersampaikan. Selama ini kita sibuk mencari cara untuk meraih surga-Nya di luar sana. Padahal, di rumahlah jalan menuju surga itu. Begitu dekat, begitu mudah untuk kita raih jika kita sadar sejak awal. Ibu sebagai media paling indah untuk kita mendapatkan surga. Sementara Ayah menjadi pelengkap yang tak pernah mengeluh berjuang mencari nafkah agar kita bisa meraih ilmu demi menjadi manusia yang berarti. 
Walau matanya ada yang sembab, tapi tetap berusaha ceria saat foto
            Terlepas dari segala kekurangan (baik akting, bumbu percintaan segi tiganya, hingga ending yang terasa menggantung),  saya tetap merekomendasikan kalau film “Ada Surga di Rumahmu” yang mengambil setting terbanyak di tepian Sungai Musi Palembang ini, layak ditonton untuk segala lapisan umur. Ini catatan saya tentang acara nonton bareng bersama murid-murid saya. 
                 Semoga mereka berhasil membuat review yang lebih bagus. Kita tunggu ya.Baidewei ... mumpung filmya masih diputar, jangan sampai terlambat untuk menonton ya. [Wylvera W.]


Ketika Mereka Sudah Remaja

$
0
0

 
Time flies so fast (dokpri)

            Dulu saat anak-anak saya masih kecil, seolah waktu 24 jam habis hanya untuk mereka. Memandikan, memberi makan, menemani tidur, mendampingi belajar, mengantar ke tempat kursus, dan maaasih banyak rutinitas lainnya yang saya lakukan untuk mereka. Rutinitas itu pula yang membuat waktu seolah cepat sekali berputar. Saya juga merasakan sempitnya ruang untuk menikmati Me Time. Bahkan saya hampir menyerah, ketika tak ada waktu untuk berduaan menikmati kebersaam bersama suami.
“Kapan ya kita bisa dinner berduaan tanpa harus takut ninggalin anak-anak di rumah?” Pertanyaan ini pun sempat saya ajukan ke suami waktu itu.
            Seiring berjalannya waktu, kedua anak saya pun beranjak remaja. Keluhan saya tentang sulitnya mencuri momen berdua dengan suami, perlahan bergeser menjadi kecemasan. Saya perlahan-lahan merasakan sesuatu yang hilang dari rutinitas itu. Pada saat-saat ingin bersama, tiba-tiba saya merasa sendiri dan kesepian. Saya justru rindu masa-masa repot seperti dulu, kala mereka masih kecil.

My lovely Kids (dokpri)
            Banyak perubahan yang saya alami. Kalau dulu mereka selalu menjadikan saya tumpahan segala keingintahuannya, sekarang perlahan bergeser. Mereka mulai mahir menemukan jawaban serta solusi lewat nalar atau media lain. Kalau dulu mereka selalu minta ditemani saya atau bapaknya, sekarang mereka sudah punya alternatif. Mereka bisa mengajak teman-teman sekolahnya.  
Satu hal yang paling sering membuat saya merasa benar-benar rindu adalah pergi bersama di waktu weekend. Saya harus menemukan alasan yang pas agar mereka mau ikut. Bahkan tidak jarang mereka menolak dengan halus sambil bercanda, “Ibu sama Bapak aja berduaan. Kami di rumah aja. Biar lebih romantis, gitu.” Kalau sudah begini, saya tidak akan memaksa lagi. Itu tandanya mereka memang benar-benar tidak ingin menghabiskan waktu bersama ibu dan bapaknya.
Demi mengatasi rasa rindu ini, saya mencoba mencari persamaan. Mungkin yang saya rasakan juga dialami para orangtua lainnya. Saya browsing dan mencari info serta pengalaman para orangtua yang telah melewati fase ini. Atau bahkan bertukar cerita dengan para sahabat. Untunglah, ternyata saya tidak sendiri. Apa yang saya rasakan juga dialami oleh para orangtua lainnya yang memiliki anak seumuran anak-anak saya.
Beberapa pengalaman pun saya serap. Katanya, memasuki masa remaja, ternyata anak mulai sulit untuk diajak bepergian bersama orangtuanya. Bahkan saat di rumah pun mereka seakan memberi sinyal kalau ingin menghabiskan momen sendiri. Mereka memilih kamar sebagai tempat paling pribadi. Mereka bisa berjam-jam menghabiskan waktu di situ.
Lalu, pertanyaan saya, “Wajarkah kondisi seperti ini?”
Ternyata dari beragam artikel yang sempat saya baca, kondisi ini dinilai wajar. Sebab di masa remaja, anak mulai mengalami fase keinginan memiliki ruang pribadi. Ruang pribadi itu bisa berupa tempat dan waktu dimana mereka tidak ingin diganggu. Inilah yang membuat mereka mulai enggan untuk sering-sering bepergian atau berkumpul terus-menerus dengan orangtuanya.
Saya pernah bertanya kepada Mira, anak sulung saya, “Kenapa sih, sekarang susah banget ngajak Kakak sama Adek pergi bareng? Padahal, Ibu sama Bapak kangen. Pengin kita lunch atau dinner berempat kayak dulu lagi.”
Simak apa jawabnya.
“Kami kan sudah besar. Dulu Ibu sama Bapak pasti pengin sering-sering pergi berduaan, tapi malah susah curi waktunya gara-gara kami. Nah, sekarang waktunya sudah ada. Kenapa nggak dinikmati?”
Kalau sudah mendengar jawaban seperti ini, kira-kira apa yang harus saya lakukan sebagai orangtua? Apakah harus memaksa mereka untuk tetap menuruti ajakan saya? Saya memilih tidak, walaupun pengin banget memaksa. Hikks ....

Dinner di luar yang semakin sulit dinikmati berempat (dokpri)

Alih-alih memaksa, yang ada saya harus menerima pergeseran fase ini dengan damai. Saya harus lebih bijak untuk memahami tentang momen berkualitas bersama mereka. Saya harus sadar dan bisa menerima kalau sekarang mereka sudah remaja. Dan, ternyata memang tidak perlu mematok-matok lamanya waktu yang dibutuhkan untuk bisa menciptakan momen berkualitas itu. Yang penting saya dan suami harus berkomitmen melakukannya setiap hari. Bahkan lima belas menit pun sudah cukup, jika benar-benar dilakukan secara maksimal.
Bagaimana caranya agar saya bisa mengobati kerinduan akan kebersamaan yang full-time itu? Tentu dengan cara berkomunikasi, karena diam tidak akan mendekatkan saya dengan mereka. Kapan kesempatan berkomunikasi itu bisa saya lakukan dengan baik dan berkualitas? 
Ternyata banyak waktu yang bisa mengobati kerinduan saya. Salah satunya saat mengantar mereka ke tempat kursus/les. Waktu sekitar 15 – 20 menit di perjalanan dalam mobil, selalu saya gunakan untuk ngobrol dengan mereka. Tentang apa saja.
Waktu 15 menit lainnya adalah di saat-saat mereka tidak melakukan apa-apa di kamarnya. Saya sesekali merebahkan badan di tempat tidur mereka. Sambil tidur-tiduran, saya suka memancing cerita-cerita baru yang terjadi di sekolah. Bahkan sampai nyerempet ke hal-hal yang pribadi dan sensitif. Seperti masalah suka-sukaan dengan lawan jenis, atau apakah ada seseorang yang sempat membuat mereka bete. Ini terkadang menjadi obrolan yang bisa memancing tawa dan canda.
Ternyata benar kata anak-anak saya. “Kalau ada waktu yang bisa membuat Ibu dan Bapak menikmati momen berdua, kenapa harus memaksakan kami ikut. Bukannya kebersamaan dengan kami jauh lebih sering Ibu dapatkan di rumah, ketimbang dengan Bapak yang setiap hari pulang kerjanya malam?”  
Duh! Kalimat pembuka saya yang membeberkan kerinduan pada momen kebersamaan di masa mereka kecil, seakan menguap. Mengingat kata-kata anak-anak saya yang menghangatkan hati itu, membuat saya seharusnya lebih bersyukur. Ketika anak-anak saya sudah remaja, justru saya banyak belajar dari mereka. Belajar memanfaatkan momen berkualitas. [Wylvera W.]


Viewing all 236 articles
Browse latest View live